Mohon tunggu...
WON Ningrum
WON Ningrum Mohon Tunggu... Konsultan - Peace of mind, peace of heart...

Hello, welcome to my blog!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bila Tawuran Dianggap sebagai Hiburan, Apa yang Salah?

30 Maret 2020   19:30 Diperbarui: 30 Maret 2020   20:44 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: freepik.com

Beberapa bulan yang telah berselang namun masih lekat di ingatan, yakni pada hari Jumat setelah kerja, saat saya dan kolega naik mobil menuju ke Kelapa Gading, di tengah perjalanan, kami dikejutkan oleh aksi tawuran yang nampaknya pelaku-pelakunya tidak mengenakan pakaian seragam. Namun jika dilihat sepintas, mereka rata-rata masih usia anak sekolahan. Lho, kok bisa?

Kejadian itu sekitar pukul 17.30 sore. Dalam aksinya, yang terlihat sekilas oleh kami, mereka terlihat menggenggam batu-batuan ukuran sedang sampai yang ukuran besar dan melempari lawan-lawannya dengan tatapan beringas.

Benda-benda ini yang sempat tertangkap oleh penglihatan kami. Belum lagi jika mereka mempunyai alat-alat tajam lainnya sebagai perlengkapan tawuran, seperti parang, pemukul dari bahan besi, atau bahkan membawa samurai! Betapa ngerinya!

Kami yang berada di dalam mobil pun menyerukan kepada sopir untuk mempercepat laju kendaraan karena takut akan jadi korban keberingasan mereka. 

Kami tidak sempat mengetahui dan menanyakan apakah itu tawuran antarpelajar dan dari sekolah mana ataukah itu tawuran antarwarga. Dan kalau itu perkelahian antarwarga, apa penyebab dari perkelahian massal tersebut? 

Akhir-akhir ini memang bukan hanya tawuran antarpelajar/antarmahasiswa saja yang santer terdengar, namun perkelahian antarwarga juga! Mengapa hal ini terus terjadi?

Ingatan saya lalu flashback ke masa ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya pernah tanpa sengaja "mengalami pertempuran" anak-anak antarkompleks perumahan, yakni antaranak-anak yang bermukim di kompleks Perumnas dan anak-anak yang tinggal di kompleks BTN tanpa mengetahui apa penyebab dari perkelahian itu. Kedua kompleks ini letaknya persis bersebelahan.

Sebagai seorang anak perempuan, saya sering bergabung dan bermain dengan anak laki-laki di berbagai permainan maupun pertandingan di kompleks saya. Saya juga sering ikut teman-teman saya yang laki-laki untuk bertanding segala jenis permainan dengan anak-anak kompleks sebelah. 

Nah, ketika "pertempuran" anak-anak antara dua kompleks yang berdekatan itu terjadi, saya pun ikut keluar rumah untuk melihat keributan yang terjadi tanpa punya maksud untuk ikut-ikutan. 

Tak disangka kehadiran saya diketahui oleh anak-anak dari kompleks lain dan langsung dikerumuni untuk diserang! Ada dua orang anak laki-laki yang dengan sepotong kayu di tangan mereka masing-masing sedang mengepung saya!

Saya yang tidak tahu-menahu tentang kejadian itu lantas hanya bisa berdiam diri saja di tempat. Saya kebingungan sekaligus ketakutan. Jika saya berlari, maka saya pasti akan dikejar. Dalam keadaan terdiam, tiba-tiba anak laki-laki yang mengepung saya lantas berkata kepada temannya, "Ayo kita cari anak yang lain saja, dia anak perempuan!" Ketika dua anak laki-laki itu berlalu, saya pun berlari pulang ke rumah dengan cepat. Rupanya setelah beranjak dewasa, kejadian tersebut tidak pernah saya lupakan. Bibit-bibit tawuran rupanya telah berakar bahkan ketika masih di usia anak-anak!

Apa yang sebenarnya ada di benak anak-anak tersebut sehingga bisa begitu mudahnya terpancing untuk melakukan "pertempuran" antarkompleks/antarwilayah? Apakah ini dianggap kegiatan yang normal? Apakah mereka mencontoh apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di lingkungan mereka? Atau apakah ini hanya sebuah bentuk hiburan anak-anak saja yang berada jauh dari Ibukota? 

Tapi mengapa harus dalam bentuk "pertempuran"? Apakah motif perkelahian anak-anak ini (saat saya masih di bangku Sekolah Dasar dulu) sama dengan tawuran antarpelajar/antarwarga di zaman sekarang ini? Jika keduanya dihubungkan, pasti ada "sesuatu yang salah" di sini.

Ngomong-ngomong masalah tawuran dianggap sebagai hiburan, beberapa bulan yang lalu di Jakarta telah terjadi tawuran maut di Sunter (24/11/2019), yang mengakibatkan tewasnya seorang pria, dan polisi menetapkan dua orang tersangka yang diketahui adalah anak-anak di bawah umur! Diketahui bahwa sebab terjadinya tawuran tersebut adalah bukan dengan motif kebencian, melainkan hanya untuk hiburan di malam Minggu!

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi (Kak Seto) menyoroti hal ini. Ia mengungkapkan bahwa adanya tawuran yang didasari dengan motif "hiburan" bisa jadi karena anak-anak usia sekolah/remaja terbebani dengan banyaknya materi pelajaran yang harus dipelajari setiap hari, ditambah dengan banyaknya pekerjaan rumah yang juga diberikan. 

Tidak berhenti sampai di sini saja. Setelah jam pelajaran, anak-anak ini masih menjalani les-les dan bimbingan belajar. Begitu padatnya hari-hari yang dilalui oleh anak-anak ini di sekolah maupun di rumah.

Hal ini bisa saja menyebabkan anak menjadi stres dan akhirnya bisa "meledak" dalam bentuk tawuran, mabuk-mabukan, geng motor yang membahayakan, pergaulan bebas dan kegiatan-kegiatan berbahaya semacamnya.

Olehnya Kak Seto menyerukan agar kurikulum pendidikan yang ada diubah total sehingga anak-anak usia sekolah bisa menyalurkan energi mereka yang tinggi dengan hal-hal yang lebih berguna dan bertanggung jawab. Ini tantangan terbesar bagi dunia pendidikan Indonesia. Apakah ini hanya merupakan tanggung jawab Menteri Pendidikan saja? Nampaknya tidak. Orangtua, guru dan masyarakat harus bersatu dan bersama-sama memperjuangkan agar anak-anak Indonesia mendapatkan sistem pendidikan terbaik di dunia. Kita bisa kalau kita mau!

Ilustrasi gambar: freepik.com
Ilustrasi gambar: freepik.com

Di samping itu, ada beberapa poin yang bisa kita lihat agar kasus-kasus tawuran bisa hilang atau setidaknya bisa semakin mereda di kalangan anak usia sekolah/remaja, sebagai berikut:

  1. Anak-anak/remaja dikenalkan dengan pembelajaran soal value dan diajak berdiskusi (perorangan/kelompok) untuk melihat poin atau kutub ekstrem dari sebuah tawuran: Bagaimana tawurannya? Asyik? Di bagian mana yang asyik? Di bagian mana yang tidak asyik? Tawuran sakit atau enak? Sakitnya di mana? Enaknya di mana? Menurut kamu apa efek baik tawuran? (Mungkin mereka akan menjawab untuk menumbuhkan solidaritas). Apa efek tidak baiknya?
  2. Anak-anak/remaja diajak untuk menyadari dan melihat tawuran dari sisi "kenikmatan" dan dari sisi "ketakutan": Kira-kira, ada tidak yang lebih asyik dari tawuran? Lebih enak mana: tawuran atau main basket? Tawuran atau nge-band? Tawuran atau menekuni hobi kamu? Keren mana babak belur karena tawuran atau terkenal di kelas karena kamu hebat di satu bidang yang kamu sukai?
  3. Ajak anak-anak/remaja untuk melihat kutub sebaliknya: Coba bayangkan kalau kamu kena bacok parang atau benda tajam lainnya, lalu cacat seumur hidup. Bagaimana? Tidak bisa jalan, hanya bisa berbaring di tempat tidur, apa mau? Kalau kamu luka parah dan harus diopname berbulan-bulan di rumah sakit, apa kuat orangtuamu membiayai? Apa kamu tega? Kalau lawan kamu mati, bagaimana? Apa kamu bangga? Apa kamu tidak takut dipenjara? Kira-kira bagaimana perasaan ibumu? Lalu bagaimana masa depanmu jika di usia ini sudah harus mendekam di penjara? Biasanya kamu hidup enak dan serba lengkap di rumah, lalu tiba-tiba harus mendekam di rumah tahanan, apa kamu tahan?
  4. Pengambilan keputusan anak usia sekolah/remaja masih banyak dipicu oleh emosi. Oleh karena itu, baik jika membangun kesadaran anak/remaja lewat emosi juga.
  5. Diperlukan dialog yang tidak sebentar. Bila anak usia sekolah/remaja yang tawuran hanya dijatuhi hukuman, bisa jadi mereka akan ikut tawuran di sekolah lain. Dibutuhkan dialog layaknya "friend to friend" dengan mereka.*

Referensi:

[1] [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun