Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag.2)

6 April 2016   15:48 Diperbarui: 9 April 2016   21:57 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Waktu itu kami semua dikumpulkan di lapangan Tenis. Oh ya, lahan sekolah SMA 2 memang sangat luas. Cuma lapangan sepakbola yang tidak kami miliki. Selain itu, lapangan Basket, lapangan Voli sampai lapangan Tenis kami punya (Tapi sayangnya sampai tamat SMA kami tak pernah diajari main tenis).

 Di depan Sari, panitia meletakkan beberapa gelas yang disusun dalam jarak tertentu. Lalu seorang abang panitia menutup mata Sari dengan kain dan menyuruhnya melompati gelas-gelas itu tanpa boleh tersentuh apalagi pecah. Tapi ketika mata Sari ditutup, anggota panitia yang lain dengan cepat mengambil lagi gelas-gelas yang disusun tadi.

 Sari yang menyangka masih ada gelas di depannya, meloncat-loncat lucu sekali. Mungkin dia senang karena tidak ada satupun gelas yang tersentuh kakinya, dia pikir dia sukses padahal meloncatnya saja pun sudah tidak di garis lurus. Kami siswa baru yang menontonnya tertawa terbahak-bahak.

 Tapi saya jujur saya ketika Sari meloncat-loncat, fokus saya lebih ke betisnya yang putih mulus ( Haqqul Yaqin, kalau saya bukan satu-satunya )yang bentuknya seperti betis manekin yang dicetak sempurna di atas telapak kakinya yang dibalut Sepatu Jogging Eagle berwarna abu-abu agak coklat seharga 28.000-, anggun sekali. 

Ya tahun awal kami masuk SMA itu memang sedang booming sepatu Eagle. Pada masa itu kami belum kenal Nike, Adidas, Puma dan merk-merk top lainnya. Eagle atau Kasogi udah paling top itu, nggak semua mampu beli. Eagle seharga Rp. 28.000- yang dipakai Sari itu sudah yang paling mantap. Eagle seri lain yang lebih umum harganya hanya Rp. 19.000- tapi itupun tidak banyak yang pakai. Kebanyakan dari kami memakai sepatu merk abal-abal yang harganya di bawah Rp. 8000-.

Selesai meloncat-loncat, “penderitaan” Sari belum selesai. Karena dikatakan ada yang ulang tahun, Sari disuruh meniup lilin. Tapi ketika matanya ditutup lagi-lagi bukan lilin yang disodorkan melainkan tepung. Tak ayal wajah cantik Sari pun putih belepotan tepung. Kami tertawa terbahak-bahak.


 Sehabis acara di lapangan Tenis ini, saya harus mengakui Cut Keumala Sari memang telah benar-benar menjadi pemersatu angkatan kami. Setidaknya para Cowok yang sama-sama bersatu menjadi pengagum rahasia Sari. Saya tahu ada banyak cowok angkatan kami yang menjadikan Cut Keumala Sari sebagai pacar dalam imajinasi. Meski di dunia nyata, jangankan menyatakan Cinta, sekedar menyapa saja sudah gemetaran duluan.

 Saya sendiri baru benar-benar ngobrol dan berbicara dengan Sari pada tahun 1999, 10 tahun setelah momen di lapangan Tenis. Waktu itu, saya diajak oleh Edy Korea,  teman sesama Demonstran 98 alumni SMA 2 pindahan dari Manado yang juga salah satu pengagumnya, mengajak saya berkunjung ke rumah Sari di Lampineung, di belakang Stadion Dimurthala. Saat itu Cut Keumala Sari sudah sarjana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun