Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Masa Prasejarah hingga Masa Kolonial, Maluku yang Multibudaya

24 September 2020   22:02 Diperbarui: 28 September 2020   16:19 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Olahan pribadi via canva

Konsep idenitas dalam bentuk Patasiwa dan Patalima, banyak dijumpai tidak hanya di Seram dengan Patasiwa dan Patalima nya dan Uli Siwa serta Uli Lima, namun juga di wilayah Maluku Tenggara dengan konsepnya Lorsiw- Lorlim bagi masyarakat Kei dan Ursiw-Urlima bagi masyarakat Aru. 

Kata dosen saya seorang profesor antropologi Universitas Pattimura, Prof Huliselan, mengatakan Ursiw mengacu pada angka sembilan, dengan unsur kerbau, hiu martil, daratan langit dan gunung. Sedangkan urlima mengacu pada paus, lautan, bumi dan pantai. 

Sedangkan shared culture dari dua hal yang berbeda ini adalah larwul ngabal, yakni hukum adat Kei yang didalamnya terdapat pasal antara lain: Uudentauk na atvunad (Kepala kita berada di atas leher); Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihormati); Uil nit Tenggara mencakup Maluku Tenggara Barat. 

Berbagai Pulau di Aru, dan wilayah Maluku Barat Daya. Siwa lima di Maluku Tenggara ini mempunyai semangat yang sama dengan di Maluku Tengah dan Ambon, yakni dua orang bersaudara layaknya kakak adik yang mempunyai karakter berbeda, namun tetap satu darah dan satu semangat. .

Secara praktis falsafah ini kemudian menjadi semacam persekutuan adat dan politik. Pandangan siwa lima berangkat dari pandangan bahwa dalam kebudayaan yang bersifat monodualistik dan penuh   dengan perbedaan,  keadilan, kerjasama, dan pemerataan harus diterapkan sesuai dengan adat, demi mencapai keharmonisan. 

Jika menegasikan satu identitas, maka eksistensi kebudayaan atau adat yang lain sesungguhnya tidak ada. Karena itu masing-masing individu dalam adat, mesti mengenal dan saling bekerja sama satu dengan yang lainnya. Berangkat dari kearifan dan kejeniusan masyarakat lokal inilah, kemudian siwa lima dijadikan sebagai modal sosial dan juga modal kultural bagi masyarakat dan pemerintahan dalam membangun kembali pola-pola kehidupan masyararakat yang baru saja mengalami konflik berkepanjangan. 

Redifinisi terhadap siwa lima pasca kerusuhan Ambon bertujuan untuk meggerakkan kebersamaan  masyarakat, membangun rasa saling percaya serta mencapai keuntungan secara bersama. 

Semangat siwalima digunakan dan diredefinisikan kembali karena dianggap mempunyai muatan yang bersifat fungsionalis dalam memenuhi kebutuhan suprastruktur masyarakatnya. 

Meningkatnya konflik, menyebabkan orang-orang Patasiwa merefleksikan posisi mereka untuk berdamai dengan Patalima dan kemudian menciptakan pranata sosial pela-gandong dengan mengacu pada satu nenek moyang sebagai asal-usul mereka yakni agama Nunusaku di Pulau Seram. 

Di sisi lain, pemerintah Maluku juga memperkenalkan pranata sosial tradisional lainnya seperti maren, masohi, swen, sasi, hawear yang meskipun tidak "setenar" konsep pela-gandong namun semuannya merupakan modal kearifan masyarakat yang tak kalah signifikan untuk menjadi modal sosial dalam menjalin keharmonisan antar manusia dan lingkungan. 

Munculnya semua pranata sosial ini lebih merupakan strategi untuk menjaga keharmonisan antar seluruh kelompok masyarakatkan. Solidaritas dan membangun soliditas masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun