Misteri Isi Surat Itu (Bagian 2)Â
Jantungku berdegup kencang saat kembali menatap surat di tanganku. Ada sesuatu yang mengganjal, sebuah kejanggalan kecil yang baru kusadari setelah air mata membasahi pipiku. Tulisan tangan ini... memang sangat mirip dengan tulisanmu. Lekukan hurufnya, cara kamu menyambung setiap kata, bahkan tekanan penamu di atas kertas. Semuanya terasa familiar, sudah bertahun-tahun aku mengenalnya.
Namun, ada satu detail kecil yang terasa asing. Di beberapa huruf tertentu, terutama huruf 'a' dan 'g', ada sedikit perbedaan. Bentuknya nyaris sama, tetapi ada tarikan garis yang sedikit berbeda, lebih tegas dan terburu-buru dari biasanya. Aku mengingat-ingat tulisanmu selama ini. Kamu selalu menulis dengan tenang dan rapi, bahkan cenderung sedikit melengkung dan lembut.
Kerutan di dahiku semakin dalam. Perasaan aneh mulai menyelimuti benakku. Mungkinkah aku salah mengenali tulisan ini? Tidak mungkin, pikirku. Aku sudah terlalu lama bersamamu, terlalu sering melihat dan membaca tulisan tanganmu. Aku yakin ini tulisanmu. Tapi... perbedaan kecil itu terus mengusikku.
Aku kembali meneliti amplopnya. Putih polos, tanpa ada ciri khas apapun. Tidak ada perangko khusus, tidak ada alamat pengirim lain.
 Amplop ini pasti ada di kamar ini, entah sudah berapa lama.
Mataku kembali tertuju pada surat itu. Aku membaca ulang setiap kalimat dengan lebih seksama, mencari petunjuk lain. Isi surat itu begitu menyayat hati, penuh penyesalan dan rasa bersalah. Jika memang kamu yang menulisnya, mengapa ada keraguan sekecil ini di benakku tentang keaslian tulisannya?
Sebuah ide tiba-tiba melintas di benakku.Â
Aku ingat, beberapa waktu lalu, kamu pernah bercerita tentang seorang teman lama yang kembali menghubungimu. Teman masa kecilmu, yang juga memiliki tulisan tangan yang sangat mirip denganmu. Kalian bahkan sering tertukar catatan saat sekolah dulu. Kamu menceritakannya sambil tertawa, mengenang masa-masa itu.
Mungkinkah...?
Perasaan dingin kembali menjalar di sekujur tubuhku, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kecurigaan yang mulai tumbuh. Jika surat ini bukan darimu, lalu dari siapa? Dan mengapa ada di kamarmu? Isi surat itu begitu personal, menceritakan tentang masa lalu yang kelam. Mungkinkah temanmu itu tahu tentang masa lalumu? Atau... mungkinkah kamu menyuruhnya menulis surat ini?
Otakku terasa penuh dengan pertanyaan yang saling bertabrakan. Mengapa kamu melakukan ini? Apakah semua sikap dinginmu selama ini hanyalah sandiwara?
 Sebuah cara untuk menjauhiku dengan alasan yang dibuat-buat?
Aku berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perasaan iba yang sempat muncul perlahan terkikis, digantikan oleh rasa bingung dan sedikit marah. Aku merasa dipermainkan. Jika memang ada rahasia kelam di masa lalumu, mengapa tidak menceritakannya sendiri? Mengapa harus melalui surat yang bahkan keaslian tulisannya membuatku ragu?
Aku kembali menatap wajahmu yang tertidur. Tampak begitu tenang, tanpa beban. Tapi di dalam hatiku, badai kecurigaan semakin mengamuk. Misteri tulisan tangan di kertas ini telah membuka babak baru dalam kebekuan hati kita. Bukan hanya kebekuan karena sikap dingin, tapi juga kebekuan karena ketidakpercayaan yang mulai merayap. Aku harus mencari tahu kebenaran di balik surat ini. Aku harus tahu, siapa sebenarnya yang menulisnya, dan mengapa? (bersambung)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI