Kita hidup di zaman yang luar biasa canggih. Teknologi informasi menjanjikan kemudahan. Kecerdasan buatan (AI) membantu banyak hal, dari pekerjaan kantor hingga urusan rumah tangga.Â
Media sosial menjembatani kita dengan dunia hanya dalam sekali sentuh. Tapi di balik semua gemerlap ini, ada sesuatu yang diam-diam lenyap: kemampuan untuk berpikir kritis.
Kita lebih cepat membaca, tetapi lebih lambat memahami. Kita lebih sering melihat, tetapi jarang mempertanyakan. Kita lebih banyak membagikan, tapi lupa memverifikasi.Â
Di sinilah letak persoalan besar manusia modern --- kemajuan teknologi informasi tidak selalu dibarengi kemajuan akal sehat.
Di Era AI, Fakta Semakin Mirip Fiksi
Mari kita hadapi kenyataan: dengan satu klik, Anda bisa melihat "video" seorang pemimpin dunia mengumumkan perang, padahal itu hasil rekayasa deepfake. Anda bisa membaca "berita" tentang sebuah bencana besar yang tidak pernah terjadi, karena ditulis oleh mesin pembuat teks otomatis. Gambar, suara, teks --- semua bisa dipalsukan secara meyakinkan.
AI seperti pisau bermata dua. Ia bisa membantu manusia menyelesaikan masalah, tetapi juga bisa menciptakan kekacauan dalam skala besar jika jatuh ke tangan yang salah.Â
Misinformasi yang dulu membutuhkan waktu dan dana besar untuk menyebar, kini bisa dibuat dalam hitungan menit dan menyebar dalam hitungan detik.
Dan yang paling mengkhawatirkan? Banyak orang tidak tahu --- atau tidak peduli --- bagaimana membedakan kenyataan dari kepalsuan.
Hoax Beranak Pinak, Sementara Skeptisisme Mati
Dalam dunia yang dipenuhi suara-suara gaduh, kebenaran sering tenggelam. Fakta bukan lagi soal data, melainkan soal siapa yang paling keras berbicara. Siapa yang lebih dulu membuat tagar trending. Siapa yang punya jutaan pengikut. Siapa yang bisa membuat narasi paling menggetarkan emosi.
Inilah dunia di mana critical thinking --- kemampuan berpikir logis, skeptis namun terbuka, dan didasarkan pada bukti --- tidak lagi diajarkan sebagai keterampilan dasar.Â