UU No. 24 Tahun 2009 melarang pelecehan bendera negara, dengan ancaman pidana hingga satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta. Namun bendera One Piece bukan Merah Putih. Selama tidak menggantikan atau merendahkan bendera negara, dasar hukum untuk menindak menjadi lemah.
Ekspresi simbol fiksi yang dipasang di bawah atau di samping Merah Putih tidak termasuk pelanggaran.Â
Karena itu perlu dijaga  agar tidak terjadi respon represif oleh siapapun, karena respons represif justru berpotensi memperkuat persepsi bahwa kebebasan berekspresi sedang dipersempit, menciptakan preseden yang membatasi ruang demokrasi.
Menempelkan label "makar" atau "gerakan pecah belah" pada fenomena ini berisiko mempolarisasi publik. Komunitas penggemar menegaskan bahwa aksi ini adalah protes damai. Jika pemerintah memandangnya sebagai ancaman keamanan, risiko stigmatisasi terhadap generasi muda dan komunitas kreatif akan semakin besar.
Â
Momentum Reformasi, Bukan Represi
Fenomena ini adalah lampu kuning bagi pemerintah. Ada tiga langkah strategis yang lebih konstruktif:
1. Dialog Simbolik -- Membuka forum publik untuk memahami makna di balik simbol ini, melibatkan akademisi, komunitas penggemar, dan aktivis sipil.
2. Pembedaan Simbol dan Pelecehan -- Menegaskan bahwa hukum berlaku untuk pelecehan Merah Putih, bukan kritik simbolis yang sah.
3. Reformasi Kebijakan -- Menunjukkan komitmen nyata memberantas korupsi, memperbaiki birokrasi, dan mengembalikan keadilan sosial.
Â
Penutup
Bendera One Piece yang berkibar di bulan kemerdekaan bukan sekadar aksi iseng generasi muda. Ia adalah barometer kepercayaan publik terhadap negara. Dari sisi budaya, ini adalah protes kreatif; dari sisi politik, ini peringatan bahwa ruang aspirasi konvensional semakin menyempit.
Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan: melihatnya sebagai ancaman atau menjadikannya panggilan reformasi.Â