Mohon tunggu...
WongCilik123
WongCilik123 Mohon Tunggu... Freelancer - simple life, simple thoughts

simple life, simple thoughts

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Lockdown, Yay atau Nay

25 Maret 2020   09:50 Diperbarui: 25 Maret 2020   09:55 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : suarapapua.com

Lockdown adalah pilihan yang dilema bagi banyak negara, bagi pendukung lockdown, mereka melihat China yang sukses melakukan total lockdown secara masif dan ekstrem di Wuhan, maupun seluruh penjuru negeri selama 1-2 bulan dan berhasil mengendalikan Covid-19.

Bagi penolak lockdown, mereka berpendapat Korea Selatan dapat mengatasi Covid-19 tanpa lockdown, jadi untuk apa lockdown, yang jelas-jelas menghentikan ekonomi dan bisa menimbulkan kekacauan.

Sebenarnya anggapan itu salah, semua negara melakukan lockdown, hanya berbeda derajat/persentase lockdodwn.

Ada negara yang hanya membatasi penerbangan dari beberapa negara, ada yang menutup 100%, bahkan social distancing juga bervariasi dari melarang perkumpulan 100 orang ke atas, sampai German yang melarang perkumpulan orang lebih dari 2,  dan sampai Indonesia yang ga jelas aturan dan pelaksanaannya, hahaha

Yang menjadi pertanyaan dan permasalahan disini bukan lockdown/tidak, tetapi berapa persentase yang mau diterapkan di Indonesia sekarang?

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan untuk menentukan persentase lockdown :

1. Ekonomi

Memang total lockdown menghentikan ekonomi, tapi di kota zona merah tertentu dan sementara waktu, yaitu sekitar 2 minggu. Pemerintah jadi repot dan meningkat drastis tanggung jawabnya, mereka harus menjamin distribusi dan bantuan bahan pokok, serta bantuan2 lain ke pelaku bisnis, pekerja, sektor informal lain yang semua menjerit bersamaan.

Sedangkan lockdown dengan derajat rendah (hanya sekolah yang ditutup dan himbauan stay at home), tetap saja akan membunuh usaha dan para pekerja sektor informal/harian, tetapi kematian itu terjadi perlahan.

Jadi mau total lockdown/persentase lockdown rendah, tetap saja ujung-ujungnya ekonomi akan mengalami kejatuhan, banyak yang bangkrut dan diPHK, dan tetap pemerintah harus memberi bantuan. Karena kejatuhan ekonomi sebenarnya sudah terjadi secara global beberapa tahun terakhir ini, dan Covid-19 jelas memparah situasi.

Bedanya hanya di waktu tadi, semakin tinggi derajat lockdown, semakin cepat terjadi resesi, dan pemerintah kita sepertinya "buying time", memilih memperlambatkan kejatuhan ekonomi sambil melihat situasi untuk meningkatkan derajat lockdown bertahap saat sudah KEPEPET seperti di Eropa dan USA.

Masalahnya terbesarnya ada di poin nomor 2.

2. Kapasitas RS dan SDM medis kita

Dengan perbandingan tempat tidur Rumah Sakit 1:1000 di Indonesia, yaitu 1 tempat tidur di RS untuk setiap 1000 penduduk, maka sumber daya kita kalah jauh dengan Korea Selatan yang 12x lipat lebih banyak yaitu 12:1000.

Sedangkan Wuhan, mereka mengalihguna bangunan menjadi Rumah Sakit, membangun Rumah Sakit Instant dan mendatangkan tenaga medis dari provinsi lain dalam jumlah masif.

Di Indonesia, seperti yang kita ketahui, di hari-hari biasa saja, untuk mencari kamar dan ICU di Rumah Sakit Pemerintah sudah sangat sulit dan harus antri-antri.

Lalu darimana bisa ada kamar, ICU dan tenaga medis tambahan dalam jumlah besar + dalam waktu singkat untuk Covid-19? Bagaimana nasib penyakit lain?

Memang untuk alihguna bangunan, dan menambah kapasitas tempat tidur seperti wisma atlet bisa dilakukan dan sudah langkah yang benar, tetapi itu hanyalah tempat isolasi untuk kasus ringan, tenaga medisnya mau ditambah darimana, lha yang di Rumah Sakit saja kekurangan tenaga?

Apalagi tanpa alat pengaman, pengetahuan dan pengalaman memadai dalam menangani penyakit menular, terbukti banyak tenaga medis yang berguguran. Sudah sedikit jumlahnya, masih berguguran.

Jangan-jangan nanti para OJOL yang direcruit jadi perawat dadakan dan menyuntik orang, hahaha...

Lalu bila 10% dari seluruh kasus menjadi berat dan perlu Rumah Sakit dan ICU, mau ditaruh di mana? Sedangkan menurut artis Andrea kemarin, dengan positif 300 orang saja di Jakarta, sudah sebagian ditaruh di lorong Rumah Sakit.

Bayangkan, itu baru 300 man!

Kesimpulan dari poin ke-2 ini adalah kita sudah kalah sebelum berperang, Rumah Sakit sudah jelas akan kolaps, cepat atau lambat. Ini adalah realita yang harus diakui dan diterima meski menyakitkan.

Jadi kesimpulannya sangat jelas, setiap langkah yang memperlambat kejatuhan ekonomi  (derajat lockdown yang rendah) = mempercepat penularan penyakit = mempercepat Rumah Sakit Kolaps dan meningkatkan tingkat kematian.

*kecuali yang positif dilempar ke pulau kosong dan yang meninggal sudah tidak dihitung lagi dan dilaporkan ala kadarnya, hahaha

Depopulasi (pengurangan penduduk) dengan kecepatan tinggi akan terjadi, Italy dengan sistem kesehatan salah satu yang terbaik di dunia saja memiliki angka kematian 9% karena kolaps/kewalahan tadi. Di Indonesia, bila melihat poin-2 diatas, sangat mungkin angka kematian berlipat 2x.

Pertanyaannya, bila sistem kesehatan kita kolaps dengan cepat, apa tidak memperparah dan mempercepat kejatuhan ekonomi yang sudah pasti terjadi?

Bila kita melihat pilihan yang diambil banyak negara, mereka akhirnya menyerah melihat rakyatnya berguguran/mati dengan cepat, dan pada akhirnya meningkatkan derajat lockdown.

India yang kondisi masyarakatnya lebih ruwet dan lebih parah ekonominya dari kita saja sampai nekad melakukan lockdown di New Delhi dan beberapa wilayah. Apa yang membuat mereka nekad? Karena mereka sadar dan mengakui bahwa mereka tidak memiliki kamar dan tenaga medis untuk Covid-19!

Lalu berapa derajat lockdown yang perlu diterapkan di Indonesia? Karena pemerintah sudah memutuskan tidak ingin 100% lockdown kota-kota, maka setidaknya tunjukkan keseriusan dengan cara :

1. Menutup semua penerbangan internasional, bila tempat-tempat seperti Bali tidak setuju, maka lockdown daerah mereka sehingga tidak ada orang yang keluar dari wilayah tsb.

Tetap membuka penerbangan internaional = bunuh diri massal, karena kita mengimport Covid-19. Menambah import kasus adalah kebijakan lucu, karena kita sudah swasembada Covid-19, hahaha.

Menutup semua penerbangan dan transportasi antar kota domestik (selain transportasi barang), jangan seperti sekarang yang seperti lelucon, bukannya menutup akses keluar jabodetabek, malah banyak yang pulang kampung dan menyebarkan virus kemana-mana.

2. Menutup semua tempat umum, bioskop, mal, tempat rekreasi, tempat ibadah, dst. Tempat umum berorientasi bisnis seperti mal tetap akan tutup dengan sendirinya tanpa lockdown, karena sepi, jadi pemerintah bisa lebih fokus ke tempat umum non-bisnis.

3. Tutup transportasi massal dalam kota seperti bis dan MRT. Kedengaran ekstrem, tapi manusia bisa menyesuaikan diri, mereka akan naik kendaraan pribadi (mobil/motor) bahkan sepeda bila mendesak untuk bisa ke tempat kerja. Perusahaan akan serius memikirkan Work from Home atau pekerja bisa ngekost di dekat tempat kerja.

4. Berlakukan wajib layanan antar untuk pasar, resto, supermarket dll kebutuhan pokok sehari-hari.

5. Gunakan teknologi handphone dan aplikasi untuk melacak perkembangan dan pergerakan pasien positif, ODP, PDP dan negatif. Hal ini sudah berjalan dengan baik di China, Korea Selatan dan Taiwan.

Social distancing dengan pendekatan manual dan humanis hanya berhasil di negeri antah berantah.

Dengan melakukan beberapa langkah diatas, setidaknya kita melakukan 80% dari total lockdown dan berbelas kasihan kepada pekerja medis dan nyawa rakyat.

DIAGNOSA DINI adalah kunci karena keberhasilan pengobatan akan tinggi sehingga tidak perlu dirawat di Rumah Sakit, dan dengan diagnosa dini, setidaknya yang positif tidak keluyuran kemana-mana.

Bila rapid test dan obat Covid-19 bisa dikomersialkan dengan harga murah dan tersedia dimana-mana sehingga masyarakat yang bergejala dapat menjangkau secara mandiri dan terjadi diagnosa dini, maka setidaknya bisa memperlambat kolapsnya sistem kesehatan kita.

Sistem BPJS yang gratis biarlah tetap berjalan, tetapi berilah masyarakat pilihan untuk mandiri dalam diagnosa dan akses obat yang terjangkau, sehingga Covid-19 ini dapat dikalahkan dengan usaha bersama.

Bila rapid test hanya dilakukan terbatas, dengan kriteria dan syarat rujukan njelimet, apalagi untuk orang-orang elit tertentu saja, maka tamatlah riwayat kita, tidak perlu ada pembahasan tentang Covid-19 lagi, karena artinya pemerintah telah memilih strategi jangka panjang depopulasi/pengurangan penduduk.

Berdarah-darah secara ekonomi dan fasilitas medis kewalahan, iya tetap tak terhindarkan, kita tidak sendirian karena banyak negara lain juga mengalaminya,

Tetapi dengan langkah-langkah yang tegas dan cepat, setidaknya meski babak belur, finalnya kita masih bernyawa dan bisa berdiri kembali secara ekonomi dll,

bukan berakhir di liang kubur.

WongCilik123

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun