Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membuat Gerabah, Tradisi Kuno yang Masih Bertahan

7 September 2020   23:49 Diperbarui: 8 September 2020   11:52 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas susunan gerabah ini, ditutup dengan jerami, lalu dibakar. Lamanya pembakaran kira-kira setengah jam. Setelah pembakaran, gerabah-gerabah dikeluarkan lalu dipoles dengan damar . 

Jenis dan ukuran gerabah pun beragam, antara lain:

  1. Tempayan digunakan sebagai tempat air
  2. S e m p e, sejenis belanga. Bentuknya besar dan digunakan untuk tempat air
  3. Kurek besar, sejenis gerabah besar digunakan untuk memasak sayur, seperti kuali
  4. Kurek Kecil, gerabah kecil, digunakan untuk masak ikan 
  5. Totoren, sejenis kurek, digunakan untuk memasak air dan nasi bungkus seperti buras (sejenis ketupat) 
  6. Lelesan, bentuk seperti ketel, digunakan untuk memasak nasi. wajan untuk menggoreng
  7. Rumping, sejenis wajan untuk menggoreng
  8. Pot/vas bunga, perkakas yang umum ditemui di pasaran, sejenis tempat untuk wadah tanah ditanami bunga

Kenapa di Minahasa, Pembuat Gerabah hanya Wanita?

Seorang ibu yang membuat gerabah (Sumber: Balar Sulut)
Seorang ibu yang membuat gerabah (Sumber: Balar Sulut)
Tradisi pembuatan gerabah di Minahasa terdapat di desa Pulutan, kecamatan Remboken, kabupaten Minahasa - Provinsi Sulawesi Utara. 

Tradisi Pembuatan Gerabah di Desa Pulutan masih mempergunakan teknik pembuatan gerabah yang sangat sederhana, dan masih merupakan tradisi turun-temurun.

Konon gerabah hanya bisa dikerjakan oleh kelompok wanita. Dipercaya, jika gerabah itu hanya bisa dibuat oleh kelompok wanita, dari proses mengambil bahan, membentuk dan membakar. Ada semacam kepercayaan lokal, jika gerabah dibuat oleh kaum pria, justru akan mendatangkan bencana. Entah dari mana kepercayaan itu muncul. 

Faktanya untuk di wilayah timur nusantara, termasuk di Minahasa, Sulawesi Utara, seluruh proses pembuatan gerabah dilakukan oleh kaum wanita. Sama halnya tradisi gerabah di Pulau Saparua, Maluku, tepatnya di Desa Ouw. Bahkan asal bahan yang berada jauh dari tempat tinggalnya, diambil dan dipikul sendiri oleh kaum wanita. 

Jika dipelajari seksama, tafsir kebudayaan bisa muncul dari sini, tentang wanita sebagai simbol bumi. Saya mencoba menjadi intrepreter soal ini. 

Di beberapa wilayah, terutama jika membandingkan dengan wilayah timur nusantara lainnya, contohnya Maluku, di mana saya sebagai peneliti arkeologi, sering kali menjumpai fenomena kepercayaan lokal, bahwa wanita menjadi simbol bumi atau mother of earth.

Pengambilan bahan baku gerabah yang dilakukan juga oleh kaum wanita (Sumber: Balar Sulut/Ipak Fahriani)
Pengambilan bahan baku gerabah yang dilakukan juga oleh kaum wanita (Sumber: Balar Sulut/Ipak Fahriani)
Poin of view-nya adalah bumi adalah unsur tanah. Dalam kebudayaan terdapat simbol-simbol kebudayaan yang bisa diterjemahkan untuk mengangkat soal-soal kearifan lokal, jati diri dan identitas. 

Sementara itu bahan utama gerabah, terdiri dari unsur bumi yang kuat dan dominan yakni tanah dan pasir. Oleh karena simbolisasi itu maka lahirlah kepercayaan lokal, bahwa kaum wanitalah yang bisa membuat gerabah. Karena unsur bahan tanah dan pasir itu tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun