Mohon tunggu...
Dewi Haroen
Dewi Haroen Mohon Tunggu... Psikolog -

Psikolog Politik & Pakar Personal Branding, Penulis Buku "PERSONAL BRANDING Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik", Narasumber media cetak/online, Radio & TV, Pembicara Seminar & Trainer, https://www.youtube.com/watch?v=oW1vuHKJ4iI http://www.dewiharoen.com/

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Ma, Icha Ketelan Jarum! (Ada Jarum Pentul Senilai 6 Juta di Perut Anakku)

21 November 2011   04:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:24 4792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ma, Icha ketelan jarum! Degh, jantung saya seraya berhenti berdegup! Meski hal  itu diucapkan dengan suara lirih! Ya, Aisha Kurniasari anak bungsu saya yang biasa dipanggil Icha (saat itu 4 tahun) sepertinya takut kena marah karena sesaat sebelumnya sudah saya peringati untuk tidak memasukkan jarum pentul ke mulutnya. Saya, yang sedang berdiskusi dengan orang percetakan untuk membuat kartu nama/kop surat butik, cuma bisa bengong tanpa ngeh dengan apa yang terjadi. Sesaat Icha menahan tangis dan tampak kesakitan seperti kondisi orang yang tersedak duri ikan di tenggorokan. Spontan saya mengambil kepalan nasi dan air putih, lalu menyuruhnya menelan bulat-bulat 2 kepal nasi tersebut yang lantas didorong dengan minum air putih. Meski saat itu usianya baru 4 tahun, tanpa banyak rewel Icha menuruti perintah saya …danAJAIB ! Setelah itu kesakitannya hilang dan ia tampak pulih seperti biasa lagi.

Kebingungan melanda saya setelah Icha kembali ceriaseperti tidak kejadian apa-apa sebelumnya. Malahan ia minta diboncengkan motor oleh orang percetakan (yang sudah seperti keluarga sendiri) keliling kompleks rumah. Untungnya saya bukan orang yang mudah panik, sehingga saat Icha dibonceng motor, saya menelpon suami suami dengan suara datar tanpa emosi dan memintanya untuk segera pulang agar bisa berunding menentukan langkah selanjutnya. Tujuannya agar suami tidak panik dan bisa pulang ke rumah dengan selamat, Maklumlah Icha adalah anak bungsu satu2nya perempuan kesayangan keluarga. Dan saya juga wanti wanti untuk tidak bercerita ke saudara atau lain orang,

Suami langsung membawa Icha ke rumah sakit...

Tak lama tiba di rumah, suami bersama sopir langsung membawa icha ke RS Bunda Menteng (rumah kami di Pulomas) untuk mengecek kondisi yang sebenarnya. Saya putuskan tidak ikut karena lebih baik saya menyiapkan keuangan, perlengkapan Icha serta...mental saya!. Feeling berbicara bahwa saya dan suami akanlah mengeluarkan biaya yang cukup besar jika benar Icha menelan jarum seperti yang dikatakannya. Saya berusaha keras tidak terlarut emosi/kesedihan atau menyalahkan diri terus menerus atas keteledoran/kecerobohan  mengawasi tingkah lakunya yang notabene saat itu  ada disamping saya. Alhamdulillah pikiran jernih menuntun saya untuk mampu bertindak rasional.

Icha  meniru penjahit butik yang suka menaruh jarum di mulutnya...

Teman percetakan yang membocengkan Icha keliling kompleks waktu pamit pulang berkata, bahwa Icha dengan gamblang bercerita kalau tanpa sengaja menelan satu jarum pentul yang warnanya pink, warna favoritnya. Kenapa sampai dimasukkan ke mulut, karena ia meniru mbak-mbak penjahit butik  yang suka menaruh jarum di mulutnya sebelum memasukkan benang jahit. Kebiasaan buruk yang dilakukan penjahit butik saya itu  membuat dirinya penasaran melakukan hal yang sama. Ya, profesi saya saat itu wiraswasta di bidang jahitan/butik, sehingga rumah bertingkat 2 itu  merangkap sebagai butik dan studio jahit dengan 10 orang karyawan (bawah lt 1). Tujuannya agar senantiasa bisa mengasuh dan mengawasi anak-anak tanpa menggunakan jasa baby sitter. Bisa dibayangkan betapa berat beban perasaan hati saya saat itu...lha kok saat anak berada disamping saya dan hanya berjarak 1/2 meter...terlengah sepersekian detik...terus kejadian...Duh Gusti!

Ternyata (memang) ada jarum di lambungnya...

Balik ke Icha lagi, akhirnya kekuatiran saya dan suami terbukti. Dari hasil rontgen yang dilakukan, terlihat ada jarum yang tampak jelas melintang (lihat foto di atas).  Tindakan spontan saya menyumpalkan nasi mengikuti resep kuno bila kita tersedak/tertelan duri ikan, membuat jarum jatuh langsung ke lambung dan tidak tertancap di tenggorokan/kerongkongan. Selain itu (mungkin) karena ada pentulnya (seperti pemberat) menyebabkan jarum langsung  jatuh ke bawah. Menurut dokter,  jarum itu harus dikeluarkan secepatnya agar tidak melukai lambung dan organ lainnya (menghindari resiko pendarahan). Dan dicegah jangan sampai bergerak ke usus halus, karena akan sangat rawan bagi keselamatannya . Jika demikian, terpaksa dilakukan tindakan operasi untuk mengeluarkannya.

Mengeluarkan jarumnya dengan melakukan ENDOSKOPI...

Dokter menyarankan mengeluarkan jarum dengan melakukan endoskopi, yaitu memasukkan suatu alat khusus lewat tengggorokan bentuknya seperti selangnya kecil yang ujungnya bercapit. Alat itu yang nantinya akan berfungsi mencabut/mengambil jarum di lambung atau rongga dalam (lihat foto dibawah). Cara ini dipandang lebih aman/praktis, efek sampingnya minimal dan pasien lebih cepat pulih dibandingkan dengan tindakan operasi. Namun dalam pelaksanaannya tetap dilakukan pembiusan total. Pada tahun 2000 itu hanya RSCM dan beberapa RS Swasta Ternamayang punya. Karena RS Bunda juga tidak punya, maka kami dirujuk ke RSCM atau MMC Kuningan. Suami memilih MMC karena menginginkan pelayanan yang terbaik untuk putri kecil kami. Tanpa pulang ke rumah langsung saja suami membawa Icha ke MMC agar bisa didapat kepastian untuk diambil tindakan. Tapi kami sempat kecele, karena peralatan endoskopi di MMC  hanya diperuntukkan pasien usia dewasa. Untuk pasien anak-anak mereka merujuk ke RSCM atau RS Siloam Glenagles (cabang RS Siloam Gleanagles Singapore) di Lippo Karawaci Tangerang.

Beruntung suami  tegar dan mampu menguasai emosi,

Bersyukur suami saya tegar dan bisa menguasai emosinya, sehingga ia mampu berpikiran jernih dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Ia tidak menyalahkan saya dan siapapun yang seharusnya bertanggung jawab menjaga Icha setiap waktu. Belakangan suami mengaku bahwa ia bisa begitu karena melihat Icha yang tetap menampakkan raut ceria seolah-olah tidak terjadi apa-apa didirinya. Dan Icha juga tak segan berceloteh kepada dokter dan perawat yang memeriksanya tentang jarum yang ditelannya tersebut. Bahkan dia ikut melihat hasil rontgen dan tertawa geli sewaktu diberitahu kalau jarum itu ada di perutnya.

Suami memutuskan membawa Icha ke RS Siloam Gleanegles Lippo Karawaci tangerang...

Tanpa pikir panjang suami langsung membawa Icha malam itu juga (ditemani supir) meluncur ke RS Siloam Gleanegles Lippo Karawaci, Tangerang. Ia hanya menatap ke depan mencari jalan keluar/penanganan yang terbaik dan profesional demi keselamatan permata hati kami. Tentunya dengan konsekwensi akumulasi biaya di RS ternama itu yang (perkiraan) jumlahnya nominalnya cukup besar.  Baginya putri kecil kami lebih berharga dari apapun juga!

Ternyata pilihan kami tidak meleset. Meski harus menempuh perjalanan jauh dari Kuningan ke Karawaci Tangerang, alhamdulillah penanganan yang profesional dan cekatan tim dokter dan perawat RS tersebut menentramkan hati kami. Setelah malam harinya dilakukan pemeriksaan menyeluruh, keesokan paginya langsung dilakukan tindakan endoskopi yang melibatkan 4 dokterahli bedah yang berpengalaman dan 1 ahli anestesi. Karena perlakuan Suster RS yang baik, Icha sama sekali tidak rewel ketika harus periksa darah ataupun saat dipasang jarum infus. Meski sebetulnya tidak tega, suami memutuskan masuk ke ruang operasi menemani Icha sekaligus menyaksikan pelaksanaan endoskopi tersebut. Saya menunggu di kamar rawat untuk sholat dhuha/berdoa setelah mengantar sampai ke ruang operasi.

Setelah jarum berhasil dicabut, suami langsung keluar menemui saya di kamar. Ketegarannya akhirnya luruh dalam derai air mata pilu. Sambil memeluk saya erat-erat, suami saya menangis sejadi-jadinya mengeluarkan segala perasaan dan emosinya yang tertahan. Hal semacam ini belum pernah saya saksikan sepanjang pernikahan selama 10 tahun itu. Dan saya sendiri hanya bisa berucap syukur sambil berlinang air mata bahagia, setelah sebelumnya saya sempat melakukan doa panjang memohonkan keselamatan dan setelah sholat dhuha.  Terima kasih ya Allah, Engkau selamatkan putri kecilku!

Berlibur akhir tahun sekeluarga ke Singapore dan Malaysia...

Hanya 2 hari menginap di RS, Icha diperbolehkan pulang. Dan sewaktu kontrol/check ke dokter seminggu sesudahnya, ia dinyatakan benar-benar pulih seperti sediakala tanpa ada efek samping dari proses endoskopi yang dilakukan. Meski tahun 2000 itu kami harus mengeluarkan uang 6 juta rupiah (nilai sekarang tahun 2011 berapa ya?) untuk biaya pengobatan Icha, saya sekeluarga tetap merasa sangat beruntung. Mengapa tidak, karena nilai uang itu sebanding dengan pelayanan RS dan profesionalitas dokter yang diberikan. Sehingga 2 minggu setelah peristiwa itu, kami  sekeluarga bisa  melangsungkan rencana yang telah disusun jauh hari untuk berlibur akhir tahunke Singapore dan Malaysia. Meski besarnya biaya pengobatannya  ini menjadi bahan canda Icha  ke teman-teman dan keluarga besar...bahwa dia pernah menelan jarum pentul senilai 6 juta!

11 tahun berlalu...

Peristiwa miris itu telah 11 tahun lamanya berlalu. Saya tergerak menuliskannya setelah melihat acara/berita di TV dimana ada anak kecil (seumuran Icha waktu itu) yang mengalami kejadian yang serupa. Dia beruntung karena jarum itu ternyata bisa keluar dengan sendirinya lewat tinjanya. Selain itu  juga ditayangkan beberapa peristiwa/kejadian lain yang fatal yang menimpa anak-anak balita. Ada yang berujung keselamatan dan tidak sedikit pula yang meninggal. Kisah lain  yang juga tragis serta menghebohkan (karena disinyalir HOAX) di jagad kompasiana/kompas.com dan dunia maya, adalah kisah dari TITI yang menceritakan seorang ibu yang asyik dengan BBnya sehingga bayinya meninggal karena tak bisa bernafas akibat tertimpa bantal!

Saya tak hendak berpolemik akan masalah benar tidaknya kisah TITI ini, tapi yang saya soroti bahwa masyarakat langsung menuding orangtua terutama si ibu sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Ia dianggap tidak becus menjaga anak-anaknya. Semua kesalahan ditimpakan kepada ibu yang dianggap lalai menjaga anak-anaknya. Karena pernah mengalami peristiwa miris yang berkaitan dengan penjaagaan anak, saya merasa hal itu tidak fair.  Ibaratnya kita sudah jatuh tertimpa tangga. Mengapa demikian, karena IBU yang PALING SEDIH dan MENDERITA melihat anaknya CELAKA. Tanpa perlu disalahkan orang lain, kita (PASTINYA) berulangkali MENYALAHKAN DIRI SENDIRI atas kebodohan dan kelalaian yang kita lakukan. Dan ini terus terbawa bertahun-tahun berselang. Orang lain akan lupa, akan tetapi KITA (Si IBU) akan tetap terus mengenangnya bahkan masih (ada) menyimpan segala sesuatunya. Contoh nyata adalah saya sendiri, dimana  medical record Icha terletak rapi di lemari kerja, sehingga bisa saya sajikan secara lengkap untuk mendukung tulisan ini.

Pulomas, 21 November 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun