Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Arini, Kereta Senja Kita Sudah Lewat

3 Agustus 2020   16:40 Diperbarui: 25 Juni 2021   20:23 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Kereta Senja. Sumber: sahadbayu.com

Arini, iya wanita itu namanya Arini. Wanita yang kukenal, tidak lama setelah waktu menjatuhkan sanksi atas kecerobohan kami. Pada sebuah stasiun kereta yang sunyi dan sepi karena pandemi. 

Aku mengenal Rini, tepat di sebuah bangku panjang, pada waktu yang sangat menentukan. Saat kami saling memunggungi, lalu tanpa sengaja saling berbalik dan saling memandangi pada sudut-sudut terdalam mata kami. 

Lalu entah kenapa, pandangan kami tiba-tiba saling menikam hati. Kemudian, kami secara bersamaan jatuh dalam pelukan dan dekapan. Pertemuan, yang dikemudian hari menjadi sejarah yang paling menakutkan dalam kehidupanku pada hari-hari berikutnya.

***

Aku mengenal Arini, dalam sebuah rencana perjalanan Yogyakarta- Jakarta yang gagal. Kegagalan yang kemudian kami rencanakan berulang-ulang pada tempat dan jam yang sama. Rencana kegagalan dalam semalam perjalanan, yang kami jadwalkan hari-hari berikutnya. 

Hari-hari yang selalu kami lewati di stasiun pada petang hari, dan di sebuah tempat sangat asing untuk kami sembunyi dan lari di setiap malamnya, selama kurang lebih sepekan itu. 

Sepekan yang paling kelam, dalam kehidupanku pada malam-malam pada setiap akhir pekan berikutnya. Saat aku libur akhir pekan, setelah dirundung kepenatan Jakarta.

Sebelum ketemu Arini, aku yang bekerja di Jakarta, biasanya mudik ke Yogyakarta di hari jumat siang, dan minggu malamnya, kembali ke Jakarta. Namun, kebetulan saat ketemu Arini, aku harus kembali ke Jakarta pada jam keberangkatan kereta di hari sabtu petang, tepat saat langit menjatuhkan senjanya yang jingga. 

Jam keberangakatan yang tidak biasa, karena mendadak, manajer memanggilku untuk segera ke Jakarta, karena hari minggu pagi diminta menjemput tamu perusahaan. 

Semua waktu seperti kebetulan dan semuanya seperti direncanakan untukku, sampai secara tak sengaja aku bertemu Arini sabtu petang itu, dan membuyarkan rencana, dan dengan segala resiko aku dipindahkan ke bagian pemasaran, karena dianggap tidak taat sama manajer perusahaan tempatku bekerja. Karena terlambat sampai ke Jakarta. Itu semua karena Arini.

****

"Sudah cukup kak, aku sudah berkeluarga, sudahi hubungan ini" kata Arini pada sabtu petang di stasiun kereta yang sama. Kalimat yang tiba-tiba disampaikan setelah sepekan hubungan kami yang tak direncakan itu.

"Petang ini juga kakak berangkat saja ke Jakarta, jangan ketinggalan kereta lagi" katanya kemudian menyambung tanpa menunggu jawabanku.

"Ok, kalau maumu begitu, tapi kenapa setelah sebulan, kamu baru mengingatkan" kataku menyerobot, agar tak terpotong lagi kalimat dari Arini.

"kenapa bukan saat kereta kita sudah lewat sehari setelahnya, atau sesaat setelah kereta lewat, kamu pesan tiket kereta untuk malamnya, atau besok paginya tanpa mempedulikan ajakanku" kataku menyambung agar tuntas, walaupun semakin tak tuntas karena Arinipun langsung menyahut dengan jawabannya.

"Lalu, kamu seperti hari-hari kemarin, tidak ikut berangkat ke Jakarta, dan lebih memilih bermalas-malasan di penginapan, dan tak pernah bisa aku hubungi, apakah kamu benar-benar ke Jakarta, esok harinya, atau kamu sebenarnya masih  di Yogya." Cecarku penuh penasaran, sambil menatap tajam ke sudut-sudut mata Arini, siapa tahu Arini menyembunyikan sesuatu di sudut matanya. Dan seperti biasanya, maka pertanyaankupun dijawab oleh Arini dengan pertanyaan balik.

"Lalu kenapa kamu juga begitu saja mengajakku pergi ke duniamu, dunia yang tidak aku mengerti, duniamu yang juga tidak mengerti tentang duniaku," sergah Arini tak mau kalah.

"Hmmm...kamu sangat aneh Arini, aku tak habis pikir." Kataku dalam hati penuh pertanyaan.

Akupun kehabisan kata-kata. Aku tahu sifat Arini yang keras, bukan cuma sifatnya yang keras, sepertinya Arini, juga keras kepala. Pertengkaran takkan menyelesaikan masalah, pikirku, setelah debat cukup panjang di stasiun kereta itu. 

Stasiun kereta yang saat kutemui pertama kalinya, tampak seperti stasiun kereta yang ramah, yang menenangkan dan mendamaikan perasaanku. 

Kali ini tampak seperti stasiun kereta yang pongah, yang membuatku gerah, dan stasiun yang memprovokasi pertengkaran. Aku kemudian berpikir, sepertinya aku memang harus berdamai. Bukan berdamai dengan Arini, tapi dengan perasaanku sendiri.

Akhirnya aku mengalah dan memilih membiarkan Arini pergi. Aku termangu sendirian, di stasiun yang sunyi senyap, kereta kami sudah lewat sekitar sejam yang lalu. 

Aku tak mempedulikan petugas stasiun melihatku keheranan, setiap petang di akhir pekan, perjalanan Yogyakarta-Jakarta kami selalu datang. Tapi selalu saja membiarkan kereta kami lewat. Aku tidak peduli, kalau selama sepekan ini, petugas kereta itu selalu memperhatikan kami. 

Aku selalu datang di setiap sabtu petang, bertemu dengan Arini di stasiun kereta itu, lalu kami berjalan bergandengan mesra ke sebuah penginapan, tak jauh dari stasiun kereta itu. Dan esok pagi-pagi buta, saya sudah di stasiun itu lagi, untuk pemberangkatan pertama kereta ke Jakarta. Namun aku berangkat sendiri, minggu paginya. 

Arini selalu saja tidak pernah mau berangkat bersamaan, pada saat pagi buta, di jam yang sama, pada pemberangkatan pertama kereta api Yogyakarta-Jakarta. Arini selalu saja berasalan, ada saja yang selalu tertinggal di rumahnya. Arini juga tak pernah mau menunjukkan tentang rumahnya, alasan takut dilihat keluarganya. 

Aku sepertinya sudah terlena dan terbuai, sehingga mengabaikan saja kejanggalan itu. Aku berangkat esok harinya, setiap pagi buta, saat ayam belum selesai berkokok, meninggalkan Arini, yang masih tetap bermalas-malasan di pembaringan di penginapan itu, setelah semalam, kami berdua melayang-layang, menyelam, menari-nari di atas pembaringan di penginapan itu.  

Aku hanya heran tak berkesudahan, saat pertama kalinya aku bertemu dengannya petang itu di stasiun kereta ini. Dan kemudian kami berjalan menjemput senja menyusuri trotoar dan untuk beberapa saat kami sudah di depan penginapan yang indah dan asri. 

Penginapan yang di sekelilingnya banyak tumbuh dan bermekaran bunga sedap malam, di taman samping kanan penginapan, melati di taman depan dan beranda, bunga mawar di taman sebelah kiri penginapan dan bunga lily, di taman belakang penginapan. 

Penginapan yang hampir sebulan itu membuat seluruh tubuhku lunglai di setiap malamnya. Dan jiwaku melayang-layang dalam aroma kembang-kembang setaman yang membuai. Penginapan yang merenggut masa lajangku, dan semua gerakan Arini yan membuai setiap kali memasuki penginapan itu. 

Penginapan yang selalu memanggil-manggil di setiap malam. Penginapan yang selalu muncul wewangian bunga-bunga di tamannya, pada setiap malam menjelang aku dan Arini menenggalamkan diri dalam buaian permbaringan di kamar yang selalu kami tempat bersama sebulan ini. 

Kamar penginapan yang tampak beratap langit, sehingga tampak bintang dan purnama menari diantara awan yang berarak, setiap kali kami saling menarik punggung kami dan menengadah, meneriakkan lenguhan pada puncak keindahan malam.

Malam-malam seperti takkan ada lagi, di tengah kegusaran dan keherananku, aku berdamai dengan perasaanku sendiri. Kubiarkan Arini pergi di sabtu petang itu, setelah selama sepekan kami begitu dekat. 

Arini pergi dengan wajah yang sangat dingin, hanya terucap kata perpisahan singkat dan sekejap kemudian dia membalikkan badan, membelakangiku dan berjalan ke arah datangnya senja.

 Aku perhatikan Arini dengan hati bimbang dan kosong di belakang Arini, yang berjalan semakin menjauh. Kulihat punggung Arini, seperti menunjukkan seorang yang berjalan sangat tenang, berjalan pelan, menyusuri tepian rel kereta api. Arini tampak berjalan, ke arah penginapan 'Kembang Setaman" dan menghilang di balik senja.

Diantara rasa heran dan penasaran, aku termangu memperhatikan Arini yang sudah menghilang di balik senja. Aku terdiam, dan dikejutkan oleh suara petugas kereta api.

"Mas...mas, maghrib-maghrib jangan ngelamun, kereta terakhir sore ini sudah lewat." Kata petugas itu mengagetkanku.

"Ohiya ya pak, waduh..hangus lagi tiket saya dong, gimana ya," kataku antara terkejut dan pura-pura tidak tahu, padahal sudah sepekan ini, saya selalu membiarkan kereta itu lewat.

"Mas ini sebenarnya, mau berangkat jam berapa sih, saya perhatikan kok selalu saja, beli tiket sabtu sore, tapi berangkatnya selalu minggu pagi." Kata petugas itu mulai menyelidik. 

Petugas itu kemudian meneruskan kalimatnya. Katanya, aku selalu datang sendiri, dan seringkali dia perhatikan aku bicara sendiri, bercakap-cakap sendiri, setelah itu setiap kali kereta lewat, aku keluar stasiun dan pagi harinya baru berangkat ke Jakarta.

"Mas, tidak sayang uang ya, setiap minggu beli tiket dua kali, satu untuk sabtu sore, satunya untuk minggu pagi, memang mas punya masalah berat ya, soalnya pakaian mas keliatan necis, tapi kok setiap sabtu petang datang sendiri, terus saya perhatikan bicara sendiri?" Kata petugas stasiusn itu mencecar, sambil telunjuknya menunjuk ke tempat duduk bangku panjang di dekatnya, dan tampaknya mulai lancar memberi pertanyaan-pertanyaan yang mebuatku heran kadang lancang, pikirku.

"Bapak ini ngomong apa sih? Tidak lihat setiap sabtu petang, saya datang dan ngobrol sama seorang wanita? Itu pacar saya pak, bapak tidak lihat apa? Saya ini masih waras pak," kataku sedikit gusar.

Sekejap berikutnya justru bapak petugas kereta itu yang justru tampak terkejut, heran dan tampak wajahnya pucat.

"Kenapa diam pak, bapak tidak lihat saya ngomong sama seorang wanita?" tanyaku lagi penasaran. Bapak petugas itu hanya menggelengkan kepalanya. Tampak wajahnya semakin pucat. Aku jadi semakin heran dan penasaran, dengan sikap bapak petugas kereta itu.

"Bapak sering lihat wanita itu ke stasiun ini, namanya Arini, bapak kenal? Kataku menjelaskan dengan harapan mendapat jawaban tuntas dari petugas stasiun itu. 

Seketika, wajah bapak petugas itu semakin pucat pasi, bahkan tampak badannya gemetar hebat. Dia lalu terburu-buru menunjukkan sebuah koran, yang kebetulan di pegangnya lalu koran itu disodorkan ke tanganku, dan sekejap petugas itu sudah membalikkan badannya, setengah berlari dia meninggalkanku sendirian di tepi rel kereta api, yang sudah sejam lalu sepi dan senyap, karena penumpang kereta api senja, pemberangkatan terakhir sudah berangkat.

Aku penasaran, buru-buru gulungan koran yang sudah lusuh itu buru-buru kubuka. Aku sempat baca, koran harian lokal itu menunjukkan tanggal terbitan, sebulan yang lalu. 

Lalu mataku mulai menggerayangi judul-judul berita di halaman depan. Pandangan mataku berhenti di salah satu judul, yang tulisannya mencolok dan di bagian tengah halam koran itu. "Hendak ke Jakarta, Arini meninggal di Stasiun" dengan subjudul kecil "Dimakamkan di TPU Kembang Setaman". 

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun