Mohon tunggu...
Wisnu Darjono
Wisnu Darjono Mohon Tunggu... Presiden CSAS Indonesia ; Pembina Yayasan Dirgantara ; Dosen PPI Curug ; Pengamat Penerbangan, Masalah Sosial dan Kebijakan Publik

Hobi membaca dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Penerbangan, masalah sosial maupun Kebijakan Publik, diskusi dan bertukar pikiran

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Undang-undang Pengelolaan Ruang Udara Untuk Kedaulatan Bangsa

26 Juli 2025   15:30 Diperbarui: 26 Juli 2025   14:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah delapan dekade Indonesia merdeka, tetapi kita belum memiliki satu pun undang-undang khusus yang secara utuh mengatur ruang udara nasional.
Padahal langit Indonesia bukan ruang hampa: ia adalah aset strategis dengan nilai ekonomi, geopolitik, dan pertahanan yang sangat vital. 

Sayangnya, ketiadaan payung hukum tunggal membuat tata kelola ruang udara Indonesia kerap gamang---diwarnai tumpang tindih, kekosongan otoritas, dan potensi pelanggaran berulang.

Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU PRUN) yang sejak 2003 digagas Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (kini BRIN), semestinya sudah menjadi tameng hukum sekaligus kompas kebijakan.
Namun hingga pertengahan 2025, RUU ini masih berstatus draf, tertahan oleh birokrasi dan minimnya kesadaran politik tentang pentingnya kedaulatan di udara.

 

Kekosongan Hukum di Langit Kita

Saat ini, aspek pengelolaan ruang udara tersebar di berbagai peraturan seperti UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara. Tapi tak satu pun yang mengatur ruang udara secara terintegrasi---baik dari sisi batas vertikal, perizinan berbasis risiko, pengawasan teknologi baru, hingga mekanisme sanksi dan penegakan hukum.

Dampaknya nyata. Pada 2018 tercatat 163 pelanggaran ruang udara. Dalam kurun Januari--Agustus 2020, hampir 800 pelanggaran FIR (Flight Information Region) terjadi. Ini bukan hanya soal pelanggaran teknis, tapi juga celah kedaulatan yang bisa dimanfaatkan oleh aktor sipil maupun militer asing.

 
Antara Transit dan Kedaulatan Strategis

RUU PRUN bukan sekadar perangkat administratif. Ia adalah pernyataan politik tentang siapa yang benar-benar berdaulat atas langit Nusantara. 

Di tengah kompleksitas geografi Indonesia, ruang udara bukan sekadar jalur pesawat---tetapi lapisan wilayah strategis yang menyimpan kepentingan pertahanan, ekonomi penerbangan, komunikasi satelit, hingga wisata suborbital dan komersialisasi drone.

RUU ini mencakup sejumlah terobosan penting:
*Penegasan batas horizontal dan vertikal ruang udara,
*Izin operasi berbasis risiko (mengadopsi praktik dari AS, Inggris, dan Jepang),
*Sanksi tegas hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar,
*Pengawasan oleh otoritas gabungan: TNI AU, ASN teknis, dan Polri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun