"Kita adalah dua orang yang gagal". Katamu di suatu petang. Ketika pikiranku tiba-tiba melayang pada kali pertama perjumpaan kita. Tak ada keraguan. Justru kita adalah harapan. Waktu itu.Â
"Kau gagal memahami, bagaimana aku mencintaimu. Dan aku gagal mengerti bagaimana kau ingin dicintai"Â
Begitu katamu, menyambung kata yang bagiku tak pernah usai. Dan kau pun tak pernah tuntas menjelaskan.Â
Selamat tinggal kekasih. Kita memang harus berpisah dan berjauhan. Meski di setiap sudut bumi, aku selalu mencarimu.Â
Kita akan selalu begini dan aku akan selalu menyakitimu. Sebaliknya kau akan selalu bermain-main asyik dengan pikiranmu sendiri.Â
Sebaiknya memang kita jauh. Pikirku. Aku lebih bahagia melihatmu bermain buih di pantai.Â
Kau terlihat sangat santai. Dan ombak begitu riangnya menemanimu bercanda dan bercengkerama.Â
Akulah lelaki yang ditakdirkan bagimu, untuk melihatmu di kejauhan. Melihatmu bercengkerama dengan buih ombak di tepi pantai.Â
Di setiap pagi, pada jejak-jejak fatamorgana. Setiap pagi di tepi pantai, kala buih ombaknya menghapus jejak. Kala aku terbangun dari lelap. Kala aku tersadar dari mimpi.Â
Dan aku tak ingin melihatmu menangis. Karena aku gagal menjadi cahaya yang mengeringkan air matamu.Â
Sebaliknya kaupun tak tahu, bagaimana kau menjadi butiran embun yang membuatku sejuk.Â