"Sudah kukatakan berulang-ulang pula, banyak peristiwa yang membuatku tak mampu jauh darimu".Â
Katamu, sambil terus kau pandangi tanah di bawah jejak kakimu.
Ombak masih beriak di pantai yang semakin menepi. Kubiarkan kau berlarian di tepinya, bermain serpihan buihnya.Â
Aku melihatmu. Wajah yang bersinar memantulkan sinar pagi. Meski di baik sorot matamu, mendung tampak menggelantung.Â
Rimbun senyummu menghias pagi ini. Meski mimpi buruk malam-malam kemarin masih tersisa. Menggelanyut dalam gurat wajahmu.Â
"Aku ingin melupakanmu, tapi tak bisa. Aku ingin menyapamu, tapi takut tak kau balas. Aku ingin pergi darimu, tapi malah rindu" katamu dalam sebuah status WA ketika beberapa lama kita tak pernah lagi bertegur sapa.Â
Entah itu untuk siapa. Walau kutahu sebenarnya itu untukku. Aku tak ingin menjawab pertanyaan mu. Karena jabawanku adalah juga pertanyaan untukmu.Â
"Apakah kau benar-benar ingin selalu bersamaku? Lalu mengapa seringkali kau pergi menuju matahari terbenam yang tak mungkin aku kejar" tanyaku dengan terbata.Â
"Sebab aku adalah matahari yang selalu terbit. Aku tak ingin menjadi senja sebelum waktunya tiba. Seperti yang aku pikirkan ketika aku membaca pikiranmu" kataku kemudian sambil terus memandangmu. Waktu itu
Bagiku kau adalah misteri. Dan aku akan selalu menyakitimu, sebab aku selalu mengatakan yang bukan tentang dirimu.Â
Sedang kau ingin selalu mendapat pengakuan seperti yang kau inginkan. Tapi, seringkali kau menitip pertanyaan pada jejak langkahmu, yang terlihat di bola matakuÂ