Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Masa Prasejarah hingga Masa Kolonial, Maluku yang Multibudaya

24 September 2020   22:02 Diperbarui: 28 September 2020   16:19 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Olahan pribadi via canva

Wajah budaya maluku yang dinamis, merupakan bentuk kekayaan budaya yang majemuk. Berakar dari persentuhan, pertemuan berbagai budaya yang terintegrasi di dalamnya. Tanpa kehilangan identitas lokalnya yang khas, sebagai budaya Orang Maluku.

Setelah dua belas tahun saya bekerja menjadi arkeolog Maluku, sebelum dua tahun ini pindah ke Sulawesi Utara, saya melihat seluruh tinggalan arkeologi berkata peradaban Maluku yang multibudaya. 

Berbagai penelitian arkeologi baik yang dilakukan peneliti asing maupun arkeolog Indonesia, secara tidak langsung memberikan pemahaman saya tentang plurarisme dan multikulturalisme  hingga budaya yang hidup dan terlihat sekarang ini.  

Masyarakat multibudaya atau multikultural dipahami sebagai konstruksi budaya masyarakat yang pada prinsipnya bahwa di dalam masyarakat, keanekaragaman budaya merupakan sebuah realitas fundamental dalam kehidupan berbudaya. 

Arkeologi Multibudaya di Maluku: Wajah Budaya Masyarakat Kepulauan
Maluku sebagai salah satu Propinsi Kepulauan, terdiri dari gugusan pulau yang sudah saatnya memanfaatkan potensi sumber kekayaan alam lautan dalam membangun daerahnya.

Kepulauan Maluku dibentuk oleh hampir 3000 ribu pulau baik di Maluku maupun di Maluku Utara. Terdapat beberapa gugus pulau yang membentang dalam kawasan yang terletak di antara Filipina dan Australia ini.

Di utara terdapat Halmahera sebagai pulau utama dengan pulau-pulau satelitnya yang antara lain mencakup Ternate dan Tidore. Terdapat juga Kepulauan Sula di timur laut yang relatif rapat dengan Sulawesi. 

Di Maluku bagian tengah, Seram dan Buru menjadi dua pulau utama dengan Ambon, Lease dan pulau-pulau di timur Seram sebagai himpunan satelit. Di selatan, Kepulauan Kei, Aru, Tanimbar, dan Pulau-Pulau Selatan Daya membentuk gugus besar Kepulauan Maluku Tenggara. 

Penemuan-penemuan data arkeologi, secara luas berdasarkan pola keletakan geografis dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar gugus pulau, tanpa merinci setiap pulau-pulau dalam kelompok besar gugus pulau tersebut. Tiga kelompok besar gugus pulau tersebut adalah Maluku bagian utara yang secara administratif meliputi seluruh wilayah pulau Provinsi Maluku Utara.

 Maluku bagian tengah dan Tenggara yang secara administratif bagian dari wilayah Provinsi Maluku. Setiap wilayah-wilayah pulau terdapat bukti-bukti arkelogi yang bisa menjelaskan tentang puncak-puncak peradaban manusia di wilayah tersebut, sejak peradaban tertua hingga proses perkembangan berikutnya.

Berbagai rangkaian penelitian arkeologi di wilayah Kepulauan Maluku, menghasilkan data arkeologi yang bisa memberikan gambaran proses budaya yang berlangsung di wilayah Kepulauan Maluku. Sejak awal peradaban di masa prasejarah, hingga masa kolonial, memberikan gambar wajah budaya maluku yang beragam. Proses panjang sejarah budaya Maluku, itu pada akhirnya membentuk Maluku yang multibudaya.

Proses budaya itu setidaknya dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian arkeologi yang dapat menjadi poin untuk menyimpulkan bahwa sejak awal Maluku adalah wilayah nusantara yang multibudaya. Pertama: pertanggalan pemukiman awal plestocen, 10.000 hingga 20.000 tahun yang lalu. 

Kedua: Peran yang dimainkan oleh daerah Pemukiman Austronesia di Pasifik; Ketiga: adanya interaksi antara dua kelompok populasi besar ethnolinguistik dari wilayah-Papua (atau Non-Austronesia) dan Austronesia - selama 4000 tahun terakhir, dan keempat: Sejarah perdagangan rempah-rempah dengan Cina, India dan Barat. 

Jejak kemultibudayaan, yang paling mudah dikenali karena rentang zaman yang lebih dekat adalah sejak dikenalnya perdagangan rempah. Berbagai bangsa datang untuk berdagang, bermukim dan menetap, bahkan terjadinya perkawinan campuran berbagai bangsa luar itu. Kini menjadi penduduk yang turun temurun dan menetap di Kepulauan Maluku. Keseluruhan proses itu menghidupkan Maluku dalam wajah kemultibudayaannya. 

Situs-situs arkeologi dan berbagai artefak yang ditemukan, mengabarkan secara jelas tentang kemultibudayaan Maluku sejak masa prasejarah, hingga masa sdejarahd atangnya bangsa-bangsa luar. Proses migrasi, datang dan menetap, lalu membangun kampung dan berinteraksi dengan penduduk lokal. Seluruhnya tergambar jelas berdasarkan data arkeologi yang bisa kita temukan sekarang ini. 

Salam Sarani dan Maluku yang Multibudaya
Multibudaya mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. 

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk.

Multibudaya atau multikulturalisme memerlukan ruang dinamis dan membuka dialog dengan berbagai kalangan lintas agama, social, ekonomi, politik, budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha mejauh dari jebakan penyempitan wawasan paradigmatiknya.

Maluku, didiami oleh berbagai suku bangsa dan kini semuanya hidup berdampingan sebagai masyarakat Maluku. Masyarakat. Maluku merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tebentuk dari teritori-teritori yang didiami oleh berbagai sub suku bangsa, lazim mengklaim diri sebagai kelompok-kelompok yang menguasai teritori dimaksud (hak ulayat). 

Sebagai wilayah kepulauan yang dipersatukan baik melalui proses politik secara nasional maupun secara kultural, realitas sosial budaya di Maluku pada dasarnya bersifat multikultur dan berbagai sub etnik, dicirikan oleh simbol-simbol adat yang mereprentasi ruang-ruang kebudayaan pada masing-masing pulau dan atau gugus pulau, yang diakui mengandung diantaranya sejumlah kesamaan dan perbedaan. 

Dengan demikian, bahwa masyarakat multikultural di Maluku merupakan bagian yang saling berdaulat dan kemajemukan itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan.      

Masyarakat tradisional Maluku tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang kental melanjutkan tradisi. Masyarakat Maluku, secara kultural terbagi dalam kelompok kultur Patasiwa dan Patalima yang secara religi terbagi dalam kelompok Islam (Salam) dan Kristen (Sarani) yang merupakan ciri kebudayaan Maluku yang paling menonjol. 

Salam dan Sarani merupakan sebuah karakteristik budaya sekaligus sosial bagi masyarakat Maluku yang memeluk agama samawi baik Islam maupun Kristen yang secara kontekstual merupakan bagian dari karakteristik budaya masyarakat Maluku. 

Penyebutan Salam dan Sarani, merupakan ciri spesifik bagi masyarakat Maluku karena aspek religi tidak bisa dilepaskan atau bagian yang teritegrasi dengan budaya lokal masyarakat Maluku, sehingga penyebutan kelompok masyarakat Islam dengan sebutan Salam dan Kristen dengan sebutan Sarani, merupakan penyebutan spesifik masyarakat Maluku, tidak untuk pemeluk agama di wilayah lain.

Wajah sosial baik masyarakat Salam maupun Sarani, terbagi dalam bangunan sosial yang terdiri dari agama, adat atau tradisi dan pemerintah. Ketiga aspek tersebut merupakan komponen yang selalu ada dalam struktur sosial masyarakat yang ketiganya saling berinteraksi, saling terintegrasi, saling mengatur dan saling mengisi. 

Pada ketiganya dinamika sosial budaya masyarakat Maluku tampak sangat jelas. Masing-masing komponen dalam struktur sosial tersebut, baik agama, adat dan pemerintah, merupakan cermin dari identitas budaya. Sekaligus merupakan bentuk relasi sosial yang sesungguhnya juga menggambarkan mayarakat multibudaya. 

Dalam berbagai bentuk struktur sosial di Maluku, sebagai contoh misalnya masing-masing marga dan soa, ada kalanya memiliki peran masing-masing baik dalam struktur sosial yang mengatur agama, adat, maupun pemerintahan. 

Ketiga komponen struktur sosial tersebut saling terintegrasi, saling mengatur dan menjalankan peran masing-masing yang merupakan bagian dari konsensus adat dan sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai tradisi.  

Marga tertentu yang dalam struktur sosial sebagai Raja, secara turun temurun akan mewarisi tradisi sebagai raja, demikian pula dan struktur sosial yang mengatur agama dan adat. Ketiga komponen tersbebut juga satu sama lain saling berinteraksi dan terintergrasi yang disatukan oleh semangat solidaritas yang bersifat kolektif kolegia.

Dengan demikian,  Masyarakat Maluku yang secara umum terbagi dalam komunitas Salam dan Sarani yang keduanya berciri kultur Patasiwa (Kelompok Sembilan) dan Patalima (kelompok lima). Siwa Lima merupakan konsep masyarakat Maluku yang berfalsafah adalah menghadapi perbedaan dan keragaman kebudayaan masyarakatnya. 

Pengelompokkan berdasarkan asal-usul dan budaya, khusunya di Maluku Tengah (Ambon, Lease dan Seram) dikenal dengan Patalima dan Patasiwa. Hal ini menjadi semacam identitas masyarakat Maluku. Idenitas memiliki basis nilai yang penting bagi kelangsungan hidup suatu komunitas. Identitas kelompok etnis menjadi sangat penting untuk interaksi sosial. 

Kearifan siwa lima diharapkan mampu menjadi penengah diantara munculnya polarisasi masyarakat Ambon dalam bentuk segregasi antar umat Islam dan Kristen, segmentasi antar entis serta polarisasi antara kaum pendatang dan masyarakat asli. 

Konsep idenitas dalam bentuk Patasiwa dan Patalima, banyak dijumpai tidak hanya di Seram dengan Patasiwa dan Patalima nya dan Uli Siwa serta Uli Lima, namun juga di wilayah Maluku Tenggara dengan konsepnya Lorsiw- Lorlim bagi masyarakat Kei dan Ursiw-Urlima bagi masyarakat Aru. 

Kata dosen saya seorang profesor antropologi Universitas Pattimura, Prof Huliselan, mengatakan Ursiw mengacu pada angka sembilan, dengan unsur kerbau, hiu martil, daratan langit dan gunung. Sedangkan urlima mengacu pada paus, lautan, bumi dan pantai. 

Sedangkan shared culture dari dua hal yang berbeda ini adalah larwul ngabal, yakni hukum adat Kei yang didalamnya terdapat pasal antara lain: Uudentauk na atvunad (Kepala kita berada di atas leher); Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihormati); Uil nit Tenggara mencakup Maluku Tenggara Barat. 

Berbagai Pulau di Aru, dan wilayah Maluku Barat Daya. Siwa lima di Maluku Tenggara ini mempunyai semangat yang sama dengan di Maluku Tengah dan Ambon, yakni dua orang bersaudara layaknya kakak adik yang mempunyai karakter berbeda, namun tetap satu darah dan satu semangat. .

Secara praktis falsafah ini kemudian menjadi semacam persekutuan adat dan politik. Pandangan siwa lima berangkat dari pandangan bahwa dalam kebudayaan yang bersifat monodualistik dan penuh   dengan perbedaan,  keadilan, kerjasama, dan pemerataan harus diterapkan sesuai dengan adat, demi mencapai keharmonisan. 

Jika menegasikan satu identitas, maka eksistensi kebudayaan atau adat yang lain sesungguhnya tidak ada. Karena itu masing-masing individu dalam adat, mesti mengenal dan saling bekerja sama satu dengan yang lainnya. Berangkat dari kearifan dan kejeniusan masyarakat lokal inilah, kemudian siwa lima dijadikan sebagai modal sosial dan juga modal kultural bagi masyarakat dan pemerintahan dalam membangun kembali pola-pola kehidupan masyararakat yang baru saja mengalami konflik berkepanjangan. 

Redifinisi terhadap siwa lima pasca kerusuhan Ambon bertujuan untuk meggerakkan kebersamaan  masyarakat, membangun rasa saling percaya serta mencapai keuntungan secara bersama. 

Semangat siwalima digunakan dan diredefinisikan kembali karena dianggap mempunyai muatan yang bersifat fungsionalis dalam memenuhi kebutuhan suprastruktur masyarakatnya. 

Meningkatnya konflik, menyebabkan orang-orang Patasiwa merefleksikan posisi mereka untuk berdamai dengan Patalima dan kemudian menciptakan pranata sosial pela-gandong dengan mengacu pada satu nenek moyang sebagai asal-usul mereka yakni agama Nunusaku di Pulau Seram. 

Di sisi lain, pemerintah Maluku juga memperkenalkan pranata sosial tradisional lainnya seperti maren, masohi, swen, sasi, hawear yang meskipun tidak "setenar" konsep pela-gandong namun semuannya merupakan modal kearifan masyarakat yang tak kalah signifikan untuk menjadi modal sosial dalam menjalin keharmonisan antar manusia dan lingkungan. 

Munculnya semua pranata sosial ini lebih merupakan strategi untuk menjaga keharmonisan antar seluruh kelompok masyarakatkan. Solidaritas dan membangun soliditas masyarakat. 

Kedua kelompok kultur tersebut di dalamnya membentuk solidaritas struktur sosial yang saling fungsional dan menyatu dalam komponen agama, adat dan pemerintah sekaligus sebagai representasi identitas budaya dan integrasi masyarakat. 

Multibudaya Maluku, yang terintegrasi sebagai masyarakat yang kental melestarikan, mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang dikenal sebagai tradisi orang basudara. Inilah yang kemudian membentuk dan membangun solidaritas dan soliditas masyarakat Maluku ditengah dinamika multikulturalisme. 

Bahwa sesungguhnya keseluruhan sistem budaya, didasari oleh semangat kekeluargaan, yang memiliki hubungan primordial terhadap sejarah dan warisan budaya masa lalu. Oleh karena itu ciri utama masyarakat multikultural Maluku adalah kekuatan kearifan lokal yakni tradisi orang basudara. Dengan kata lain ciri tradisi orang basudara itu sekaligus adalah identitas kultural masyarakat Maluku yang multibudaya (majemuk).

Salam Budaya... Salam Lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun