Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembangunan Taman Seribu Waruga, Mungkinkah?

24 Agustus 2020   14:40 Diperbarui: 24 Agustus 2020   18:28 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa-siswa mempelajari nilai budaya Waruga. Sumber: Balar Sulut

Salah satu potensi data arkeologi yang penting yang bisa dikembangkan dalam kerangka pengembangan sumberdaya arkeologi sebagai modal pembangunan berkelanjutan adalah sebaran situs-situs waruga. 

Sejauh ini situs-situs waruga belum dikelola secara masif dan terintegrasi, sehingga terkesan hanyalah warisan budaya yang tidak memiliki nilai 'heritage' yang tinggi. 

Sampai saat ini, mungkin orang hanya melihat bahwa waruga adalah tinggalan atau warisan budaya orang Minahasa. Waruga merupakan media kubur para leluhur orang Minahasa yang harus dijaga dan dilestarikan. Itu saja, setidaknya itu gambaran umum yang bisa kita peroleh dengan segera dan hanya dalam lintasan benak saja, setelah itu hilang begitu saja.

Tidak bosan-bosannya dan tidak habis-habisnya saya mengulas tentang ikon budaya Minahasa, yakni Waruga yang sudah mendunia, meskipun hingga saat ini keberadaannya sebagai warisan budaya belum diakui sebagai warisan dunia. 

Bagaimana tidak, hingga kini keberadaan waruga yang ditemukan di tempat yang terpisah-pisah dan beberapa diantaranya dalam kondisi yang rusak, menurunkan nilai penting warisan budaya itu sendiri. 

Sementara itu, secara insitu, keberadaan waruga merupakan fitur arkeologi yang sudah berada di tempat awalnya, pada matriksnya, yang jika memindahkannya, tentu menurunkan pula nilai penting warisan budaya, menurunkan nilai keasliannya. 


Namun, jika dalam lokasi awal ditemukannya, banyak lokasi-lokasi penemuan waruga, tidak pada lokasi yang bebas dari dampak pembangunan. Contoh kecil, waruga-wruga banyak diantara ditemukan di pinggir-pinggir jalan, yang terancam pembangunan perluasan jalan. 

Selain itu kondisi yang terpisah-pisah dan tunggal atau obyek-obyek waruga yang tidak ditemukan dalam jumlah besar dan mengelompok, sangat rentan di korbankan oleh pembangunan. 

Waruga, ikon budaya, tinggalan warisan budaya yang khas dari Bumi Nyiur Melambai, Minahasa. Hingga kini masih menjadi wacana yang tak habis dikupas tentang nilai pentingnya juga ancaman kemusnahannya. 

Selain seringkali ditemukan data-data terbaru tentang keberadaan waruga, namun data terbaru tentang ancaman kemusnahannya juga mengemuka. Tak jarang perdebatan muncul karenanya.

Di satu sisi mempertahankan keberadaannya sebagai warisan budaya lokal Minahasa, di sisi lain dihancurkan demi pembangunan yang semakin pesat berkembang. Waruga dianggap masa lalu dan usang, tak terpelihara dan tak dibutuhkan, namun di satu sisi ciri identitas budaya Minahasa melakat padanya. 

Perdebatan Narasi Pembangunan Waruga

Dialektika tentang waruga memang terus bergulir, seiring waktu yang terus mengalir, dan beberapa kali kebijakan pembangunan kerap kali tergelincir menafikkan keberadaan waruga, meskipun seringkali mendapat protes warga. Di satu sisi, pemerintah daerah sesungguhnya juga memberi perhatian terhadap pelestarian waruga, meski tampak terkesan hanya menggunakan cara pandangnya sendiri. Di luar itu, ada pula oknum-oknum tak bertanggungjawab juga melakukan pengrusakan waruga, seperti yang pernah terjadi pada situs waruga Keima, Kabupaten Minahasa Utara.  

Di tengah, berbagai polemik tentang keberadaan sumberdaya warisan budaya waruga, temuan-temuan baru dan juga adanya beberapa peristiwa penghancuran waruga, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, memviralkan ide rekayasa situs bertajuk pembangunan taman purbakala seribu waruga. 

Dalam prinsip penyelamatan situs, ide itu dinilai sebagai ide yang spektakuler, namun dalam sisi lain, dianggap bakal mereduksi nilai sejarah dan budaya. Polemik dan perdebatanpun bergulir. 

Wacana Balai Arkeologi Sulawesi Utara menuai pro dan kontra, namun kondisi ini sudah diduga dan sudah diproyeksikan oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Wacana atau ide pembangunan taman seribu waruga, sebetulnya memang wacana untuk memantik respon publik untuk peduli terhadap warisan budaya waruga, warisan budaya yang khas dari leluhur Minahasa. 

Ide itu sebenarnya, melihat potensi waruga yang seringkali masih terabaikan, dan ditemukan dalam posisi atau lokasi yang tidak menguntungkan. 

Menyatukan waruga dalam pembangunan taman 1000 waruga, sesungguhnya terkhusus bagi waruga yang betul-betul terancam kebaradaannya dan dan terancam hancur.  

Tidak diberlakukan pada seluruh waruga yang ada. Apalagi keberadaan waruga, yang saat ini dapat dijumpai, pada umumnya juga sudah mengalami proses pemindahan. Artinya sudah tidak insitu lagi atau bukan tempat asli, awal ditemukannya waruga. (detikmanado) . 

Taman Cagar Budaya Sawangan. Sumber: https://manado.tribunnews.com
Taman Cagar Budaya Sawangan. Sumber: https://manado.tribunnews.com
Banyak tokoh di berbagai media memberikan tanggapan pro dan kontra. Sejarawan Universitas Sam Ratulangi, Dr. Ivan Kaunang misalnya mengatakan, bahwa ide pembuatan taman seribu waruga bisa menghilangkan nilai sejarah dan nilai budaya waruga itu sendiri (detikmanado). 

Tanggapan lebih tajam lagi disampaikan akademisi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon, Dr. Denni HR Pinontoan, yang mengatakan ide Balai Arkeologi Sulawesi Utara itu, tidak tepat dalam upaya perlindungan, justru patut dipertanyakan, mengapa keberadaan waruga tidak segera didaftarkan sebagai Cagar Budaya. 

Juga tanggapan lainnya misalnya dari  Fabian Kaloh, anggota DPRD Provinsi Sulut, yang mendukung ide tersebut, serta beberapa tanggapan lainnya (detikmanado).

Bagi Balai Arkeologi Sulut sendiri, pro kontra terhadap ide pembangunan Taman Seribu Waruga, bisa dimaknai secara positif, justru menjadi titik balik balik kesadaran masyarakat, sebagaimana yang pernah saya ulas di Kompasiana, sebelumnya. Hal ini karena, secara institusional, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, sebagai lembaga riset, tidak memiliki kewenangan dalam pembangunan fisik, semata-mata rekomendasi hasil penelitian dan hasil analisa terhadap kondisi waruga. 

Pendaftaran Waruga sebagai Cagar Budaya, menjadi kewenangan Tim Ahli Cagar Budaya yang bisa dibentuk oleh Pemerintah Daerah, juga dalam koordinasinya dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kemendikbud, yang berkedudukan di Gorontalo. Dalam hal ini memang dibutuhkan koordinasi dan sinergi lintas instansi dan multistakleholder. 

Pembangunan Kawasan Waruga Kuwil

Ditengah-tengah wacana itu, Pemerintah Provinsi, melalui  Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey sendiri telah meletakan batu pertama taman wisata budaya waruga di lokasi pembangunan Bendungan/waduk Kuwil Kawangkoan, Kabupaten Minahasa Utara, Kamis (13/8/2020). Peletakan batu pertama taman wisata budaya waruga, dengan alokasi anggaran Rp33 miliar yang dibangun di atas lahan seluas 3,1 hektar dengan 87 makam ini bernilai konstruktif dalam rangka pemantapan pembangunan daerah di sektor kebudayaan bahkan dapat menjadi sarana penunjang pembangunan pariwisata di Sulut (daerah.sindonews).   

Apa yang dikerjakan Pemprov melalui Dinas  Pariwisata dan Kebudayaan, dengan menggandeng Balai Besar Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS I), tampaknya kelanjutan dari kompensasi pembangunan proyek Waduk Kuwil, yang sebelumnya menggusur dan berakibat hancurnya puluhan waruga (gempaberita). 

Juga sebagaimana banyak diberitakan soal pembangunan waduk Kuwil di tahun 2016 itu, yang mengakibatkan kerusakan waruga, akibat terdampak pembangunan waduk. 

Peninjauan lokasi pembangunan kawasan Waruga Kuwil oleh Dinas Parbud Prov. Sulut, Jenri Sualang (kemeja merah) Sumber: http://mediamanado.com/
Peninjauan lokasi pembangunan kawasan Waruga Kuwil oleh Dinas Parbud Prov. Sulut, Jenri Sualang (kemeja merah) Sumber: http://mediamanado.com/
Tentu saja apa yang dikerjakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulut dan BWSS I bernilai positif, namun demikian tetap diperlukan koordinasi dengan instansi terkait, terutama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kemendikbud yang memiliki tugas dan fungsi dalam pelestarian Cagar Budaya. 

Dengan Balai Arkeologi Sulawesi Utara, koordinasi dibutuhkan dalam kaidah-kaidah ilmiah tertentu yang dibutuhkan dalam proses relokasi dan pembangunan lokasi waruga yang baru.  

Kawasan Waruga, yang akan dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya adalah asset pemerintah daerah dan masyarakat, oleh karena itu kewenangan pemerintah daerah dan juga masyarakat Sulut untuk mengelola dan mengembangkannya. 

Namun mengingat obyek cagar budaya itu memiliki nilai kekhususan dan juga menjadi perhatian pemerintah pusat, tentu saja diperlukan sinergitas multistakeholder dalam pelaksanaannya.

 Koordinasi antara pemerintah daerah dan unit pelaksana teknis Kemendikbud diperlukan untuk lebih memberikan tata kelola yang baik dalam hal pengembangan obyek yang diduga cagar budaya maupun yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. 

Oleh karena pentingnya keberadaan Waruga sebagai simbolisasi kebudayaan orang Minahasa dan di dalamnya melekat soal jati diri budayanya, sehingga Waruga menjadi simbol budaya yang harus dipertahankan. 

Hubungan masyarakat sekarang dengan jati diri masa lalunya juga sangat melekat pada Waruga. Oleh karena itu keberadaan waruga harus dilestarikan secara berkelanjutan. Namun, pada sisi lain, keberadaan Waruga seolah-olah tidak begitu menjadi perhatian. Kasus pengrusakan masih terus saja terjadi. 

Dalam banyak kasus yang terjadi, seperti yang baru -baru ini terjadi, penggusuran obyek-obyek waruga karena lokasinya akan dibangun waduk, sehingga obyek-obyek waruga yang terkena penggusuran waduk harus dipindahkan. Proses pemindahan yang 'serampangan' menyebabkan kerusakan obyek waruga. 

Tidak itu saja juga terdapat pengrusakan waruga di beberapa lokasi, yang disebabkan oleh ulah tangan tak bertanggungjawab dan tidak memahami makna nilai penting waruga.  

Ketidakpahaman masyarakat tentang makna Waruga menjadi salah satu penyebab utama, disamping nilai penting dan nilai 'heritage' waruga juga tidak banyak dipahami dan mungkin nilai 'heritage' masih berskala kecil. Tentu saja, sosialisasi nilai penting Waruga untuk masyarakat, perlu terus dikembangkan, meskipun mungkin bukan upaya yang cukup efektif.

Oleh karena itu ke depan perlunya pelestarian obyek waruga dalam perspektif yang lebih serius. Pada prinsipnya, sebagian besar masyarakat pada umumnya memahami nilai penting Waruga sebagai warisan budaya. 

Upaya-upaya pelestarian juga sudah dilakukan. Pada umumnya, sepanjang hasil penelitian dan penemuan waruga dan yang saat ini dilestarian atau dikelola oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait adalah waruga-waruga yang sudah dipindahkan dari tempat aslinya atau sudah tidak insitu lagi. 

Namun tetap memiliki nilai cagar budaya yang penting. Meski demikian, di beberapa tempat penghancuran dan kerusakan tidak dapat dielakkan. Meskipun masyarakat paham tentang nilai pentingnya, tetapi tidak berdaya menghadapi laju pembangunan, yang di satu sisi juga atas nama kepentingan masyarakat. 

Oleh karena itu perlu upaya-upaya pelestarian yang berkelanjutan, yang dapat menjadi solusi bagi kepentingan pembangunan banyak pihak. 

Siswa mempelajari nilai budaya waruga. Sumber: Balar Sulut
Siswa mempelajari nilai budaya waruga. Sumber: Balar Sulut
Dalam konteks ini perlunya mengembangkan konsep pengelolaan dan pelestarian yang meningkatkan dan menguatkan nilai 'heritage' tinggalan waruga, sehingga tidak mudah dikorbankan. 

Sejauh ini pengelolaan dan pelestarian waruga tidak terintegrasi dan tidak masif, sebaliknya menempatkan waruga dalam ruang-ruang skala kecil, itu juga masih sebagian kecil potensi cagar budaya waruga yang sudah dikelola dan dilestarikan, selebihnya masih tersebar di lokasi-lokasi yang belum dikelola dengan baik. 

Situs-situs waruga yang ada saat ini beberapa diantara yang sudah cukup pupuler atau sudah menjadi cagar budaya, sebenarnya merupakan pemindahan dari lokasi aslinya atau sudah tidak insitu lagi. 

Meski demikian, karena terpisah-pisah dan dalam ruang-ruang yang kecil, sehingga nilai heritage nya pun tampaknya juga tidak begitu berpengaruh pada perhatian publik. Bahkan diantaranya masih terdapat pengrusakan.

Suistainable Development Goals (SDGs)

Hasil penelitian tentang Waruga sejauh ini masih terbatas dalam kajian bentuk dan ruang, yang mendeskripsikan berbagai bentuk, ukuran dan bentuk-bentuk motif hias, selain juga tentang sebarannya. 

Namun demikian, kajian tentang waruga tidak cukup menjelaskan tentang seberapa pentingnya Waruga dalam konteks pembangunan berkelanjutan atau Suistainable Development Goals (SDGs) (SDGs). 

Bagi sebagian besar orang Minahasa, waruga merupakan simbol leluhur, simbol jati diri yang harus dipertahankan. Meskipun dalam konteks kajian ilmiah, simbol-simbol jati diri yang melekat pada waruga, belum seluruhnya terungkap, untuk tidak mengatakan baru sebagian kecil yang terungkap. Mengapa demikian masifnya keberadaan waruga dan tersebar merata di wilayah Semenanjung Minahasa dan tidak ditemukan dalam masyarakat di belahan lain di bumi Sulawesi atau di bagian Nusantara lain? 

Bagaimana bentuk-bentuk waruga dalam konteks migrasi budaya dan masyarakatnya, dari dan ke wilayah lainnya. Bagaimana bentuk arsitektur waruga dalam konteks arsitektur bangunan yang serupa di wilayah lain, dan sebagainya, hal itu merupakan salah satu contoh kajian dalam domain ilmu pengetahuan yang penting untuk terus diperbincangkan.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan (SDGs) maka hal yang terpenting dalam pengelolaan waruga adalah mengedepankan konsep pelestarian berkelanjutan. Dalam kasus situs waruga, maka wacana yang penting dalam konsep ini adalah model 'Rekayasa Situs' Waruga. "Rekayasa Situs" Waruga mengintegrasikan seluruh peninggalan waruga di satu lokasi yg dipilih dengan pertimbangan lokasi atau lahan yg dipilih bisa mewakili lahan yg masih alami dan asli, untuk dijadikan kawasan seluruh obyek Waruga di seluruh Sulut yang selama ini tersebar dan terpisah-pisah. 

Hal ini penting mengingat sepanjang sejarah penemuan dan penelitian situs waruga, di banyak lokasi, sebenarnya waruga yang ada adalah hasil pemindahan dari lokasi-lokasi awalnya, artinya bukan situs insitu lagi, nilai cagar budayanya hanya pada obyek waruga bukan pada situs atau lokasinya, maka dalam konteks ini, pelestarian ini sesungguhnya sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk rekayasa situs. 

Sayangnya agak sulit mengangkat situs atau obyek waruga dalam wacana 'heritage' yang lebih besar, karena situs waruga 'yang sudah dpindahkan'  itu tersebar dan terpisah-pisah di lokasi-lokasi yang 'kecil'.

Oleh karena itu wacana mengintegrasikan seluruh waruga di Sulawesi Utara, pada satu lahan atau lokasi, justru menarik, karena ratusan bahkan ribuan waruga dalam satu kawasan atau satu lokasi yang luas, akan menjadi obyek cagar budaya yang memiliki nilai 'heritage' yang lebih tinggi. 

Mengintegrasikannya waruga-waruga di seluruh Sulawesi Utara pada satu lokasi yang luas, justru menjadi model pelestarian yang lebih kuat, karena obyek cagar budaya yang masif itu dapat menjadi ikon heritage di Sulawesi Utara, atau bahkan di pentas Indonesia dan internasional, sehingga tentu saja perhatian terhadap pelestariannya lebih besar lagi.

Tentu saja konsep dan rancangan Rekayasa Situs Waruga, bisa jadi akan menjadi kontroversi dan tidak tertutup kemungkinan dijawab dengan munculnya reaksi dan resistensi masyarakat lokal yang sangat mensakralkan keberadaan obyek waruga yang sangat lekat dengan nilai-nilai warisan leluhur. 

Namun, banyaknya terjadi pengrusakan dan dikorbankan atas nama pembangunan, serta nilai 'heritage' dari waruga yang seringkali diabaikan, justru menjadi argumen yang melahirkan konsep pelestarian yang oleh penulis disebut sebagai 'rekayasa situs waruga'. 

Konsep pelestarian berkelanjutan, dalam konteks ini justru dapat diimplemenatasikan dan seiring dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang sudah menjadi amanat dunia. 

Konsep rekayasa situs waruga, selain akan mengintegrasikan seluruh obyek waruga di seluruh wilayah Sulawesi Utara, juga akan menjadi destinasi pariwisata dan juga lapangan studi ilmu pengetahuan yang maju dan berkembang. Tentu saja, dalam prosesnya membutuhkan perencanaan yang matang dan pengelolaan, berkelanjutan, termasuk dalam proses pengawasan pelaksanaannya.

Melalui rekaysa itus, obyek waruga secara fisik, justru akan lebih terjaga, dan seluruh obyek waruga yang terpisah-pisah dapat dijumpai dengan hanya melihat pada satu lokasi yang luas. 

Dengan terintegrasinya seluruh obyek waruga di Sulawesi Utara, yang jumlahnya kemungkinan mencapai ribuan, tentu akan meningkatkan atau menaikkan nilai 'heritage' waruga, karena masifnya jumah waruga pada satu lokasi yang sama dan terintegrasi dengan lanskap kawasan yang masih asli.

Langkah-langkah taktis dan teknis yang perlu dilakukan dalam proses 'Rekayasa Situs Waruga" antara lain:

  • Pendataan kembali obyek waruga di seluruh wilayah Sulawesi Utara yang tersebar di banyak lokasi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat seberapa besar kuantitas atau jumlah sesungguhnya waruga yang ada di Sulawesi Utara. Hal ini karena obyek waruga tersebar di beberapa titik lokasi dengan klasifikasi yang beragam, antara lain di lokasi situs yang sudah menjadi Situs Cagar Budaya seperti situs Waruga Sawangan, Air Madidi Bawah, Tumaluntung dan sebagainya. Selain itu juga ada obye-obyek waruga yang terdapat di pemukiman penduduk, yakni di seputar rumah tinggal masyarakat. Selain itu juga terdapat obyek waruga yang masih terdat di lokasi aslinya di situs-situs perbukitan ataupun hutan yang tidak diketahui jumlahnya secara pasti dan mungkin di lokasi-lokasi yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Untuk informasi ini perlu ditindaklanjuti dengan mengumpulkan informasi yang lebih luas berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal, terutama para ketua suku (Tonaas).
  • Survei dan penentuan lokasi yang akan dijadikan kawasan atau lahan untuk obyek waruga terintegrasi. Lahan atau lokasi tersebut dapat dipilih di wilayah yang kiranya paling representatif. Oleh karena itu proses inipun membutuhkan perencanaan, konsultasi publik dan tahapan lainnya yang dapat diterima oleh seluruh stakeholder terkait.
  •  Proses penataan lahan dan penyiapan infrastruktur lokasi obyek waruga yang akan digunakan sebagai lokasi 'Rekayasa Situs Waruga'. Tahapan inipun membutuhkan seperangkat instrumen dan proses tahapan yang komprehensif, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan pemindahan obyek waruga dan pengawasannya. Hal ini harus dilakukan, agar proses pemindahan obyek waruga tidak mendegradasi atau merusak obyek waruga yang dipindahkan. Tentu saja pelibatan masyarakat menjadi salah satu kunci dalam proses ini.
  • Pelaksanaan penataan obyek dalam kawasan "Rekayasa Situs Waruga'. Dalam proses ini, tentu dibutuhkan kluster-kluster lokasi, mengingat banyaknya obyek waruga yang berasal dari berbagai lokasi, dan juga terikat dengan soal hak ulayat atas lahan asal pemindahan lokasi, nilai-nilai tradisi dan budaya yang melekat dalam kelompok masyarakat yang berkaitan dengan keberadaan waruga di lokasi bermukimnya.

Tentu saja, masih banyak tahapan proses pelaksanaan proyek 'Rekayasa Situs Waruga' yang secara konseptual harus dirumuskan lebih lanjut. 

Pada prinsipnya pada tahap yang paling awal adalah perlunya sosialisasi dan konsultasi publik, dan perlunya regulasi yang memayungi proyek ini, baik peraturan daerah ataupun peraturan pemerintah pusat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun