Sulit menyalahkan antusias masyarakat atas sinetron "Ikatan Cinta" yang tayang setiap hari di RCTI.
Cerita yang dibawakan Ikatan Cinta dianggap sukses memunculkan ikatan emosional dari penonton setianya.
Semakin menarik melihat penggemar Ikatan Cinta mengekspresikan emosinya ketika menonton episode terbaru yang momennya ditangkap dan disebarkan ke media sosial. Momen -- momen yang ada lalu menimbulkan reaksi, mulai dari apresiasi hingga hujatan atau lebih tepatnya ejekan bagi penonton Ikatan Cinta.
Sinetron memang sering dikritik sebagai hiburan yang rendah. Peningkatan kuantitas siaran sinetron tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas cerita yang dianggap bermutu rendah dibandingkan dengan mayoritas tayangan serial luar negeri.
Sinetron dianggap sebagai jalan pintas bagi televisi lokal Indonesia dan pelaku industri sinetron yang berkecimpung didalamnya untuk meraih cuan dengan judul -- judul yang terbaru sulit dibandingkan kualitasnya dengan sinetron di dekade 90 hingga awal 2000an. Televisi sebaliknya menunjuk balik bahwa sebagian besar pemirsanya memang menikmati konten sedemikian rupa dengan sponsor ikut mendorong produksi tersebut.
Baca juga: "Anak 90-an Yuk Kita Nostalgia! 10 Sinetron Indonesia Lawas yang Bikin Rindu" oleh Elsa Fy
Ketika telunjuk diarahkan kepada pemirsa, munculah kemudian stereotip negatif akan peminat sinetron. Penonton sinetron dianggap kekurangan rasa dan karsa, kurang dalam pemahaman sehingga tetap bertahan menikmati sinetron di tengah bertambahnya ragam tontonan, hingga alasan klise bahwa peminat sinetron adalah masyarakat dengan ekonomi rendah sehingga pilihan hiburannya terbatas.
Adilkah untuk mereduksi penilaian ke-alay-an penonton Ikatan Cinta dan sinetron lainnya? Bagi penulis tentulah tidak berdasarkan dua argumen.