Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag.2)

6 April 2016   15:48 Diperbarui: 9 April 2016   21:57 1124 4
Hal lain yang berbeda antara di Takengen dan di Banda Aceh adalah soal gelar turunan. Di Takengen yang mayoritas Gayo, tidak ada yang namanya gelar sebagai penanda keturunan. Gayo adalah salah satu suku paling egaliter di nusantara. Di Gayo, semua orang sama saja. Tidak ada orang yang jadi terlihat “lebih keren” karena ada gelar tambahan yang diperoleh turun temurun diletakkan di depan nama.

 Tapi di Banda Aceh tidak begitu, orang Aceh punya gelar kebangsawanan. “Teuku” untuk laki-laki dan “Cut” untuk perempuan. Dan sepertinya bukan kebetulan kalau orang-orang yang menyandang nama itu rata-rata penampilan fisiknya lebih menarik jika dibandingkan secara rata-rata dengan orang biasa tanpa gelar. Atau kalaupun sebenarnya tidak persepsi orang yang seperti itu.

 Waktu di Takengen, meski di SD saya punya teman dengan gelar “Cut” , Cut Sri Hayatun tepatnya. Saya tidak merasakan itu sebagai sesuatu yang istimewa, karena memang teman-teman dan masyarakat di sekeliling saya pun tidak ada yang paham kalau nama “Cut” itu istimewa.

 Tapi di Banda Aceh, orang yang memiliki gelar “Teuku” dan “Cut” meskipun tidak sampai diperlakukan sedemikian hormat seperti penyandang nama “Anak Agung” di Bali, yang sama seperti Teuku dan Cut merupakan nama keturunan bangsawan. Di Banda Aceh, nama “Teuku” dan “Cut” masih dipandang oleh masyarakat sebagai sebuah prestise. Masyarakat memiliki tuntutan tertentu terhadap para penyandang nama ini. Misalnya kalau ada seseorang memiliki nama “Cut” tapi bersikap pecicilan, orang akan mengatakan “Nama ‘Cut’ tapi kelakuan kok kek gitu, macam nggak pernah diajari”. Saya yang baru datang dari Takengen saja bisa merasakan itu. Dan ini saya sadari ketika saya sudah tinggal di Banda Aceh.

 Pada hari-hari pertama sekolah, tentu saja kami tidak langsung belajar. Ada acara perkenalan dulu semacam Ospek. Tapi tidak seperti  Ospek kuliahan yang anak baru dikerjai. Di sini acara orientasi ini benar-benar perkenalan yang acaranya lebih banyak ‘fun’.

 Acara perkenalan ini dipusatkan di aula, dipandu oleh Bang Udin, alumni angkatan 88 yang saat itu sudah menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Unsyiah.  Bang Udin yang bergaya kemayu ini sengaja diundang oleh Pak Ismail, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk membangkitkan rasa bangga kami terhadap sekolah.  

 Selama ini serunya acara seperti ini hanya pernah saya baca di majalah HAI, tapi belum pernah benar-benar mengalaminya. Di Takengen, di SMA 1 yang saya juga mendaftarkan diri, saya yakin tidak ada acara seperti ini. Saya senang sekali.

 Di dalam acara di aula itu juga dibuat acara perkenalan. Namanya panitia mayoritas laki-laki, yang diincar pasti cewek-cewek adik baru yang masih segar.

 Ketika para abang-abang dan kakak-kakak senior ingin mengenal kami, tentu saja tidak mungkin untuk kami semua dari sembilan kelas memperkenalkan diri satu persatu. Jadi Bang Udin dan abang kakak OSIS memilih beberapa orang saja. Dalam moment seperti inilah keistimewaan nama “Cut” begitu kentara. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun