Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kedaulatan Pangan Berada di Tangan Petani Milenial

7 November 2021   20:52 Diperbarui: 8 November 2021   07:30 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kedaulatan Pangan di Tangan Petani Milenial.| Sumber:  Humas Pemprov Jawa Barar via Kompas.com

Indonesia dikenal sebagai bangsa atau negara maritim, sekaligus juga sebagai negara agraris yang kuat. Soal ini tak perlu lagi diperdebatkan

Sebagaimana beberapa tahun lalu ketika seorang Christian Pelras menerbitkan buku The Bugis (1996), yang lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Manusia Bugis.

Perdebatan muncul apakah leluhur orang Bugis itu adalah seorang petani atau seorang pelaut. Saya sendiri tidak mengikuti perdebatan itu, namun bagi saya, leluhur Nusantara adalah seorang pelaut dan juga seorang petani. 

Bangsa Indonesia dibentuk oleh kekuatan bahari atau lautnya, karena negara kepulauan. Namun di setiap pulaunya, hidup pertanian yang kuat. Jadi Indonesia adalah bangsa maritim sekaligus bangsa agraris yang kuat.

Sejak awal moyang Austronesia, yang mendominasi penduduk Indonesia saat ini adalah leluhur yang mengajarkan cara bercocok tanam ribuan tahun yang lalu.

Baca juga : Pengetahuan Arkeologi: Pelajaran dari Masa Lalu, Sulawesi Utara Surplus Pangan

Bukti-bukti arkeologis membuktikan bahwa sejak dulu Nusantara dikenal sebagai negeri lumbung pangan. Padi ladang tumbuh subur dan sudah dikenal sejak awal masyarakat mengenal bercocok tanam. 

Setelah itu padi sawah berkembang di seluruh Nusantara pada zaman klasik. Kerajaan Majapahit, pada masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada dengan sumpah Palapanya. 

Sejak awal Abad 14, Majapahit telah mengekspor beras ke wilayah kerajaan-kerajaan lain di seluruh Nusantara. Bahkan kerja sama perdagangan dari komoditi pangan Majapahit barter dengan berbagai produk lokal dari wilayah lain di seluruh Nusantara.

Hingga kini, di Pulau Jawa masih tercatat menghasilkan produk pangan padi sawah yang terbesar di seluruh Nusantara. 

Jangan lupa, tradisi Subak Bali, pengelolaan padi sawah dengan kearifan lokalnya, mengelola sawah hingga manajemen pengairannya masih mempertahankan tradisi budaya leluhurnya. 

Di samping itu berbagai komoditi lokal dikenal sebagai rempah-rempah adalah produk pertanian sekaligus mendukung Nusantara ini sebagai negara maritim yang kuat. 

Kembali soal produk pangan, dalam sejarah pangan Nusantara, kita dapat mengetahui bahwa bangsa kita terkenal sebagai bangsa agraris yang menghasilkan berbagai jenis komoditi pangan. Selain beras, Indonesia juga dikenal menghasilkan berbagai jenis umbi-umbian dan biji-bijian. 

Juga berbagai jenis produk pangan lainnya, baik tanaman endemik maupun tanaman yang sudah dibudidayakan sejak dulu kala.

Isu ketahanan pangan saat ini adalah isu aktual yang harus dipecahkan solusinya. Kita ketahui bahwa dalam beberapa dasawarsa pembangunan nasional, produk pangan menjadi salah satu andalan ekspor di sektor pertanian di samping hasil laut. 

Namun kondisi aktual saat ini, kita dihadapkan pada degradasi produk pangan. Jangankan untuk swasembada pangan, untuk menjaga ketersediaan pangan bagi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kini mencapai 260an juta jumlah penduduk, rasanya kita dihadapkan kondisi dan tugas yang berat. 

Pada tahun 1986 Indonesia pernah mendapatkan penghargaan dari badan pangan dunia (FAO), tetapi sekarang justru menjadi negara yang mengimpor beras dari negara lain. Demikian pernyataan Anggota Komisi IV DPR RI Endang S Thohari , yang mendorong agar Bulog kembali kepada fungsinya sebagai badan yang menjamin kedaulatan pangan (https://www.dpr.go.id/). 

Indonesia, dihadapkan pada tantangan tidak hanya menjamin ketahanan pangan, namun juga kedaulatan pangan. Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

Sementara itu, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”. 

Ketahanan pangan hanya ketersediaan bahan pangan (logistik) di gudang dan di pasar terlepas dari asal apakah dari impor atau dari yang diproduksi secara lokal. Sementara kedaulatan pangan berarti bahwa kita memproduksi dan memasarkan bahan makanan kita sendiri, sementara surplus produksi diekspor (wikipedia).

Ketahanan pangan merupakan konsep yang diterima luas di banyak negara dan telah berjalan cukup lama. Konsep Ketahanan Pangan (food security) mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, sedangkan Kedaulatan Pangan mulai diwacanakan semenjak tahun 1992 atau lebih dari 30 tahun setelahnya (Syahyuti, dkk, 2015).

Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan mengembangkan kemampuan sendiri untuk menghasilkan pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem produksinya (Campesina, 2006 dalam Syahyuti, dkk, 2015). 

Dengan demikian, sebenarnya untuk menjamin adanya ketahanan pangan, maka basis yang dibutuhkan bangsa ini adalah kedaulatan pangan. Karena dengan adanya kedaulatan pangan, Indonesia dapat menentukan sendiri arah kebijakan pangannya, sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki, baik dalam hal produksi maupun dalam pengembangannya. 

Nah, dalam kondisi kekinian, maka diperlukan terobosan-terobosan baik dalam sistem regulasi pertanian, alih teknologi maupun keberpihakkan terhadap masyarakat petani. Hal ini agar di masa depan, jaminan atas ketahanan dan kedaulatan pangan dapat terwujud. 

Pada intinya bicara tentang sektor pertanian, maka utamanya kita akan dihadapkan pada perbincangan tentang kekuatan ektor pangan. Hal ini karena kekuatan pangan menentukan kualitas hidup masyarakatnya, dan tentu kehidupan berbangsa, karena pangan adalah kebutuhan primer yang tak dapat digantikan oleh sektor apapun. Intinya inti, core of the core, kata Mbah Doel. 

Dalam menjawab tantangan ketahanan dan kedaulatan pangan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian sebenarnya telah mengembangkan program swasembada pangan. Swasembada pangan menjadi program pembangunan pertanian yang strategis karena memiliki dampak luas. 

Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, mutu bahan pangan yang baik, serta nilai gizi yang tinggi memiliki dampak luas pada perekonomian dan mutu sumber daya manusia. Beras sebagai bahan pangan utama menjadi target utama pemerintahan untuk dapat mencapai swasembada. 

Dalam pemerintahan Joko Widodo, master plan dalam program swasembada beras misalnya melalui program cetak sawah, korporasi usaha tani dan program lumbung pangan masyarakat (kompaspedia). 

Baca juga : Berkebun di Pomahan, Cara Mudah Menjaga Ketahanan Pangan

Meski demikian, kebijakan impor beras masih belum bisa terhindarkan, mengingat tinginya kebutuhan pangan di Indonesia, sementara jumlah produksi pangan dalam negeri belum bisa memenuhi (Bisnis.com)

Untuk menjawab tantangan itu, maka dibutuhkan terobosan baru atau inovasi pertanian. Disamping regulasi yang mendukung dan berpihak pada peningkatan ketersediaan pangan. Dalam hal regulasi, pembatasan impor pangan sangat berpengaruh pada harga pasar bahan pangan yang diproduksi petani lokal (lihat disini). 

Data impor beras berdasarkan asal negara dan jumlah dalam hitungan ton (2000-2010). Sumber: BPS
Data impor beras berdasarkan asal negara dan jumlah dalam hitungan ton (2000-2010). Sumber: BPS

Data impor beras berdasarkan asal negara dan jumlah dalam hitungan ton (2011-2020). Sumber: BPS
Data impor beras berdasarkan asal negara dan jumlah dalam hitungan ton (2011-2020). Sumber: BPS

Berdasarkan tabel di atas, suka tidak suka, kita harus mengatakan bahwa ketergantungan impor pangan Indonesia dari negara lain masih sangat tinggi. Oleh karena itu, dalam kondisi kekinian, dibutuhkan inovasi dalam hal sektor pertanian, khususnya sektor pangan. 

Bagaimanapun, jaminan atas kedaulatan pangan saat ini ada pada pundak generasi penerus bangsa, yang akan melanjutkan cita-cita Indonesia berkedaulatan pangan. Indonesia yang berswasembada pangan, sebagaimana yang pernah kita lalui pada era beberapa dasawarsa lalu. 

Jika menengok sejarah pangan dan juga perjalanan peradaban yang telah lampau, Nusantara sebagaimana yang sudah saya ulas secara singkat di awal, memiliki sejarah panjang ketahanan dan kedaulatan pangan. 

Sejarah memberi pelajaran berharga, menjadi pengalaman penting dalam proses berkedaulatan pangan. Dalam konteks kekinian, kedaulatan pangan perlu dicarikan solusi dan inovasi baru di sektor pertanian, khususnya sektor pangan. 

Berkaca pada jejak peradaban masa lalu, Nusantara yang berketahanan pangan, maka berbagai inovasi baik dalam instrumen teknologi pertanian, regulasi pertanian, dan juga berbagai kearifan lokal perlu dikonstruksikan kembali dalam kerangka masa kini dan masa depan.

Para generasi muda milenial, para petani milenial adalah harapan di masa depan. Generasi petani milenial, yang cerdas, yang memahami sejarah peradaban pangan nusantara, mampu menarik pelajaran penting dari masa lampau, kemudian mengadaptasikan di masa kini. 

Para petani milenial, dapat dengan cerdas dan kritis melihat peluang di sektor pertanian yang lebih maju. Secara inovatif, mengembangkan lahan-lahan tidur tidak produktif di berbagai wilayah di Indonesia, untuk dibudidayakan kembali. 

Sambil pula oleh pemerintah mendapat dukungan secara regulatif, misalnya membatasi alih fungsi lahan pertanian, untuk kegiatan atau pembangunan yang tidak berpihak kepada sektor publik. 

Dengan mata kepala kita sendiri, kita saat ini dihadapkan pada kondisi pembangunan properti yang terus berkembang, namun banyak kali kita melihat, pembangunan perumahan yang menggusur sawah. Lahan-lahan sawah menjadi menyempit. 

Atau lebih menyedihkan, banyak lahan-lahan sawah dibiarkan menjadi lahan tidur tak tergarap. Di beberapa tempat, khususnya di luar Pulau Jawa, hal ini dapat kita temui. 

Berkaitan soal itu, kita sebenarnya juga dihadapkan pada tantangan, menurunnya minat generasi muda, terutama di pedesaan untuk menggarap sawah. Selain karena membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan, dan setelah panen kadangkala tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat. Cara berpikir instan, menjadi bagian dinamika yang perlu mendapat perhatian serius. 

Dibutuhkan instrumen dan regulasi pemerintah yang mendorong para generasi muda, petani milenial untuk bangkit menyemangati diri, bahkan menyemangati bangsa ini, sebagai bangsa yang besar, bangsa yang ditumbuhkan dan dibesarkan dengan kekayaan alam dan sumberdaya pertaniannya. 

Mencetak generasi petani milenial, adalah tugas pemerintah. Menumbuhkan minat generasi milenial para sarjana pertanian untuk turun ke sawah, bekerja, dan mendampingi para petani, adalah tugas dan tanggung jawab bersama, seluruh komponen bangsa. 

Mendorong petani milenial untuk produktif, dengan didukung instrumen pemerintah yang berpihak dan memberi stimulasi yang optimal, adalah jalan membangkitkan semangat para petani milenial mengemban tugas dan tanggung jawabnya, berperan bagi kemandirian bangsa. 

Saya optimis, peran petani milenial adalah generasi muda bangsa yang memiliki semangat dan etos kerja berlipat ganda, bilamana pemerintah memberi stimulus optimal bagi pengembangan peran para petani milenial itu sendiri. 

Oleh karenanya, program petani milenial yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bukan hanya program jangka pendek, atau stimulus sesaat. 

Program petani milenial, diharapkan menumbuhkan kesadaran, sehingga terbangun proses internalisasi pada generasi muda Indonesia, bahwa menjadi petani milenial adalah bagian dari kehidupannya sehari-hari di saat ini untuk menjemput masa depan. 

Spirit ini harus tumbuh, dengan terus menerus dikembangkan, sehingga menjadi bagian internalisasi dalam kehidupannya sehari-hari. Menumbuhkan kesadaran dan semangat dengan sendirinya pada setiap generasi petani milenial. 

Pemerintah harus menyadari, bahwa kedaulatan pangan di masa mendatang, saat ini berada di pundak para generasi muda, petani milenial. Dengan semangat mengabdi dan membangun negeri, para petani milenial bisa bergerak serentak membangun dan membangkitkan kedaulatan pangan Indonesia. Semoga

***

Salam Hormat. 

Mas Han. Manado, 7 November 2021

Sekelumit Bacaan :

Syahyuti, dkk 2015 Kedaulatan Pangan Sebagai Basis Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 33 No. 2, Desember : 95-109

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun