Di tengah obsesi masyarakat terhadap sekolah favorit dan pondok ternama, muncul sebuah mitos yang makin mengakar: bahwa begitu anak masuk sekolah unggulan, maka tugas mendidik sudah tuntas. Orang tua tinggal "menyerahkan" dan menunggu hasilnya.Â
Padahal, pendidikan bukan proses outsourcing. Ini adalah proyek kolaboratif antara rumah, sekolah, dan lingkungan.
Sekolah Bukan Satu-satunya Lokomotif
Sekolah dan pondok hanyalah salah satu bagian dari ekosistem pendidikan anak. Data dari Kementerian Pendidikan (2023) menyebutkan, anak hanya menghabiskan sekitar 6 jam sehari di sekolah---alias tak sampai 30% dari waktu aktifnya. Sisanya? Mereka berada di rumah, di lingkungan, dan---yang paling krusial---di dunia digital.Â
Artinya, jika keluarga dan lingkungan tidak selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maka pendidikan akan timpang.
Misalnya, seorang anak diajarkan adab, etika, dan tanggung jawab di sekolah. Tapi jika di rumah ia melihat kekerasan verbal atau kebiasaan menyontek saat ujian, nilai-nilai tersebut akan luntur. Sekolah bisa menyemai benih, tapi tanahnya tetap milik rumah dan masyarakat.
Orang Tua: Pendidik Pertama dan Utama
Tidak ada guru sehebat ayah dan ibu yang penuh keteladanan. Nilai-nilai seperti kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, dan empati tidak bisa hanya diajarkan lewat kurikulum. Ia ditularkan---melalui perilaku nyata yang konsisten dari orang tua.
Sayangnya, banyak orang tua yang terlalu sibuk atau merasa peran mendidik sudah cukup dengan membayar uang sekolah mahal. Bahkan, ada yang dengan bangga mengatakan, "Anak saya saya titipkan ke pondok terbaik." Padahal, tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang dan bimbingan langsung dari orang tua.
Lingkungan Sosial: Guru yang Tak Pernah Libur
Anak belajar bukan hanya di kelas, tetapi juga dari teman sebaya, konten media sosial, dan lingkungan sekitar. Bila sekolah mengajarkan toleransi, tapi lingkungan mengajarkan permusuhan; bila pondok mengajarkan kesederhanaan, tapi rumah memamerkan kemewahan---maka anak akan mengalami disonansi nilai.
Studi UNICEF 2024 menegaskan, karakter anak lebih dibentuk oleh ekosistem sosialnya daripada materi ajar semata. Kita harus jujur mengakui: lingkungan yang toksik akan selalu lebih cepat merusak daripada guru terbaik yang mencoba memperbaiki.
Pendidikan Bukan Sekadar Bangku, Tapi Juga Kehidupan
Fakta lain yang tak kalah penting: sekolah atau pondok ternama bukan jaminan anak sukses secara moral maupun sosial. Banyak kasus anak dari sekolah elite yang justru terjerat narkoba, bullying, hingga gangguan kesehatan mental karena tekanan dan ketidaksiapan menghadapi dunia nyata.
Studi dari Harvard (2022) menunjukkan bahwa kesuksesan hidup lebih banyak ditentukan oleh "grit" (ketekunan), kecerdasan emosional, dan kemampuan beradaptasi---bukan sekadar nilai akademik atau label institusi.
Membangun Segitiga Pendidikan: Rumah, Sekolah, Masyarakat
Idealnya, pendidikan berlangsung dalam sinergi antara tiga pilar:
1. Keluarga -- membentuk karakter dan nilai.
2. Sekolah -- memberikan struktur pengetahuan dan keterampilan.
3. Masyarakat -- menyediakan arena aktualisasi dan pembentukan sikap sosial.
Jika satu pilar ini lemah, maka seluruh proses pendidikan akan pincang. Kita tidak bisa berharap pada sekolah saja untuk mencetak generasi emas 2045, sementara rumah tangga abai dan masyarakat permisif.
Solusi: Kolaborasi Nyata, Bukan Saling Lempar Tanggung Jawab
*Orang tua perlu terlibat aktif, berdialog dengan anak, mengenal teman-temannya, mengawasi konten digital yang dikonsumsi.
*Sekolah harus terbuka terhadap komunikasi dua arah dengan wali murid, bukan hanya dalam bentuk rapor atau pengaduan.
*Masyarakat perlu menjadi ruang belajar yang aman, dari masjid dan taman bacaan hingga platform digital.
Pendidikan adalah kerja kolektif. Bukan sekadar membayar SPP atau mengandalkan guru. Ia adalah tanggung jawab yang hidup, terus menerus, dan melibatkan hati, telinga, dan waktu.
Penutup: Generasi Emas Dimulai dari Rumah
Jika bangsa ini serius ingin mencetak generasi emas 2045---bukan hanya cerdas otak, tapi tangguh akhlak---maka pendidikan harus dimulai dari tempat paling sederhana: meja makan, ruang keluarga, dan pelukan orang tua.Â
Sekolah dan pondok terbaik hanyalah pelengkap, bukan pengganti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI