Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Tempat Tinggal Sejati

20 Februari 2024   05:04 Diperbarui: 20 Februari 2024   05:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tempat tinggal (pexels.com/Adrien Olichon)

Semakin bertambah usia seseorang akan belajar bahwa dunia ini bukan tempat tinggal sejati, dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Siapa yang nggak tau konsep ini? Dari umur 10 tahun pun konsep ini sudah diajarkan dengan bahasa paling simple, tapi apa yang bisa dipahami anak usia 10 tahun dari tempat tinggal sejati?

10 tahun sudah aku bekerja di rumah sakit ini sebagai tukang sapu yang punya akses paling bebas untuk keluar masuk setiap ruangan. Banyak yang menyayangkan kenapa harus pekerjaan ini, ada banyak pekerjaan lain yang lebih nyaman dan tentunya lebih ringan. Pastinya ada alasan untuk segala sesuatu, tapi aku nggak punya alasan untuk menjelaskan kenapa harus pekerjaan ini. 

Setiap kali pertanyaan, saran dan perspektif tentang pekerjaan ini muncul, muncul juga pertanyaan di pikiranku, 'memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu?'. Sejauh yang aku tau, pekerjaan ini nggak merugikan siapapun, termasuk orang-orang yang sering ikut campur dengan kedok 'saran', 'perhatian' dan embel-embel lainnya. 

10 tahun aku bekerja di rumah sakit ini, sudah berkali-kali kusaksikan bagaimana dunia seseorang bisa hancur hanya dengan satu kabar. Tak peduli setinggi apa kedudukannya, seterkenal apa dia di luar rumah sakit, sebanyak apa saudara dan kekayaanya atau sesepi apa hidupnya, semua akan selesai.

Sudah berkali-kali juga aku menyaksikan bagaimana seseorang berjuang sangat keras untuk bertahan hidup. Hidup yang kelihatannya biasa-biasa aja, lempeng-lempeng aja, nggak ada perubahan, ngga ada kepastian, ngga ada kesunyian,  apapun itu namanya, semua itu tetaplah hidup.  

Hidup dengan segala ceritanya, dukanya, kasihnya, kisahnya semuanya adalah hidup. Semuanya sangat berarti. Sialnya, banyak orang yang nggak menyadari itu. Setelah mereka terdampar di salah satu ruang rumah sakit ini, terpasung jarum dan peralatan medis lainnya, barulah semuanya terasa berharga. 

Aku menyaksikan semuanya. Setiap ruang rumah sakit selalu punya cerita.  Dan aku menukar semua yang aku punya untuk posisi ini. Semua yang dikatakan orang-orang bahwa aku bisa lebih dari sekedar tukang sapu, bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik, lebih ringan dan lebih terpandang. Aku menukar semuanya untuk semua hal mahal yang bisa aku pelajari dari bagaimana seseorang harus bertahan hidup, menghargai hidup, memaknai hidup dan menjalani hidup ini.

Tidak peduli siapa yang berkomentar, bagaimana komentarnya dan bagaimana pandangan soal pekerjaan ini, aku akan tetap di sini,  mengabdikan diri untuk tempat terakhir bagi setiap orang yang sedang berjuang di titik akhirnya. 

"Tempat ini terlalu berharga untuk dilepaskan hanya karena jabatan dan uang. Sekali saja aku melangkah ke arah materi, maka selamanya aku akan tersesat. Lupa bahwa aku juga akan berakhir. Aku nggak mau hidup seperti itu." Itulah jawaban yang kuberikan ke kakak keduaku yang seorang arsitek.

Ia berusaha sangat keras membujukku keluar dari rumah sakit. Ia jauh-jauh datang ke ruang istirahatku dan mengajakku bicara soal ini. Ia juga mengiming-imingiku banyak pekerjaan mapan dengan gaji yang cukup untuk hidup berkeluarga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun