Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Toa, Ketika Ibu Kota Ingin Kembali ke Masa Lampau

20 Januari 2020   18:51 Diperbarui: 21 Januari 2020   17:54 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: guillaumebonnefont.com

Saat lonceng itu hilang karena dicuri (entah oleh maling atau siapapun, kami tidak ada yang tahu) semua orang menyadari nilai tinggi loceng itu. 

Lonceng itu digantung di dekat pintu ruang parkir kendaraan warga asrama, dan saat hilang yang hilang hanya lonceng itu, tidak ada satupun motor yang ikut dicuri. Kami berpikir rupanya ada seorang yang mengerti makna bunyi-bunyian sehingga repot-repon mencuri lonceng itu.

Lonceng itu terlalu tidak berharga apabila diloakkan hanya sebagai besi. Wujudnya tidak terlalu besar. Suara lonceng itu, ceritanya saat hilang adalah salah satu memori indah saat saya tinggal di asrama.

Di masa kecil saya dulu, di kampung ada bedug dari masjid yang digunakan sebagai penanda waktunya buka puasa di bulan Ramadhan. Suara bedug itu begitu kuat, mengelegar bahkan terdengar sampai ke rumah saya yang berjarak hampir 1 km dari masjid. 

Menjelang maghrib semua tetangga akan keluar rumah, mengobrol, menunggu bedug itu di tabuh (saat itu istilah ngabuburit belum menasional).

Saat seperti ini adalah waktu yang menyenangkan bagi saya karena saya dapat bermain di luar rumah, bertemu teman-teman, berlari ke sana kemari. 

Saat bermain ada banyak orang dewasa di sekitar saya dan ini menimbulkan rasa aman. Suara bedug itu dan menunggu buka puasa bersama adalah kenangan indah bagi saya.

Kalau Pemda DKI Jakarta mau bersusah payah sedikit mestinya bisa mencari alat peringatan banjir yang lebih membanggakan. Rencana penggunaan toa ini terasa agak tergesa-gesa, bersifat sementara dan hanya diperlukan sebagai menjawab cepat keresahan warga Jakarta akibat dampak banjir kemaren. Di Jakarta banyak orang pintar. Apabila mau mencari alat modern, pasti bisa ditemukan alat yang modern sekalian, cangih.

Kalau mau memilih yang tradisional bisa dicari yang mewakili perjalanan hidup warga Jakarta, entah itu dari kenangan indah saat kanak-kanak atau memori bahagia saat remaja. Warga Kampung Makasar bisa mencari cara Makasar. Warga Kampung Ambon bisa mencari cara Ambon.

Yang hidup di Pecinan bisa mencari cara-cara dari leluhur mereka yang adi luhung. Pikiran yang kreatif akan membuat alat-alat itu berkembang sesuai dengan cara-cara hidup mereka saat ini. Dan ketika alat itu sudah benar-benar ada, warga Jakarta bisa mengatakan itu adalah bagian dari hidup mereka. 

Epilog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun