Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Benci Pada Ayah

13 Juni 2011   13:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nadal bingung. Tiba-tiba perasaannya terbebani oleh sesuatu masalah yang tak jelas juntrungannya.

Misal, tiba-tiba ia merasa masih menjadi mahasiswa yang belum-belum lulus juga. Padahal sudah 15 tahun ia menjadi sarjana. Telah beberapa kali pindah kerja dan kini  sudah banyak yang memanggilnya om atau pak.

"Aneh. sepertinya aku belum lulus karena belum bikin skripsi. Padahal aku sudah membuatnya dengan kerja keras dan dapat nilai lumayan. Mengapa bayangan perasaan aneh seperti itu muncul?," ucap Nadal dalam hati.

Perasaan itu lalu tiba-tiba hilang begitu Nadal sadar bahwa banyak pekerjaan yang menunggu diselesaikan.

Kalau sudah begitu biasanya ia langsung bersyukur karena perasaan itu salah. Bahwa ia ternyata hidup lebih beruntung dari orang kebanyakan.

Pernah juga ia tiba-tiba merasa bersalah kepada ayahnya yang telah lama meninggal dunia. Ketika itu sang ayah memberikan wejangan agar Nadal tidak ikutan nakal seperti temannya.

Ya ketika ayahnya masih hidup, Nadal bergaul dengan seorang kawan baru berasal dari kota bernama Beni.

Kawan itu secara fisik lebih tinggi, lebih kekar, lebih ganteng, lebih digandrungi lawan jenis, pokoknya serba lebih dari Nadal. Cuma satu  kekurangannya, Beni tak lebih pintar dari Nadal.

Meski begitu ayahnya tak pernah sekalipun membicarakan kelebihan Nadal. Sebaliknya ia selalu menyebut kekurangannya dibanding si Beni itu.

"Awas, kamu jangan ikut-ikutan nakal seperti dia. Kamu bukan anak siapa-siapa. Kamu orang desa. Kamu juga tak bisa bergaya seperti dia," katanya.

Ia rupanya sudah mencium aroma kenakalan Beni sejak awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun