Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penolakan RUU HIP Bukan Semata Terkait Masalah Nama

4 Juli 2020   21:06 Diperbarui: 4 Juli 2020   21:16 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wapres Ma'ruf Amin Bertemu Pengurus MUI, NU, dan Muhammadiyah Membahas Penundaan RUU HIP (tribunnews.com)

Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP sepertinya merupakan RUU yang paling mendapat reaksi paling keras dari berbagai elemen masyarakat.

Bahkan dibandingkan dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus law) atau RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Sosial) yang ditentang banyak pihak pun,  RUU HIP masih jauh mendapat tentangan yang lebih keras.

Tak kurang dari dua Ormas Islam tebesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah juga menentang keras terhadap RUU HIP. Termasuk organisasi para ulama, yakni MUI yang menjadi "lembaga fatwa" bagi umat Islam melakukan hal yang sama. Belum lagi para tokoh dan cendekiawan muslim sendiri, para ahli hukum, dan tokoh lainnya.

Banyak argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang menolak keras RUU HIP. Antara karena menurut mereka dalam RUU HIP tidak tercantum TAP MPRS/XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. RUU HIP juga dinilai berpotensi mendown grade pancasila itu sendiri, karena Pancasila sejatinya berada di atas Undang-undang.

Argumentasi lain dari pihak yang menolak keras RUU HIP bukan sesuatu yang urgen untuk dibahas karena banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas. Sementara Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad menyebut bahwa RUU HIP tersebut disusun secara sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi.

Walau pun banyak pihak menolak keras RUU HIP, tetapi RUU tersebut tidak termasuk RUU yang ditarik dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas 2020 oleh DPR. Padahal baru-baru ini DPR telah menarik 16 (enam belas) RUU yang dianggap "tidak prioritas" dan "bermasalah" dari Prolegnas Prioritas 2020. Salah satunya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Sosial) yang juga mendapat penolakan dari banyak pihak.

Bahkan PDI-P sebagai partai yang bersikeras mendorong RUU HIP ini menjadi Undang-undang, kemudian melakukan manuver agar RUU HIP tetap bisa diterima oleh seluruh pihak dan disahkan menjadi Undang-undang. Manuver yang dilakukan oleh PDI-P adalah dengan mengembalikan nomenklatur RUU tersebut kepada nomenklatur awal, yaitu RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).

Manuver dari PDI-P tersebut nampaknya tidak akan berjalan mulus dan tidak akan mengubah sikap banyak pihak yang menolak keras RUU HIP kendati dikembalikan kepada nomenklatur awal, yaitu RUU PIP.

Seperti disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad misalnya. Menurut Dadang, Muhammadiyah menginginkan RUU itu dicabut, tidak dilanjutkan dan tidak mengganti judul. Kalau substansinya masih tetap sama, menurut Dadang sama saja dengan membohongi rakyat.

Kemudian dari internal DPR sendiri masih banyak anggota yang menolak RUU tersebut. Seperti dari anggota Badan Legislasi DPR RI sendiri yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat, Bambang Purwanto.

Bambang mempertanyakan pihak yang bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU HIP dengan meminta nama RUU itu diubah menjadi RUU PIP. Hal itu menurut Bambang tidak sesuai dengan desakan publik yang meminta RUU HIP dibatalkan.

Penolakan juga datang dari Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional) seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Fraksinya, Partaonan Daulay. Menurut Daulay, pembahasan RUU HIP menuai polemik sehingga penggantian namanya tak akan menyelesaikan masalah. Pihaknya merasa khawatir jika pembahasan RUU yang berkenaan dengan Pancasila itu dilanjutkan akan menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat.

Selain itu perdebatan terkait RUU HIP tersebut dalam pandangan Daulay, sudah memecah belah pikiran dan pandangan masyarakat. Kalau dilanjutkan dengan mengubah judul dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan tetap akan mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.

Selain mereka di atas, tentu masih banyak lagi pihak lain yang tetap menyatakan penolakannya terhadap RUU HIP kendati diubah menjadi RUU PIP. Sebab yang mereka inginkan bukan mengganti nama tapi tidak melanjutkan pembahasan alias mencabut RUU tersebut.

Fenomena kuatnya arus penolakan terhadap RUU HIP atau RUU PIP, seharusnya bisa dibaca secara bijak oleh pihak pengusul, DPR, dan termasuk oleh pemerintah. Apalagi pembahasan RUU itu dilakukan di tengah musibah global yang sampai saat ini masih belum berakhir, yakni pandemi Covid-19.

Tidak salah jika banyak pihak yang mengatakan bahwa sebaiknya para legislator dan pemerintah untuk lebih fokus saja kepada penanganan pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi yang luar biasa.

Pandangan dari para penolak RUU HIP juga yang menyebut masalah kurang urgensinya pembahasan RUU tersebut, sepertinya juga tidak salah. Sebab banyak hal lain yang lebih urgen untuk dibahas yang menyangkut kesejahteraan dan kebutuhan mendasar rakyat yang lain.

Kalau boleh dianalogikan, RUU HIP itu bukan "pangan" yang menjadi kebutuhan primer rakyat, melainkan sebagai "sandang" yang "hanya" merupakan kebutuhan sekunder.  

Artinya kalau pun DPR dan pemerintah tidak fokus atau bahkan tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk sementara waktu, hal itu tak akan membuat rakyat "mati". Berbeda halnya dengan, ketika DPR dan pemerintah tidak fokus menangani masalah pandemi Covid-19, membahas masalah ekonomi, atau membahas masalah kesejahteraan rakyat misalnya, maka rakyat bisa "mati".

Dengan demikian, dalam hal ini diperlukan kebijakan dan kepekaan dari DPR, pemerintah, dan semua pihak untuk membuat skala prioritas demi kebaikan rakyat secara keseluruhan. Semua harus bisa mengenyampingkan "ego sektoral" masing-masing.

Apakah pembahasan RUU tentang Pancasila tidak baik ? Tentu tidak. Hanya saja untuk saat ini mungkin momennya kurang pas, kurang tepat.

Selama bertujuan untuk kebaikan rakyat, bangsa, dan negara pembahasan RUU tentang Pancasila masih terus bisa dilakukan. Tentu saja dengan mengeliminir bagian-bagian yang berpotensi menimbulkan masalah untuk saat ini dan di kemudian hari.

Selain itu juga dengan mengakomodir saran, masukan, atau usulan dari banyak pihak sehingga RUU tentang Pancasila tersebut menjadi "sempurna" setelah menjadi Undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun