Mohon tunggu...
Ai
Ai Mohon Tunggu... IRT

“Aku menulis bukan untuk sempurna. Aku menulis untuk menyembuhkan diriku sendiri, dan semoga sedikit menguatkan orang lain juga.”

Selanjutnya

Tutup

Diary

Saya Tertipu, Terdiam, dan Terluka Sendiri

23 April 2025   14:07 Diperbarui: 23 April 2025   14:07 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sad woman covering her face (Pexels.com)

Saya takut. Takut sekali. Karena uang yang hilang bukan milik saya. Tapi saya yang kehilangan. Saya yang harus menanggung semuanya diam-diam. Saya harus pura-pura terlihat baik-baik saja, padahal rasanya seperti tenggelam perlahan di ruang kosong yang sunyi.

Saya kehilangan 22 juta dalam waktu dua hari. Dan sampai hari ini, saya belum punya keberanian untuk memberi tahu keluarga saya. Saya benar-benar takut mengungkapkan semua ini pada mereka. Bagaimana saya bisa bilang: "Saya tertipu program Shopee Affiliate palsu, dan uangnya itu hasil pinjaman?"

Saya awalnya menemukan sebuah grup Telegram—Tips & Trik Shopee Affiliate. Di dalamnya, semua orang terlihat bahagia. Semua orang tampak berhasil. Masing-masing menunjukkan hasil komisi besar hari itu, memuji admin, dan saya—seperti orang bodoh yang mulai percaya. Saya pikir saya akan ikut sukses. Nyatanya, saya malah hancur.

Saya mulai tertarik karena mereka seolah memberikan harapan. Harapan untuk punya penghasilan tanpa perlu jualan. Cukup membagikan link—katanya—dan komisi akan mengalir setiap hari. Saya yang sedang butuh uang dan ingin membuktikan bahwa saya bisa mandiri, akhirnya tergoda.

Saya menyimak, membaca komentar, dan dalam waktu singkat, saya merasa ini kesempatan yang tak boleh saya lewatkan. Admin grup bernama Cahaya Dewi mengarahkan saya untuk membeli paket Shopee Affiliate sebagai syarat wajib untuk mendapatkan akun premium dari mereka. Ada daftar paket lengkap dengan nominal dan janji komisi. Saya pilih satu yang menengah—Rp1.000.000. Mereka meyakinkan, bicaranya cepat, dan kelihatan profesional.

Saya pikir, kalau ini benar, uang itu bisa kembali dalam beberapa hari. Saya pun transfer. Tapi ternyata itu baru permulaan.

Setelah transfer pertama, muncul syarat kedua, lalu ketiga, dan keempat. Katanya untuk balik nama akun. Lalu ada pajak. Lalu biaya pencairan. Lalu ada pihak baru bernama Benny Hartfan yang katanya akan mengirim uang saya kembali, asal saya bayar biaya pengesahan sebesar Rp10.000.000.

Saya sempat ragu, tapi saya sudah terlanjur transfer belasan juta. Saya takut kalau berhenti di tengah jalan, uang saya hilang semua. Saya masih berpegang pada harapan uang kembali, walau logika mulai goyah. Akhirnya saya transfer lagi. Totalnya jadi Rp22.000.000.

Dan setelah itu, mereka mengirim bukti transfer palsu pengembalian dana. Dana saya diklaim sudah masuk. Tapi saya cek berkali-kali, tidak ada uang yang masuk ke rekening saya. Saya panik, bahkan menghubungi pihak bank, hasilnya: nihil.

Lalu mereka bilang, dana saya mengambang dan harus dipancing lebih dulu. Saat saya menolak untuk mentransfer lagi dan menuntut uang saya kembali, saya dibanned dari grup Telegram dan diblokir oleh mereka.

Saya coba buka akun Instagram mereka, mengancam akan melaporkan hal ini. Namun bukannya direspon malah akun mereka sudah kosong. Saya cari grup Telegramnya lagi, tidak ada. Seperti hantu yang datang saat kita lemah, lalu menghilang setelah mereka kenyang.


Yang paling menyakitkan itu bukan cuma kehilangan uang. Tapi kehilangan keberanian untuk bercerita. Rasa takut dihakimi. Takut disalahkan. Apalagi itu bukan uang saya.

Saya pinjam uang itu karena saya percaya, karena saya ingin mandiri, karena saya tidak ingin terus jadi beban. Tapi sekarang, saya harus membayar semuanya sendiri—dengan uang yang tidak saya punya, dan rasa bersalah yang tidak bisa saya bagi.

Saya menulis ini bukan untuk cari simpati. Saya hanya ingin orang tahu bahwa penipuan digital kini makin marak. Dan yang menjadi korbannya bisa siapa saja, bukan hanya orang tua, bisa juga anak muda. Tidak hanya menyasar orang polos, tapi juga orang yang sedang berusaha.

Saya ingat hari itu saya merasa cukup optimis. Saya pikir, mungkin kali ini saya bisa dapat peluang. Bisa lebih mandiri. Bisa bantu orang tua. Tapi yang saya temukan justru lubang gelap yang pelan-pelan menelan semuanya.


Jadi jika kamu sedang tergoda oleh janji penghasilan instan, apalagi dari orang yang tidak kamu kenal… berhentilah. Jangan sampai seperti saya.

Kini, saya mencoba berdiri kembali. Saya percaya Tuhan masih menuntun langkah ini.

Dan semoga tulisan ini jadi upaya kecil untuk itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun