Mohon tunggu...
Pius Sujarno
Pius Sujarno Mohon Tunggu... fulltimer blogger -

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Antitesis: Penegasan Citra atau Pencitraan?

4 Juni 2014   22:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:20 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401880445623805130

[caption id="attachment_309716" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]Saya masih ingat waktu belajar logika di SMA dulu ada metode “Trilogi Dialektika”, yaitu: tesis, anti-tesis, dan sintesis. Menurut Hegel, tidak ada kebenaran yang absolut. Maka, proses dialektis selalu mewarnai dalam setiap pengujian kebenaran. Sebuah pernyataan (tesis) dihadapkan pada sanggahan (anti-tesis) maka lahirlah kebenaran (sintesis). Sintesis ketika menjadi sebuah pernyataan berubah menjadi tesis. Tesis tersebut akan memunculkan anti-tesis lagi, kemudian muncul sintesis yang baru. Proses dialektika ini akan menjadi seperti spiral sampai tercapai sebuah tesis yang tak terbantahkan, itulah kebenaran.

Mengamati hiruk pikuk menjelang pemilihan presiden, sungguh udara politik dibuat pengap dengan berbagai pernyataan sampah, menjadi polusi bagi kesegaran nalar dan nurani. Sungguh sial jika ada orang mempercayai kampanye hitam sebagai kebenaran. Tetapi sayangnya, memang banyak orang Indonesia bernasib sial, kalau tidak, tentu Indonesia tidak seperti sekarang ini keadaanya. Penyebar kampanye hitam menyadari betul bahwa banyak orang yang sangat suka dengan nasib sial, maka mereka menebarkan pernyataan yang dia sendiri sebenarnya sadar bahwa itu tidak benar. Tetapi, sialnya justru diyakini oleh banyak orang sebagai sesuatu yang benar. Kesialan orang lain menjadi keberuntungan diri sendiri memang bentuk lain dari dialektika.

Hal lain, sebuah dialektika agar berjalan, perlu adanya diferensiasi, yaitu faktor pembeda. Tesis tidak akan bisa dibantah oleh anti-tesis jika pernyataannya sama. Maka, faktor pembeda menjadi hal yang penting. Tampaknya itulah yang terjadi antara dua capres yang sedang berlaga saat ini. Jokowi yang sejak menjabat gubernur DKI selalu menggunakan kemeja lengan panjang putih, ketika Prabowo juga mengenakan hal yang sama, maka perlu pembeda. Jokowi mengalah, memakai kotak-kotak seperti kostum lamanya ketika pilkada DKI. Prabowo yang secara fisik selalu tampak gagah dan berwibawa, maka Jokowi memilih tampil ndeso dan bloon. Ketika Prabowo terkesan mewah dengan puluhan kuda mahal sebagai tunggangannya, Jokowi memilih tampil sederhana dengan sepeda ontel sebagai tunggangannya. Prabowo yang tampil sebagai orator ulung dengan mengumbar pernyataan-pernyataan retorik yang bombastis, Jokowi memilih lugu dan blekutak-blekutuk dalam pidato. Bahkan ketika Prabowo membalik citranya tampil sangat supel dan cair, Jokowi berbalik menjadi kaku dan nggak gaul sama sekali. Aneh kan? Sebenarnya tidak aneh kalau kita memahami cara kerja logika dialektis tadi.

Penampilan memang selalu menimbulkan kesan, dan kesan itulah yang biasa kita sebut citra. Persoalannya, citra yang tampil di depan kita tentang kedua capres itu benar atau tidak seperti kenyataannya, memang perlu diuji kebenarannya. Ada metode untuk menguji sebuah kesan, benar atau tidak kesan yang ditangkap saat itu harus dilihat dalam rentang yang panjang. Kepura-puraan tidak akan bertahan lama. Mereka yang selalu berubah-ubah, keasliannya perlu dipertanyakan. Maka, kesan yang tampak di media belakangan ini tentang kedua capres tersebut, tengoklah ke belakang, jika konsisten itu pasti bukan pencitraan, tetapi penegasan citra.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun