Demonstrasi merupakan salah satu wujud nyata dari kebebasan berpendapat yang dijamin dalam sistem demokrasi. Namun, tidak semua demonstrasi berjalan dalam koridor yang damai. Peristiwa demonstrasi pada 30 hingga 31 Agustus 2025 menjadi sorotan publik ketika aksi protes yang semula ditujukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat berubah
menjadi tindakan penjarahan terhadap rumah-rumah anggota DPR. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa aspirasi rakyat bisa bergeser menjadi tindakan anarkis, dan apa makna sosial-politik yang terkandung di dalamnya?
Akhir Agustus kemarin, saya menyaksikan ribuan orang turun ke jalan. Bukansekadar aksi rutin, tapi luapan emosi yang sudah lama dipendam. Berkibarnya bendera hitam
yaitu bendera One Piece yang menunjukan perlawanan atau pemberontakan terhadapkebijakan pemerintah dan teriakan Mahasiswa dan rakyat yang menuntut keadilan menggema sepanjang jalan kota . Jujur saja, saya ikut merasakan amarah itu. Biaya hidup terus meningkat dan mencari pekerjaan semakin menantang, sementara wakil rakyat yang seharusnya menjadi suara rakyat justru sibuk membahas tunjangan dan fasilitas mereka sendiri. Bagi saya, ada nya kesenjangan social antara kehidupan rakyat sehari-hari dengan kenyamanan elit politik.
Namun, ada momen yang membuat saya tercengang, ketika kemarahan di jalan berubah menjadi serangan ke rumah-rumah pejabat. Dari ruang publik, amarah itu menembus ruang pribadi. Dari aksi yang sah, bergeser jadi penjarahan. Dari perjuangan, berubah jadi kerusuhan.
Kata-Kata yang Memicu Api
Menurut saya, salah satu pemantik kerusuhan itu justru berasal dari ucapan para
pejabat sendiri. Ada anggota DPR yang dengan jelas menolak gagasan pembubaran lembaga, menggunakan kata-kata yang bagi saya merendahkan rakyat.
Beberapa figur publik yang
kini menjadi anggota parlemen membela tunjangan rumah dengan alasan jarak dan
kemacetan, seolah-olah masyarakat biasa tidak menghadapi hal serupa setiap hari
Ada pula pimpinan DPR yang menekankan tunjangan itu bukan kenaikan gaji,
melainkan sekadar bentuk “perhatian” kepada sesama anggota dewan. Mendengar itu, saya hanya bisa menghela napas karena perhatian yang sama tidak pernah terasa sampai ke rakyat kecil.
Beberapa tokoh lain sempat menyampaikan permintaan maaf setelah mendapat
kecaman, tapi kesannya datang terlambat. Sementara seorang menteri ekonomi senior pun mengingatkan bahwa perjuangan rakyat harus bermartabat dan bebas dari anarki. Saya
mengerti maksudnya, tapi ucapan tersebut menyalut emosi rakyat karena keluar di waktu
yang salah, tampa diawali empati. Sehingga rakyat merasa bukan dimengerti, tapi malah di hakimi. Semua pernyataan itu justru menambah minyak pada bara kemarahan rakyat.
Saya tidak pernah membenarkan penjarahan. Tapi saya bisa sedikit memahami
kenapa rakyat sampai pada titik itu. Rasa lapar yang dipendam bukan hanya soal perut, tapi juga lapar keadilan. Kediaman para pejabat kini menjadi lambang kesenjangan sosial: dikelilingi pagar tinggi, dipenuhi mobil mewah, dan menampilkan gaya hidup yang terasa jauh dari jangkauan rakyat biasa.
Ketika pagar rumah itu dijebol, yang keluar bukan sekadar kemarahan, melainkan gabungan rasa kecewa, iri, dan dendam sosial yang sudah lama menumpuk.