Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Orang-orang di Kebun Sawit (4)

5 Agustus 2017   10:56 Diperbarui: 29 Agustus 2017   05:58 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
adlinlubis.blogspot.com

Sebelumnya :

" Mandor mungkin mau menyalurkan birahinya denganmu dihadapan Nafisah ", ujar Parni sebelum Hartini melangkahkan kakinya kearah mandor Sarmin dan Nafisah.

Setelah itu :

"Siapa takut ", jawab Hartini menipali perkataan Parni. Seperti disengaja Hartini melenggang lenggokkan bokongnya yang padat dan berisi.

" Mandor memanggil saya?, ada yang perlu saya kerjakan buat mandor?", dengan manja yang dibuat buat Hartini merapatkan tubuhnya ketubuh sang mandor.

" Tentu ada pekerjaan baru buat kamu Hartini ", sang mandor memeluk tubuh Hartini didepan Nafisah. Bibir sang mandor yang ditumbuhi kumis tebal menempel dibibir Hartini yang berwarna hitam. Tangan mandor Sarmin menyelusup masuk melalui celah kancing baju Hartini yang sengaja dibukanya. Tangan mandor Sarmin berhenti sejenak pada titik nokhtah yang lembut milik Hartini, lalu tangan itu meraba dan mengelus pada setiap lekuk tubuh Hartini.


Erangan Hartini masih dalam posisi berdiri membuat sang mandor semakin bernafsu. Nafisah hanya dapat diam berdiri bagaikan patung batu. Nafasnya mendesah seketika, tapi dengan cepat pula diredakannya. Dipejamkannya matanya kuat kuat agar dia tidak melihat apa yang dilakukan oleh mandor Sarmin dengan Hartini yang sempat menaikkan syakhwatnya.

" Dengan senang hati saya akan mengerjakannya mandor ", Hartini masih mendekap mandor Sarmin.

" Pekerjaan barumu itu adalah mengajari Nafisah bagaimana cara yang baik untuk melayani mandornya ini ". Hartini terdiam, Nafisah tersadar lalu membukakan matanya. Dia tidak lagi melihat perlakuan bejat yang dilakukan oleh mandor Sarmin dan Hartini. Dia hanya melihat mandor Sarmin dan Hartini berdiri dalam jarak yang begitu dekat.

" Apa kau mengerti dengan apa yang saya perintahkan ", kata mandor Sarmin, ketika dia melihat Hartini terdiam. Ada rasa cemburu diahati Hartini, akan tetapi rasa cemburu itu tidak dilihatkannya dimata mandor Sarmin.

" Mengerti mandor ", dengan berat hati Hartini akhirnya menjawab juga. Matanya memandang tajam kearah Nafisah. Cahaya kecemburuan yang terpancar dari sorot pandang mata Hartini dapat ditangkap Nafisah. Sementara Nafisah sedikitpun tidak punya niat untuk menjalin hubungan dengan mandor Sarmin. Akankah Hartini tahu perasaan ini?, bathin Nafisah didalam hatinya.

Hartini meninggalkan mandor Sarmin dan Nafisah. Sang mandor mengeluarkan dompetnya lalu memilih milih uang yang ada didalam dompet itu, lalu mengeluarkan uang pecahan lima ribu dan diberikannya kepada Hartini.

" Nih, ambil untuk mu". Dengan cepat hartini mengambil uang itu lalu menyelipkannya kedalam be ha nya.

Nafisah masih berdiri dihadapan mandor Sarmin, dia tidak berani beranjak dari tempat itu sebelum ada perintah dari sang mandor. Sementara Hartini berjalan dengan lenggang lenggok yang dibuat buat meninggalkan mandor Sarmin dan Nafisah.

" Mulai besok kamu mendapat tambahan pekerjaan ", mandor Sarmin tidak meneruskan kata katanya, dipandanginya Nafisah dari sudut matanya. Sedangkan Nafisah menduga duga pekerjaan tambahan apa yang akan diberikan sang mandor kepadanya.

" Apa kamu tahu pekerjaan tambahan yang akan saya berikan kepadamu?", tatapan mandor Sarmin lekat diwajahnya.

" Tidak tahu mandor ", jawab Nafisah, wajahnya menunduk, sinar mata hari mulai meninggi.

" Kamu harus siap untuk melayani saya, kapan saya mau. Sudah pergi sana, kembali kerjakan pekerjaanmu ". Hardik mandor Sarmin.

Nafisah merasa sempoyongan, jantungnya terasa copot dari gantungannya. Matanya berbinar binar, apa yang ditakutkannya selama ini setelah suaminya meninggal akhirnya datang juga. Haruskah aku mengalah dengan keadaan. Tidak, aku harus tegar, katanya dalam hatinya.

" Gusti Allah kuatkan hati hambamu ini dalam menghadapi semua cobaan ", guman Nafisah seakan berbisik.

Memang sudah menjadi sipat manusia, ketika didalam menghadapi kesulitan, tempat pengaduannya terakhirnya adalah Tuhan. Tapi ketika manusia dalam kegembiraan, baginya Tuhan nyaris tidak ada. Perbuatan perbuatan yang mendatangkan dosa yang dilarang oleh Tuhan, tetap mereka lakukan, karena manusia menganggap Tuhan hanya tempat pengaduan dikala manusia mengalami kesulitan, setelah itu Tuhan mereka lupakan.

Nafisah melangkahkan kakinya kearah yang ditunjuk oleh mandor Sarmin. Melintasi Hartini dan Parni, keduanya berbesik. Nafisah hanya melirik kearah keduanya. Pandangan mata Hartini dan Parni mengikuti langkah kaki Nafisah.

Mulut mandor Sarmin dengan rokok cerutu yang berharga murah mengepulkan asap keudara. Sesekali terdengar suara batuk menyeringai akibat tertelan asap yang berasal dari rokok cerutu berharga murah. Langkahnya mondar mandir mengawasi para kuli. Sesekali terlihat dia mengangkat topi yang terbuat dari bambu kemudian mengipas ngipaskannya kearah wajahnya.

Dan sesekali pula terlihat mandor Sarmin mencolek buah dada para kuli wanita yang berpapasan dengannya. Para kuli wanita yang mendapat colekan dari mandor Sarmin, ada yang tertawa tawa dengan genitnya. Ada pula yang memegang tangan mandor Sarmin lalu meletakkan pada buah dadanya berlama lama, sambil tertawa cekikikan.

Semua yang dilakukan oleh mandor Sarmin kepada para kuli wanita dipembibitan itu tidak terlepas dari pandangan mata Nafisah yang membuat dia merasa jijik dengan kelakuan mandor Sarmin dan para kuli wanita itu.

***

Kehidupan diperkebunan penuh dengan problema dan liku liku, bagaikan jalan yang tidak berujung, berbelok kekiri dan kekanan, menanjak dan menurun, tapi ada kalanya jalan itu lurus memanjang. Layaknya seperti itulah kehidupan yang harus dijalani oleh kuli diperkebunan.

Kemerdekaan yang telah dimiliki oleh bangsa ini, ternyata belum mampu merobah sistim dan peraturan yang ditinggalkan oleh colonial diperkebunan beberapa abad yang lalu. Peraturan ala colonial yang pernah tumbuh subur diperkebunan pada masa masa penjajahan Belanda masih dilakoni oleh para petinggi dan mandor mandor diperkebunan. Para petinggi dan mandor mandor perkebunan memegang penuh kekuasaan pada kuli kuli yang ada diperkebunan. (Bersambung....)

Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)

Asahan, Agustus 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun