Retakan di Cermin Hutan
Monyet bukan komoditas, tetapi kita menjadikannya komoditas. Di balik topeng yang menari, di balik kandang yang hening, ada gugus keluarga yang tercerabut---bayi ditarik dari pelukan induk, suara tangis disamarkan instruksi. Kita tertawa melihat atraksi, menandai "like" pada iklan jual-beli satwa, lalu pulang tanpa tahu bahwa sepotong hutan baru saja kehilangan satu nyawa sosial. Jika konservasi adalah cermin, cermin itu kini retak---dan retakan itu bernama perdagangan, eksploitasi, dan konflik.
Jalur Gelap Perdagangan
Pada 2022, data resmi pemerintah Amerika Serikat yang dibuka melalui Freedom of Information Act mengungkapkan bahwa 990 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) diimpor dari Indonesia. Lebih mengejutkan lagi, 870 di antaranya berasal langsung dari tangkapan alam. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah tanda tanya besar tentang keberlanjutan, sebab sejak 2022 pula IUCN meningkatkan status monyet ekor panjang ke kategori "terancam" akibat penangkapan liar yang masif.
Indonesia, yang selama puluhan tahun menjadi pengekspor utama, kerap berada di pusaran perdebatan global. Regulasi CITES memang mengizinkan perdagangan internasional Macaca fascicularis dalam Lampiran II, tetapi laporan investigatif menunjukkan praktik pemalsuan asal-usul dan pencampuran antara hasil tangkaran dan tangkapan liar. Pasar daring menambah rumit situasi: sekali klik, bayi monyet bisa ditawarkan di media sosial dengan harga lebih murah dari telepon pintar. Â Mereka menciptakan identitas bayangan: akun palsu, nama samaran, hingga kosa kata kode yang hanya dimengerti oleh komunitasnya. Dengan selubung Virtual Private Networks (VPN), alamat IP asli lenyap dari radar, menyisakan jejak yang nyaris mustahil dilacak.
Ruang transaksi tidak terjadi di pasar terbuka, melainkan di grup tertutup yang hanya bisa dimasuki lewat undangan---seolah sebuah "ruang bawah tanah" virtual. Pertukaran barang pun bergeser: kurir anonim mengantarkan paket, uang berpindah melalui klik daring, kadang melalui rekening pihak ketiga (rekber) yang memutus garis lurus antara penjual dan pembeli.
Di masa depan, bila pola ini terus berkembang, pasar ilegal satwa bisa menjelma seperti dark web marketplace---sebuah ekosistem digital yang sulit ditembus hukum, di mana monyet diperlakukan layaknya mata uang kripto: tersembunyi, terfragmentasi, dan nyaris tanpa wajah.Â
Garda Animalia, lewat survei yang mereka lakukan, menyingkap wajah pasar itu: dari kurang dari 200 grup Facebook, terpantau ribuan nyawa diperdagangkan. Dalam rentang Januari 2020 hingga Desember 2021 saja, 4.719 monyet ekor panjang ditawarkan dalam 2.970 iklan---seolah setiap unggahan adalah tanda lepasnya satu keluarga dari hutan.
Lebih dari 2.400 akun pedagang muncul, mayoritas berakar di Jawa, menjelma avatar yang memperlakukan satwa sebagai komoditas daring. Dan yang lebih mencemaskan: selama dua tahun, hampir 6.000 unggahan "Ingin-Beli" tercatat. Di tahun 2021 jumlahnya bahkan melonjak---sebuah sinyal bahwa permintaan tak hanya hidup, tetapi tumbuh, seperti bara yang terus diberi oksigen.
Hutan pun menjadi gudang. Para pemburu masuk dengan jerat, induk ditembak, bayi direbut. Rantai perdagangan dimulai dari hutan, melewati tangan perantara, lalu berakhir di laboratorium biomedis atau rumah-rumah yang menganggap monyet sebagai peliharaan eksotis.
Dari Atraksi ke Ancaman Kesehatan
Perdagangan hanyalah awal dari kisah eksploitasi. Di jalanan kota, "topeng monyet" pernah menjadi hiburan rakyat. Seekor beruk atau monyet kecil dipaksa memakai kostum, menarik gerobak mini, atau menirukan gerakan manusia. Jakarta sudah melarang praktik ini sejak 2013, diikuti rehabilitasi puluhan ekor monyet ke pusat penyelamatan. Namun di beberapa daerah, atraksi serupa masih bisa dijumpai.
Atraksi itu tampak menghibur, tetapi dibaliknya ada latihan keras, rantai, cambuk, dan stres kronis. Bagi hewan sosial seperti Macaca, dipisahkan dari kelompoknya sama dengan dihukum seumur hidup.
Eksploitasi juga hadir dalam bentuk lain: monyet pekerja pemetik kelapa. Di sebagian daerah, terutama di Sumatra, beruk masih dipakai untuk memanjat pohon. Tradisi ini diwariskan, tetapi kini memunculkan perdebatan etika. Apakah sebuah keterampilan budaya layak dipertahankan jika harus menukar kebebasan hewan?
Lebih dari itu, interaksi dekat antara manusia dan monyet membuka pintu risiko kesehatan. Studi lapangan di Sangeh, Bali, menemukan antibodi Herpesvirus B pada sebagian besar monyet yang diteliti. Virus ini relatif jinak pada monyet, tetapi bisa mematikan bagi manusia. Gigitan atau cakaran bukan sekadar luka---ia bisa menjadi jendela bagi penyakit zoonotik yang berbahaya.
Dua Dunia yang Saling Merangsek
Ketika habitat semakin terpotong oleh jalan, kebun sawit, atau permukiman, monyet mencari makan ke desa. Di Riau, Central Java, dan beberapa daerah lain, laporan konflik meningkat: monyet mencuri buah di kebun, masuk rumah mencari makanan, bahkan menyerang bila terdesak.
Bagi warga desa, monyet dianggap hama. Bagi monyet, manusia adalah perampas rumah. Konflik ini adalah wajah nyata dari ketidakseimbangan: hutan yang menyempit, populasi monyet yang berkurang, tetapi interaksi justru meningkat.
Lebih ironis lagi, banyak monyet hasil sitaan atau pelepasan topeng monyet tidak dilepaskan secara benar. Dibuang begitu saja ke hutan yang sudah penuh, mereka akhirnya mencari makan di kebun atau kota. Rehabilitasi yang setengah hati malah melahirkan masalah baru.
Tiga Retakan, Satu Akar
Jika dirangkum, ada benang merah yang menyambungkan perdagangan, eksploitasi, dan konflik: perubahan cara manusia memandang monyet.
Dalam perdagangan, monyet dilihat sebagai komoditas.
Dalam eksploitasi, monyet dijadikan alat hiburan atau pekerja.
Dalam konflik, monyet dipandang sebagai musuh.
Ketiganya lahir dari paradigma yang sama: monyet bukan makhluk dengan nilai intrinsik, melainkan objek yang bisa dimanfaatkan atau disingkirkan.
Jalan Keluar: Menjahit Ulang Retakan
Masa depan konservasi Macaca di Indonesia tidak bisa sekadar bergantung pada larangan. Larangan tanpa solusi hanya akan melahirkan praktik bawah tanah. Maka, jalan keluar harus bersifat menyeluruh:
Bayangkan seorang pawang yang dulu menggantungkan hidup dari topeng monyet. Ia terbiasa melatih seekor beruk atau MEP untuk melakukan trik---berjalan di atas tali, mengangkat kaleng, atau mengenakan topeng yang sama sekali asing bagi satwa itu. Pendapatan harian mungkin hanya cukup untuk makan, tapi praktik itu telah mengorbankan kebebasan hewan dan membentuk stigma negatif di masyarakat.
Namun, jika pola pikirnya diarahkan ulang, pawang tersebut sebenarnya menyimpan aset berharga: pengetahuan lapangan tentang perilaku monyet. Ia tahu bagaimana monyet berkomunikasi, kapan mereka agresif, kapan jinak, dan bagaimana interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Pengetahuan organik ini tidak dimiliki sembarang orang---dan justru bisa menjadi modal untuk sebuah profesi baru.
Alih-alih melatih monyet untuk menghibur, ia bisa menjadi pemandu ekowisata (eco-guide) di kawasan hutan atau taman kota. Dengan sedikit pelatihan komunikasi publik, ia bisa mengajak wisatawan atau pelajar menyaksikan langsung perilaku monyet liar sambil menjelaskan kebiasaan mereka. Nilai jualnya bukan lagi "atraksi," melainkan pengalaman otentik yang edukatif sekaligus etis.
Bahkan lebih jauh, transformasi itu bisa masuk ke ranah digital. Mantan pawang dapat memanfaatkan media sosial dan kanal video untuk berbagi konten: kisah lucu namun alami tentang monyet, panduan menjaga jarak aman saat bertemu satwa, atau dokumentasi ikatan ibu--anak monyet di alam. Konten semacam ini bisa menarik audiens global, membuka peluang monetisasi lewat iklan, sponsor, atau kolaborasi dengan lembaga konservasi. Hasilnya bisa jauh lebih besar daripada uang receh dari pertunjukan jalanan.
Dengan demikian, mantan pawang bukan sekadar "dihentikan" lalu dibiarkan mencari rezeki sendiri, melainkan didorong untuk bergeser peran: dari pelaku eksploitasi menjadi penjaga narasi. Dari sekadar penonton penderitaan hewan, mereka beralih menjadi penghubung antara manusia dengan kehidupan liar yang autentik. Inilah bentuk rekonstruksi sosial-ekonomi yang tidak hanya menyelamatkan satwa, tapi juga memberikan martabat baru bagi manusia yang pernah terjebak dalam lingkaran eksploitasi.
Proyeksi Masa Depan: Dari Retakan ke Jembatan
Bayangkan tahun 2035. Hutan-hutan sekunder di Sumatra dan Kalimantan dipulihkan lewat restorasi kolaboratif. Monyet ekor panjang tidak lagi muncul sebagai "hama" di desa karena jalur hijau menghubungkan hutan dengan sumber makanan alami. Laboratorium biomedis dunia tidak lagi bergantung pada tangkapan liar karena teknologi organ-on-chip menggantikan primata sebagai model uji.
Di desa, anak-anak sekolah tidak lagi melihat monyet dengan rantai, melainkan menonton film dokumenter karya sineas lokal yang merekam keluarga monyet di habitatnya. Di kota, iklan jual-beli satwa liar tidak lagi laku karena generasi muda menganggap memelihara satwa liar sebagai aib, bukan kebanggaan.
Mungkin itu terdengar utopis. Tetapi setiap langkah hari ini---transparansi, edukasi, rehabilitasi---adalah bata kecil yang menyusun jembatan ke masa depan itu.
Menatap Cermin yang Utuh
Cermin konservasi pernah retak, dan retakan itu tampak dalam perdagangan, eksploitasi, dan konflik. Namun cermin bisa diperbaiki. Ia mungkin menyisakan garis luka, tetapi tetap bisa memantulkan wajah kita dengan lebih jujur: wajah manusia yang belajar menghargai, bukan menguasai.
Sebab pada akhirnya, menyelamatkan monyet ekor panjang dan beruk bukan semata menyelamatkan spesies lain. Itu adalah upaya menyelamatkan bagian dari diri kita sendiri---sebab dalam tatapan monyet, ada pantulan yang samar dari siapa kita, dan siapa kita ingin menjadi di masa depan.
Referensi
Action for Primates. (2022). U.S. imports of long-tailed macaques from Indonesia, 2022 [Laporan].
Betahita.id. (2022, 22 Desember). 990 ekor monyet ekor panjang diekspor dari Indonesia ke Amerika Serikat.
CITES Trade Database. (2020). CITES trade statistics derived from the CITES Trade Database. Jenewa: UNEP-WCMC.
Engel, G., Hungerford, L. L., Jones-Engel, L., Travis, D., Eberle, R., Fuentes, A., & Grant, R. (2008). Risk of zoonotic disease transmission from macaques to humans. Emerging Infectious Diseases, 14(9), 1318--1323.
International Union for Conservation of Nature (IUCN). (2022). Macaca fascicularis: The IUCN Red List of Threatened Species 2022.
JAAN (Jakarta Animal Aid Network). (2013). Kampanye dan penghentian praktik topeng monyet di Jakarta.
Prasetyo, L. B., & Nasution, I. (2020). Human--macaque interactions and conflict in Central Java. Indonesian Journal of Forestry Research, 7(2), 123--136.
Rinaldi, D., & Yustina, Y. (2021). Human--macaque conflict in Riau Province, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 22(8), 3349--3356.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI