Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Toa, Ketika Ibu Kota Ingin Kembali ke Masa Lampau

20 Januari 2020   18:51 Diperbarui: 21 Januari 2020   17:54 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: guillaumebonnefont.com

Saya mendengar kepastian rencana Pemda DKI Jakarta menggunakan pengeras suara (toa) sebagai peringatan darurat banjir pada Jumat (17 Januari 2020) melalui notifikasi situs berita.

Saya agak kecewa di berita itu tidak ada penjelasan lebih banyak akan seperti apa bentuk rencana penggunaan toa karena pembicaraan lebih berat ke arah besarnya anggaran yang akan digunakan. 

Setelah kejadian anggaran lem aibon Nopember lalu rupanya Pemda DKI Jakarta belum juga mengambil pelajaran tentang anggaran yang layak.

Sabtu pagi, sambil menyiapkan sarapan saya mendengarkan Kompas TV (benar-benar mendengarkan karena tidak melihat televisinya) ada dialog tentang toa ini dan saya kecewa lagi. 

Narasumbernya (mestinya salah seorang pejabat terkait dari Pemda DKI Jakarta) tidak memberi jawabannya yang jelas. Saat ditanya berapa toa yang akan dibangun jawabnya nanti saya cek dulu.

Berapa toa yang sudah ada, jawabnya juga nanti saya cek dulu. Berapa toa yang perlu diperbaiki, angkanya juga tidak jelas. Kalau memang semua belum jelas mengapa dia bersedia datang ke stasiun televisi dan di wawancarai?

Sampai-sampai saya berpikir perilaku pejabat yang seperti ini bisa menjadi satu judul artikel tersendiri (hehehe.....).

Karena tidak melihat televisi saya tidak memiliki kesempatan memeriksa siapa narasumber itu tetapi dari dialog itu dapat dipastikan Pemda DKI Jakarta akan benar-benar menggunakan toa sebagai peringgatan darurat banjir (atau bencana lainnya).

Sabtu siang saya memiliki waktu nongkrong di depan televisi dan chanelnya nyantol ke salah satu televisi Korea Selatan. 

Awalnya saya tidak terlalu memahami gambar-gambar yang muncul karena hanya diperlihatkan tangan yang sedang memegang tanah liat tetapi lama-lama gambarnya menjadi jelas terlihat seorang artisan sedang membuat keramik tradisional.

Ternyata itu iklan layanan masyarakat untuk mengambarkan kemajuan kesenian di Korea Selatan lewat artis keramik. Keramik yang ditayangkan nampak indah dan di akhir tayangan muncul tulisan Traditional yet feel modern.

Dari iklan itu Pemerintah Korea Selatan sengaja memperlihatkan dan mempertahankan nilai-nilai lama yang esensial sambil menambahkan hal-hal baru yang membuat karya seni dapat duduk dengan pas di tengah kemajuan zaman dan kemajuan teknologi di Korea.

Traditional yet feel modern. Tag ini seperti menjawab apa yang kurang dari rencana Jakarta memakai toa sebagai peringatan darurat banjir, yaitu rasa modernnya.

Sejak awal mendengar rencana Jakarta memakai toa terasa ada sesuatu yang kurang. Pertanyaan yang umum di banyak kalangan apa iya Jakarta akan memakai toa?

Sepertinya alat ini kemudian mewakili gambaran orang bebal yang harus dibangunkan dengan suara yang sangat keras untuk bisa bangun. Dan kemudian yang muncul di benak saya adalah betapa kunonya alat ini. Itu saja.

Tidak ada sentuhan tambahan selain hanya akan digunakan sebagai peringatan bahaya bahkan terasa janggal dipraktekkan di ibukota sebuah negara, yang bagaimanapun sudah mencicipi kemajuan teknologi modern. 

Memang praktis, tetapi apakah ibu kota kita akan seperti itu? Anak-anak zaman sekarang akan mengatakan feelnya ngga dapet.

Peringatan tanda bahaya yang paling kuno adalah kentongan yang sudah dipraktekkan dari zaman Majapahit. Apabila sudah membaca novel seri Majapahit karya Langit Kresna Hariadi bisa dibayangkan betapa terstrukturnya sistem kentongan saat itu, bahkan dapat terasa "manajemennya". 

Tentu saja Majapahit tidak bisa menguasai sampai Negeri Campa apabila Gadjah Mada memakai manajemen yang ecek-ecek.

Saat kuliah saya tinggal di asrama putri yang ada jam malamnya. Ketika pukul 8 Penjaga Malam akan menabuh lonceng dari besi peninggalan zaman Belanda yang suaranya nyaring. Suaranya cukup keras sehingga terdengar sampai agak jauh ke rumah-rumah di kampung sekitar asrama.

Tidak ada yang keberatan dengan suara lonceng itu karena khas dan bagaimanapun merdu. Entah karena desain yang istimewa atau bahan yang terpilih. 

Suara lonceng itu akhirnya terkenal dan warga sekitar asrama juga ikut menjadikan sebagai penanda, ketika lonceng itu ditabuh berarti sudah pukul 8 malam.

Saat lonceng itu hilang karena dicuri (entah oleh maling atau siapapun, kami tidak ada yang tahu) semua orang menyadari nilai tinggi loceng itu. 

Lonceng itu digantung di dekat pintu ruang parkir kendaraan warga asrama, dan saat hilang yang hilang hanya lonceng itu, tidak ada satupun motor yang ikut dicuri. Kami berpikir rupanya ada seorang yang mengerti makna bunyi-bunyian sehingga repot-repon mencuri lonceng itu.

Lonceng itu terlalu tidak berharga apabila diloakkan hanya sebagai besi. Wujudnya tidak terlalu besar. Suara lonceng itu, ceritanya saat hilang adalah salah satu memori indah saat saya tinggal di asrama.

Di masa kecil saya dulu, di kampung ada bedug dari masjid yang digunakan sebagai penanda waktunya buka puasa di bulan Ramadhan. Suara bedug itu begitu kuat, mengelegar bahkan terdengar sampai ke rumah saya yang berjarak hampir 1 km dari masjid. 

Menjelang maghrib semua tetangga akan keluar rumah, mengobrol, menunggu bedug itu di tabuh (saat itu istilah ngabuburit belum menasional).

Saat seperti ini adalah waktu yang menyenangkan bagi saya karena saya dapat bermain di luar rumah, bertemu teman-teman, berlari ke sana kemari. 

Saat bermain ada banyak orang dewasa di sekitar saya dan ini menimbulkan rasa aman. Suara bedug itu dan menunggu buka puasa bersama adalah kenangan indah bagi saya.

Kalau Pemda DKI Jakarta mau bersusah payah sedikit mestinya bisa mencari alat peringatan banjir yang lebih membanggakan. Rencana penggunaan toa ini terasa agak tergesa-gesa, bersifat sementara dan hanya diperlukan sebagai menjawab cepat keresahan warga Jakarta akibat dampak banjir kemaren. Di Jakarta banyak orang pintar. Apabila mau mencari alat modern, pasti bisa ditemukan alat yang modern sekalian, cangih.

Kalau mau memilih yang tradisional bisa dicari yang mewakili perjalanan hidup warga Jakarta, entah itu dari kenangan indah saat kanak-kanak atau memori bahagia saat remaja. Warga Kampung Makasar bisa mencari cara Makasar. Warga Kampung Ambon bisa mencari cara Ambon.

Yang hidup di Pecinan bisa mencari cara-cara dari leluhur mereka yang adi luhung. Pikiran yang kreatif akan membuat alat-alat itu berkembang sesuai dengan cara-cara hidup mereka saat ini. Dan ketika alat itu sudah benar-benar ada, warga Jakarta bisa mengatakan itu adalah bagian dari hidup mereka. 

Epilog

Membicarakan peringgatan darurat banjir di kota besar seperti Jakarta, ibukota sebuah negara sebenarnya terasa sangat meresahkan. Teknologi prakiraaan cuaca saat ini sudah sangat berkembang sehingga datangnya hujan bisa diperkirakan, bahkan sekaligus intensitasnya. 

Oleh karena itu bencana banjir yang terjadi karena intensitas hujan yang sangat tinggi bukanlah bencana yang tidak bisa diantisipasi.

Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Pemda DKI Jakarta sama-sama berada di pusat kekuasaan sebuah negara. Agak menyedihkan apabila ada kesenjangan komunikasi diantara keduanya. 

Entah dari sisi mana dari kedua pihak yang tidak proaktif, komunikasi perlu sangat diperbaiki. Apalagi untuk informasi hujan deras yang sangat intensif yang katanya hanya turun 100 tahun sekali.

Karena banyaknya anomali terkait cuaca dan iklim, belajar dari banjir besar Jakarta tahun baru 2020 ini, rasanya sudah waktunya semua pihak memaknai dengan cara benar informasi tentang prakiraan cuaca, iklim dan peringgatan bencana lainnya. 

Lebih baik menyiapkan diri, waspada dan teliti membaca informasi dari pada tergagap-gagap menghadapi bencana, bahkan bencana yang bisa diperkirakan.

Catatan:

Toa adalah merk pengeras suara berbentuk corong yang dibuat oleh sebuah perusahaan asal Jepang. Sangking terkenalnya toa akhirnya menjadi nama alat. Sama seperti ketika naik motor dikatakan naik Honda dan minum air kemasan dikatakan minum Aqua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun