Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pelatih Baru Harapan Baru, Berprestasi Belum Tentu

28 November 2021   04:00 Diperbarui: 28 November 2021   06:58 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ralf Rangnick, pelatih baru Manchester United (sumber : tribunnews.com)

Tolok ukur sebuah klub atau tim untuk bisa disebut sebagai klub atau tim hebat adalah karena prestasi yang pernah diraih. Prestasi itu bisa di level domestik atau non domestik.

Real Madrid, AC Milan, Inter Milan, Bayern Munchen, Barcelona, Juventus, Manchester United, Chelsea, atau beberapa klub lainnya disebut sebagai klub hebat karena mereka mampu menorehkan prestasi di level domestik dan di level Eropa. Mereka berjaya di negaranya dan juga berjaya di Eropa.

Sejumlah klub yang disebutkan di atas bisa berprestasi karena mereka (pernah) memiliki pelatih hebat, pemain hebat, dan didukung oleh kemampuan finansial klub yang kuat. Tanpa itu semua, tidak mungkin klub-klub di atas bisa menorehkan prestasi dan kesuksesan.

Real Madrid misalnya. Sewaktu Madrid berhasil menjadi juara Liga Champions UEFA tiga musim berturut-turut (2015-2016, 2016-2017, dan 2017-2018), saat itu Madrid ditangani oleh pelatih hebat, Zinedine Zidane.

Kemudian Madrid juga memiliki banyak pemain hebat. Sebut saja Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, Gareth Bale, Rafael Varane, Luca Modric, James Rodriguez, dan lain-lain.

Selain itu Madrid juga ditunjang dengan kemampuan finansial klub yang kuat. Madrid dikenal sebagai salah satu klub kaya raya di Eropa.

Jadi dalam hal ini faktor pelatih hebat bukanlah satu-satunya faktor atau faktor tunggal prestasi dan kesuksesan sebuah klub. Selain itu harus pula ditunjang oleh pemain hebat dan kemampuan finansial klub yang kuat.  

Namun tentu saja faktor pelatih hebat, pemain hebat, dan kemampuan finansial klub yang kuat tidak menjadi jaminan pula bagi sebuah klub untuk bisa meraih prestasi yang banyak atau prestasi yang tinggi. Manchester City dan Paris Saint Germain misalnya.

Semenjak kedua klub itu dibeli oleh "sultan" dari Timur Tengah, kemampuan finansial kedua klub memang menjadi sangat kuat. Sehingga kedua klub itu mampu mendatangkan atau membeli pelatih dan banyak pemain yang hebat.   

Kedua klub itu pun menjelma menjadi klub yang disegani. Kedua klub memang berhasil meraih prestasi di level domestik, tapi tidak di level Eropa. Manchester City dan Paris Saint Germain sampai saat ini belum mampu memenangkan satu kali pun trofi Liga Champions UEFA.

Padahal, baik Manchester City maupun Paris Saint Germain pernah dan saat ini masih memiliki pelatih yang hebat. Manchester City pernah dilatih Sven Goran Eriksson, Roberto Mancini, Manuel Pellegrini, dan saat ini dilatih oleh Pep Guardiola.

Demikian pula dengan Paris Saint Germain. Paris Saint Germain pernah dilatih oleh Carlo Ancelotti, Laurent Blanc, Unai Emery, Thomas Tuchel, dan saat ini dilatih oleh Mauricio Pochettino.

Manchester City dan Paris Saint Germain juga pernah dan masih memiliki banyak pemain hebat. Manchester City misalnya pernah diperkuat oleh Sergio Aguero, David Silva, Vincent Kompany, Micah Richards, Mario Balotelli, dan lain-lain. Dan saat ini The Citizen pun masih diperkuat pemain hebat seperti Kevin de Bruyne, Raheem Sterling, Bernardo Silva, dan lain-lain.

Begitu pula dengan Paris Saint Germain. Paris Saint Germain pernah diperkuat oleh Ezequiel Lavezzi, Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, Blaise Matuidi, dan lain-lain. Dan saat ini pun Le Parisien masih diperkuat pemain hebat seperti Angel di Maria, Kylian Mbappe, Neymar, Lionel Messi, dan lain-lain.

Kendati telah memiliki pelatih hebat, pemain hebat, dan kemampuan finansial klub yang kuat, Manchester City dan Paris Saint Germain belum sukses di level Eropa karena belum memiliki faktor lain, yakni faktor lucky alias faktor keberuntungan. Faktor ini sifatnya unpredictable.

Namun pada umumnya faktor kesuksesan atau kegagalan sebuah klub biasanya sering ditimpakan kepada sang pelatih. Oleh karena itu tidak heran jika sebuah klub mampu menorehkan prestasi atau gagal berprestasi, maka sang pelatih lah yang disorot.

Seperti belakangan ini ada sejumlah klub mengalami penurunan performa atau prestasinya anjlok. Pihak yang paling menjadi sasaran atau kambing hitam adalah pelatih klub itu.

Sebut saja Barcelona. Klub dari Catalunia tersebut sekarang ini performanya anjlok. Baik di liga domestik maupun di Eropa. Pelatih Barcelona, Ronald Koeman pun dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa Barca. 

Tidak heran jika Ronald Koeman kemudian dipecat oleh Barca. Koeman dipecat Barca pada tanggal 27 Oktober lalu. Sebagai gantinya Barca mendatangkan mantan bintang mereka Xavi Hernandez sebagai pelatih baru.

Demikian pula dengan beberapa klub lainnya yang juga mengalami penurunan performa seperti Barca. Mereka pun kemudian memecat sang pelatih.

Seperti Newcastle United. Newcastle memecat pelatih mereka, Steve Bruce pada tanggal 20 Oktober lalu dan diganti oleh Eddie Howe sebagai pelatih baru.  

Kemudian Tottenham Hotspur. Tottenham memecat pelatih mereka, Nuno Espirito Santo pada tanggal 1 November 2021. Sebagai gantinya Tottenham mendatangkan pelatih top asal Italia, Antonio Conte.

Paling aktual adalah Manchester United. Si Setan Merah resmi memecat pelatih sekaligus legenda klub, Ole Gunnar Solsksjaer sesaat setelah Manchester United kalah telak 1-4 dari Watford di pertandingan ke-12 Liga Utama Inggris (20/11).

Sebagai ganti Solsksjaer, Si Setan Merah merekrut pelatih berkebangsaan Jerman, Ralf Rangnick. Manchester United mengontrak Rangnick berdurasi pendek, yakni sampai  akhir musim saja.

Pergantian pelatih dalam sepak bola adalah dinamika yang biasa dan wajar. Hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Dengan mendatangkan pelatih baru, tentu ada harapan baru agar performa klub membaik atau meningkat.  

Namun tidak semua pelatih baru mampu menorehkan prestasi seperti yang diharapkan pihak klub. Kendalanya mungkin karena sang pelatih tidak memiliki cukup stok pemain yang bagus.

Seperti pelatih Newcastle United, Eddie Howe. Saat ini Howe belum mampu mengangkat performa Newcastle sedikit pun. Newcastle tetap berada di dasar klasemen Liga Utama Inggris.

Melihat kondisi para pemain Newcastle yang mayoritas bukan termasuk kategori pemain bintang, jangankan Howe, pelatih top sekelas Carlo Ancelotti, Jurgen Klopp, Pep Guardiola, atau Thomas Tuchel pun belum tentu sanggup mengangkat performa Newcastle.

Dengan demikian, mengganti pelatih lama dengan pelatih baru bukan sebuah solusi jika para pemain klub itu masih tetap merupakan pemain yang biasa-biasa saja. Pelatih hebat sekali pun pasti membutuhkan pemain-pemain berkualitas agar bisa mengangkat performa klub. 

Pelatih baru adalah harapan baru. Namun berprestasi belum tentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun