Di sekolah, siswa sibuk menghafal, bukan menganalisis. Di masyarakat, suara berbeda dianggap gangguan, bukan bahan diskusi. Di dunia maya, algoritma lebih senang mempertemukan orang dengan opini serupa, agar mereka betah --- bukan dengan argumen yang menantang agar mereka berpikir.
Dari Skeptis ke Apatis, dari Apatis ke Manipulatif
Lebih buruk dari hilangnya daya nalar adalah munculnya perasaan tidak peduli. "Ah, semua berita bohong." "Yang penting saya dapat cuan." "Terserah mau dibohongi siapa, yang penting hidup saya aman." Inilah titik paling rapuh dalam keberadaban: saat manusia tak lagi peduli pada kebenaran.
Ketika itu terjadi, ruang kosong ini segera diisi oleh para pemain narasi. Mereka yang ingin memutarbalikkan kenyataan demi kekuasaan, bisnis, atau ideologi. Maka muncullah propaganda yang dibungkus nasionalisme semu. Disinformasi yang memakai baju agama. Hoax yang dibalut dengan "data-data" fiktif.
Kebohongan tak lagi disebarkan oleh orang bodoh, tapi oleh orang pintar yang tahu persis bagaimana cara membuat orang percaya.
Kita Tidak Kehilangan Teknologi, Kita Kehilangan Daya Nalar
Yang mengkhawatirkan bukan hanya hoax yang bertebaran, tetapi hilangnya kemampuan untuk mengatakan: "Tunggu dulu, ini masuk akal tidak?" Dalam istilah psikologi sosial, kita sedang mengalami conformity bandwagon --- ikut-ikutan tanpa berpikir --- dan contra-normativity, ketika berpikir kritis dianggap mengganggu harmoni.
Bahkan seringkali, justru mereka yang mencoba meluruskan malah dianggap sok pintar, tidak toleran, atau berpihak pada "musuh".Â
Di sinilah manusia modern benar-benar sedang diuji: berani berpikir jernih, atau nyaman dalam ilusi.
Membangun Peradaban Butuh Keberanian Bertanya
Critical thinking bukan hanya untuk akademisi atau ilmuwan. Ia adalah hak setiap manusia yang ingin hidup bebas, merdeka, dan bermartabat.Â
Ia adalah vaksin terhadap manipulasi, penawar terhadap dogma, dan senjata melawan kebohongan.
Bagaimana caranya? Mulailah dengan hal sederhana:
* Bertanyalah dari mana informasi berasal.
* Periksa apakah ada bukti atau hanya asumsi.
* Kenali motif di balik pesan: siapa yang diuntungkan?
* Jangan langsung percaya, tapi juga jangan menutup diri.
Kita tidak bisa mencegah AI berkembang, dan tidak perlu takut padanya.Â