Di tengah hiruk-pikuk ambisi mengejar Indonesia Emas 2045, bangsa ini seperti melupakan satu hal mendasar: kualitas kepemimpinan yang jujur, adil, dan berintegritas.Â
Kita bicara tentang bonus demografi, ekonomi digital, pembangunan infrastruktur, dan reformasi kelembagaan. Namun, semua itu hanyalah jargon tanpa makna jika tak ditopang oleh pemimpin yang menjadikan etika dan tanggung jawab sebagai pijakan utama.
Dalam khazanah Islam, Imam Asy-Syafi'i---ulama besar pendiri mazhab Syafi'i---meninggalkan nasihat yang tak lekang oleh zaman tentang lima pilar kepemimpinan sejati:
1.Perkataan yang benar
2.Menyimpan rahasia
3.Menepati janji
4.Memberi nasihat
5.Menunaikan amanah
Kelima pilar itu bukan sekadar petuah moral, melainkan fondasi kepemimpinan berkelanjutan yang sangat relevan bagi Indonesia hari ini---dan ke depan.
Kepemimpinan Berbasis Nilai: Modal Dasar Menuju 2045
Menjadi negara maju di tahun 2045 bukan semata soal angka pertumbuhan ekonomi atau teknologi canggih. Pembangunan manusia unggul tidak cukup dengan sekolah bagus dan internet cepat, melainkan dengan hadirnya pemimpin yang bisa dipercaya ucapannya, konsisten janjinya, dan adil dalam mengelola amanah rakyat.
"Perkataan yang benar" hari ini terlalu langka di ruang publik. Rakyat mendambakan pemimpin yang ucapannya tidak berubah-ubah tergantung angin survei. Menepati janji bukan lagi soal etika, tapi soal legitimasi.Â
Ketika janji tinggal narasi kampanye dan amanah berubah jadi komoditas politik, maka perjalanan menuju Indonesia Emas akan penuh kerikil pengkhianatan.
Menjaga Rahasia vs Transparansi: Bagaimana Menyeimbangkannya?
Poin menarik dalam nasihat Imam Syafi'i adalah "menyimpan rahasia".Â
Di era digital yang menuntut keterbukaan dan akuntabilitas, pilar ini seolah bertentangan dengan prinsip transparansi. Namun, sesungguhnya tidak.Â
Yang dimaksud menjaga rahasia adalah tidak menyalahgunakan informasi strategis demi kepentingan pribadi atau golongan.