Mohon tunggu...
Wisnu Darjono
Wisnu Darjono Mohon Tunggu... Presiden CSAS Indonesia ; Pembina Yayasan Dirgantara ; Dosen PPI Curug ; Pengamat Penerbangan, Masalah Sosial dan Kebijakan Publik

Hobi membaca dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Penerbangan, masalah sosial maupun Kebijakan Publik, diskusi dan bertukar pikiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Unggulan Tak Cukup, Karena Mendidik Anak Butuh Kolaborasi

24 Juli 2025   09:59 Diperbarui: 24 Juli 2025   10:15 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Studi UNICEF 2024 menegaskan, karakter anak lebih dibentuk oleh ekosistem sosialnya daripada materi ajar semata. Kita harus jujur mengakui: lingkungan yang toksik akan selalu lebih cepat merusak daripada guru terbaik yang mencoba memperbaiki.

Pendidikan Bukan Sekadar Bangku, Tapi Juga Kehidupan

Fakta lain yang tak kalah penting: sekolah atau pondok ternama bukan jaminan anak sukses secara moral maupun sosial. Banyak kasus anak dari sekolah elite yang justru terjerat narkoba, bullying, hingga gangguan kesehatan mental karena tekanan dan ketidaksiapan menghadapi dunia nyata.

Studi dari Harvard (2022) menunjukkan bahwa kesuksesan hidup lebih banyak ditentukan oleh "grit" (ketekunan), kecerdasan emosional, dan kemampuan beradaptasi---bukan sekadar nilai akademik atau label institusi.

Membangun Segitiga Pendidikan: Rumah, Sekolah, Masyarakat

Idealnya, pendidikan berlangsung dalam sinergi antara tiga pilar:
1. Keluarga -- membentuk karakter dan nilai.
2. Sekolah -- memberikan struktur pengetahuan dan keterampilan.
3. Masyarakat -- menyediakan arena aktualisasi dan pembentukan sikap sosial.

Jika satu pilar ini lemah, maka seluruh proses pendidikan akan pincang. Kita tidak bisa berharap pada sekolah saja untuk mencetak generasi emas 2045, sementara rumah tangga abai dan masyarakat permisif.

Solusi: Kolaborasi Nyata, Bukan Saling Lempar Tanggung Jawab
*Orang tua perlu terlibat aktif, berdialog dengan anak, mengenal teman-temannya, mengawasi konten digital yang dikonsumsi.
*Sekolah harus terbuka terhadap komunikasi dua arah dengan wali murid, bukan hanya dalam bentuk rapor atau pengaduan.
*Masyarakat perlu menjadi ruang belajar yang aman, dari masjid dan taman bacaan hingga platform digital.

Pendidikan adalah kerja kolektif. Bukan sekadar membayar SPP atau mengandalkan guru. Ia adalah tanggung jawab yang hidup, terus menerus, dan melibatkan hati, telinga, dan waktu.

Penutup: Generasi Emas Dimulai dari Rumah

Jika bangsa ini serius ingin mencetak generasi emas 2045---bukan hanya cerdas otak, tapi tangguh akhlak---maka pendidikan harus dimulai dari tempat paling sederhana: meja makan, ruang keluarga, dan pelukan orang tua. 

Sekolah dan pondok terbaik hanyalah pelengkap, bukan pengganti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun