Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arkeologi, Tafsir Kebudayaan dan Keindonesiaan

1 September 2020   21:07 Diperbarui: 2 September 2020   10:56 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Megalitik, Lembah Besoa, Lore Lindu. Sumber: Dokpri

Bicara arkeologi sebenarnya bukan melulu soal artefak. Bukan hanya tentang budaya materi, tapi banyak ide-ide besar tentang kebudayaan dalam ranah Keindonesiaan. 

Arkeologi tidak hanya menerjemahkan tentang benda budaya, lalu menerangkannya dalam sudut pandang ilmu arkeologi saja. Sebenarnya menurut saya, arkeologi bukan hanya soal remeh temeh bicara benda yang dibuat manusia masa lampau, yang terendap lalu ditemukan oleh arkeolog dalam kacamata proses buat, pakai dan buang. 

Namun sisi-sisi transformasi dalam ketiga proses itu, banyak makna tersimpan, yang menjadi soal untuk diungkapkan.  Kemudian arkeolog menerjemahkannya dalam sudut pandangnya, melalui serangkaian teori dan metode. Arkeologi, adalah juga soal membangun Keindonesiaan, melalui domain kebudayaan material. 

Bagi orang awam, mendengar arkeologi identik dengan barang-barang kuno, bahkan diantaranya dengan cara berpikir yang gegabah dan serampangan, menganggap arkeologi itu identik dengan tulang dan fosil. 

Cara berpikir demikian, sesungguhnya cara pandang orang yang tidak berpikir, atau tidak mau berpikir bagaimana memahami arkeologi. Tapi cara pandang itu tidak bisa disalahkan begitu saja. 

Itu adalah tugas dan tantangan para peneliti, para arkeolog untuk mengabarkan kepada semua yang tak jelas berkata tentang arkeologi, tentang budaya materi. 

Hal-hal besar dari arkeologi, sebenarnya ada di depan mata. Tapi harus diakui, banyak pula arkeolog yang gagal menerjemahkan, gagal 'membunyikan'  bahkan lebih celaka lagi, gagal memahami wujud kebudayaan meteri itu dalam kerangka kebudayaan yang lebih besar. Sesungguhnya, kegagalan itu sebenarnya, adalah kegagalan dalam membangun kerangka pemikirannya sendiri. 

Betapa tidak, harus diakui banyak arkeologi hanya sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk dengan pekerjaannya sendiri, sibuk dengan cara pandangnya sendiri, sibuk dengan dirinya sendiri. 

Seolah-olah bicara arkeologi hanya urusan dialog antara arkeolog atau orangnya di masa kini dengan benda yang ditemukannya atau budaya materi dari masa lampaunya. 

Benar, ketika arkeolog menemukan benda, ia akan 'memaksa' benda itu untuk bicara. Namun semestinya bukan hanya bicara dengan diri sang arkeolog sendiri. 

Tapi yang lebih penting adalah, bagaimana benda kuno atau benda arkeologi itu juga 'dipaksa' untuk bicara kepada dunia, tentang jati dirinya. 

Cara mengajak bicara yang gagal, membuat arkeolog juga gagal mengabarkannya kepada dunia. Apa yang terjadi? arkeolog dan arkeologi baru sebatas bicara dengan dirinya sendiri dan tentang dirinya sendiri. 

Baiklah, memang benar dalam kaidah keilmuan, pengertian arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang budaya masa lampau melalui material budaya atau budaya benda yang ditinggalkannya. 

Dari pengertian itu jelas kata kunci dan maknanya. Di situ kita bisa memahami kata kunci yaitu ilmu, budaya, masa lampau, budaya benda. 

Secara ringkas, mempelajari arkeologi bertujuan untuk mengungkap budaya masa lampau, melalui berbagai hasil kebudayaan berupa benda atau material budaya. 

Namun, dalam pemahaman yang luas, karena disitu menyangkut ilmu, maka arkeologi bisa memperluas cakrawala ilmu dan pengetahuannya, guna menyingkap tabir masa lalu yang lebih luas lagi. 

Arkeologi dan Tafsir Kebudayaan

Secara sederhana saya ingin mencontohkan sedikit saja, jika seorang arkeolog menemukan benda berupa lesung batu dan menhir dalam lokasi situs yang sama. 

Maka serta merta arkeolog akan menerjemahkannya menjadi seperti ini: lesung batu berupa alat batu berbentuk bulat dan memanjang, di bagian atasnya ada dimensi bidang datar, di tengahnya ada lubang. 

Bentuk batu seperti itu, kemungkinan untuk menumbuk biji-bijian. Ini contoh terjemahan yang sangat deskriptif, kadang kala dilengkapi pula dengan ukuran dimensinya, panjang, lebar, diamater dan sebagainya. 

Pendek kata deskripsi yang sangat standar arkeologi. Kemudian menhir, digambarkan sebagai sebuah batu berbentuk lonjong atau persegi, baik melalui proses pengerjaan misalnya pemangkasan, atau batu persegi yang bentuknya alamiah, memiliki ukuran panjang setinggi manusia atau setinggi dua kali ukuran manusia. 

Sebagian dari batu itu tertanam. Nah, setidaknya seperti itu gambaran singkat benda itu. Arkeolog mengenali cirinya bahwa itu dibuat atau melalui proses buat, lalu digunakan oleh manusia dan kemudian tidak digunakan lagi. Proses transformasinya dan kronologi dari mulai dibuatnya, dipakainya dan ditinggalkannya dijelaskan oleh para arkeolog yang menemukan. 

Apakah hanya cukup disitu saja menjelaskannya? Tidaklah, namun banyak pula arkeolog masih berkutat pada penggambaran yang hanya sebatas itu, betapapun luas jangkauan wilayah penemuannya. 

Karena wilayah penemuannya luas, maka kemudian arkeolog menerjemahkannya seperti ini: "wilayah penemuan lesung batu dan menhir merupakan daerah yang kaya akan sumber bahan baku untuk membuat lesung batu dan menhir, karena lesung batu dan menhir ditemukan pada ruang atau lokasi yang sama, kemungkinan situs-situs yang ditemukan sebagai situs pemujaan, karena menhir dan lesung batu pada masa lampau digunakan sebagai media ritual pemujaan nenek moyang, disamping fungsi lesung batu kemungkinan digunakan untuk alat menumbuk biji-bijian, namun karena lesung batu ditemukan bersamaan dengan menhir, sebagaimana diketahui menhir adalah sarana pemujaan pada masa megalitik, maka kemungkinan lesung batu dan menhir digunakan sebagai sarana pemujaan"

Tentu terjemahan seperti itu tidak salah, tetapi sangat general, kadangkala juga terasa sangat dangkal. Dari data arkeologi itu, jika kita hanya menerjemahkannya seperti itu, maka para arkeolog masih berbicara dengan dirinya sendiri, juga tentang dirinya sendiri. 

Sebenarnya, arkeolog sebagai interpreter tentang masa lampau, dapat menjangkau pemahaman masa lampau yang lebih luas lagi. Kenapa tidak, arkeolog menerjemahkan, jika ditemukan lesung batu yang tersebar di banyak lokasi, berjumlah masif dan seringkali kita menemukannya secara intensif di setiap penelitian, kita menerjemahkan lebih luas lagi soal, tradisi olah pangan, soal kedaulatan dan ketahanan pangan pada masa lampau. 

Mengingat lesung batu merupakan salah satu alat atau artefak yang digunakan untuk mengolah pangan, menumbuk biji-bijian. Berbagai data pendukung dapat kita paparkan, juga melihat berbagai kondisi lingkungan masa lampau dan kekinian. Semua variabel data dapat saling kita asosiasikan untuk menerjemahkan kebudayaan dengan lebih luas lagi. 

Artinya, arkeologi sebagai ilmu budaya masa lampau dan arkeolog sebagai penerjemah tentang masa lampau, melakukan tugasnya dalam urusan tafsir kebudayaan.

Saya tidak hendak mengurai lebih dalam lagi soal teori Tafsir Kebudayaannya Cliford Geertz, namun cara kita menalar sebuah fenomena, otomatis kita bisa berasumsi sambil membayangkan fenomena itu seolah-olah terjadi di masa kini, berdasarkan data artefak yang kita jumpai. 

Seperti itulah yang saya maksudkan bahwa arkeolog, melakukan tafsir kebudayaan berdasarkan artefak budaya, fenomena-fenomena data budaya juga memberi makna terhadap perilaku manusia melalui benda-benda yang dihasilkan dari proses tingkah laku dalam ruang dan waktu. 

Kita contohkan saja secara sederhana jika fenomena itu terjadi di saat ini, dengan contoh misalnya artefak kekinian. Suatu ketika kita berjalan-jalan di sebuah mall yang kosong penghuninya. 

Di sebuah ruang tertentu kita masuk dan melihat banyaknya barang-barang elektronik, dari Laptop, gadet dan segala pernak-perniknya. Tentu saja serta merta kita bisa menerangkan, bahwa tempat yang kita kunjungi adalah toko barang-barang elektronik. Ya iyalah, masak toko pakaian...hehehe. 

Tapi yang saya maksudkan, kita tidak hanya bisa menerjemahkan berdasarkan fenomena berdasarkan artefak yang kita lihat, tetapi bisa menerjemahkan fenomena lain, misalnya tentang bagaimana kecenderungan orang untuk membeli peralatan elektronok itu, bagaimana tingkat komsumtifnya orang terhadap kebutuhan barang-barang elektronik berdasarkan, ragam, jumlah dan banyaknya ketersediaan barang-barang elektronik di setiap toko. 

Begitu pula arkeolog, bisa menerjemahkan masa lampau seperti halnya dalam bayangan masa kini. Bahkan dari berbagai merk gadget misalnya, kita bisa melihat bagaimana skala sosial ekonomi masyarakat terhadap fenomena merk dan sebagainya...dan sebagainya, tafsir perilaku, tafsir kebudayaan bisa diperluas lagi soal-soal demikian. 

Begitu pula arkeolog dalam menerjemahkan masa lampau. Jadi arkeolog tidak akan berbicara tentang dirinya sendiri, atau bicara sendiri, tapi dapat menjelaskan fenomena-fenomena kebudayaan masa lampau dan proses budaya yang berlangsung dalam kerangka menjelaskan fenomena kebudayaan yang lebih besar lagi.  

Arkeologi dan Keindonesiaan

Karena arkeologi berbicara tentang fenomena kebudayaan dalam bingkai kepelbagaian nusantara, tentang Keindonesiaan, maka sebagai penerjemah kebudayaan masa lampau, sesungguhnya arkeologi bisa berkonstribusi dalam pembangunan mentalitas kebudayaan di Indonesia. Membangun Keindonesiaan dengan cara pandang arkeologi. 

Untuk menjelaskan apakah nenek moyang Indonesia itu seorang pelaut atau petani misalnya, arkeolog dengan fenomena-fenomena kebudayaan masa lampau melalui artefak-artefak budaya dapat menjelaskan soal-soal itu. 

Arkeolog juga bisa menerjemahkan kalimat yang semakin populer yakni soal bahwa laut sebagai penghubung pulau-pulau, laut sebagai pemersatu bukan pemisah. 

Fenomena demikian sangat bisa dibuktikan dan diuji melalui data arkeologi, untuk menerjemahkan berbagai fenomena budaya yang terus bergerak. Baik sebagai negera maritim ataupun negara agraris. Indonesia adalah bangsa yang besar. 

Nenek moyang bangsa Indonesia memberikan pelajaran dan pengalaman berharga, bagaimana mengelola laut, namun juga mengelola lahan-lahan pertanian, mengajarkan cara bercocok tanam. 

Di kepulauan nusantara, meskipun tidak serta merta digeneralisasi, namun berbagai persamaan kebudayaan, menjelaskan soal itu, meskipun di setiap wilayah kepulauan nusantara ini memiliki keunikannya sendiri-sendiri. 

Bahwa Keindonesiaan yang majemuk itu merupakan keniscayaan, namun berbagai kesamaan budaya, menunjukkan adanya akar-akar kebudayaan nusantara itu memiliki benang merahnya. 

Kemiripan dalam kepelbagaian itu juga terlihat, karena berbagai proses asimilasi, akomodasi merupakan proses transformasi budaya yang faktual, karena adanya proses migrasi sejak dulu kala.

Percampuran Austronesia, yang cikal bakalnya berasal dari Taiwan dan daratan Cina Selatan misalnya, itu menjadi kebudayaan yang dominan di nusantara, juga ada proses asimilasi dengan Melanesia misalnya saja seperti di Papua, yang secara origin merupakan populasi Melanesia. 

Itu berbagai contoh sederhana saja untuk menerjemahkan kebudayaan nusantara, menerjemahkan Keindonesiaan. Tafsir besar kebudayaan tentang nusantara dapat dihadirkan oleh arkeologi dan para interpreter atau arkeolognya. 

Fakta-fakta Keindonesian, yang dihasilkan oleh artefak-artefak kebudayaan masa lampau, sesungguhnya ruang pembelajaran yang sangat luas untuk generasi Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka pembelajaran dan penguatan karakter, para arkeolog dapat menerjemahkan berbagai fenomena kebudayaan. 

Jadi para arkeolog harus menyemangati terus dirinya, menjadi arkeolog yang terus belajar, arkeolog pembelajar memahami fenomena kebudayaan. Melatih kepekaan, melatih imaji dan memperluas cakrawala berpikir dan semakin menguatkan serta memperluas cara berpikir. 

Juga belajar terus untuk tampil sebagai arkeolog yang mampun membangun kerangka pemikiran untuk menangkap berbagai isu-isu kebudayaan, agar mampu menjadi interpreter, menerjemahkan fenomena kebudayaan berdasarkan artefak-artefak yang berserak. 

Melakukan tafsir kebudayaan, ide-ide besar tentang kebudayaan, agar semakin menguatkan posisi arkeologi dalam proses membangun Indonesia yang berbudaya dan bermartabat.  

Tugas para penerjemah kebudayaan, salah satunya arkeolog dengan arkeologinya, diharapkam mampu berkonstribusi membangun ide-ide besar tentang kebudayaan nusantara, Keindonesiaan. 

Sebesar apapun Indonesia nantinya, sebagai negera bahari, negara penghasil pangan, negera industri maju dan sebagainya, harus menjadi bangsa yang berkarakter, berjati diri. Dengan modal itulah Indonesia semakin kuat dalam peradaban besar di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun