Sampai pertengahan 2025, korupsi di Indonesia masih menunjukkan pola yang mengakar dan terorganisir.Â
Dari tata kelola energi hingga pengadaan pendidikan, praktik kecurangan berlangsung lintas sektor. Sistem pengawasan dan transparansi publik belum cukup kuat untuk membendung korupsi berskala besar.
Setidaknya 13 kasus utama telah terbongkar sepanjang tahun ini, melibatkan 55 tersangka, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp399 triliun. Pertanyaannya: apa yang sebenarnya salah dengan negeri ini?
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
--- Lord Acton
Kutipan klasik ini tetap relevan. Namun, jika kita hanya menyalahkan kekuasaan sebagai biang kerok, kita melewatkan akar persoalan: sistem yang membentuk, membiarkan, bahkan membiakkan korupsi.
Di Indonesia, banyak tokoh idealis dan profesional bersih berubah wajah setelah masuk ke pusaran kekuasaan. Bukan semata karena lemah iman, tetapi karena sistem yang mereka masuki dirancang untuk menekan integritas dan menggoda kompromi.
Korupsi Sebagai Produk Sistem
Daniel Kaufmann dari World Bank menyebut korupsi sebagai hasil dari lemahnya pengawasan, insentif negatif, dan minimnya transparansi. Ketika kekuasaan dijalankan tanpa akuntabilitas, siapa pun---dari aktivis hingga teknokrat---bisa ikut tenggelam.
Contohnya adalah revisi UU KPK pada 2019. Lewat UU No. 19/2019, status pegawai KPK diubah menjadi ASN, sementara Dewan Pengawas diberi kewenangan membatasi penyidikan. Hasilnya, efektivitas KPK menurun drastis (ICW, 2020). Lima tahun terakhir, nyaris tak ada kasus besar yang benar-benar dibongkar tuntas.
Institusi yang Ekstraktif
Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail menekankan bahwa negara akan gagal jika institusinya bersifat ekstraktif---menguntungkan elite, bukan rakyat.Â
UU Cipta Kerja adalah contoh nyata. Disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai, UU ini justru memperlonggar perlindungan tenaga kerja dan lingkungan. ILO (2021) menilai regulasi ini berisiko menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan pekerja.