Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan asal-usul terciptanya alam semesta beserta segala isinya yang amat menakjubkan ini. Yang bersifat ilmiah hingga yang beraroma religi dan mitologi pun mewarnai budaya masyarakat dengan cerita mereka masing-masing. Tak terkecuali teori dari Charles Darwin yang intinya mau menekankan bahwa makhluk hidup yang satu berasal dari makhluk hidup sebelumnya. Kekuatan teori Darwin memang akan mudah disanggah oleh filsafat sebab terjadi loncatan yang sebenarnya amat mendasar. Darwin terlalu tergesa-gesa menyimpulkan hingga dia lupa melihat kekuatan yang menciptakan perubahan tersebut. Teori Darwin dan teori-teori lainnya tidak mampu menjelaskan dari mana berasalnya energi yang mampu membuat terciptanya segala sesuatu. Filsafat hadir dengan pemikiran-pemikiran filosofis menyejarah, sejak zaman para filsuf-filsuf awal hingga kini menyajikan pandangan filosofis yang menjelaskan apa yang tidak sempat digapai oleh teori-teori tadi yakni mengenai hakikat dari segala sesuatu.
Tulisan ini hendak mengarahkan pembaca untuk secara singkat melihat dan memahami tahap pemahaman Aristoteles pada konsep metafisikanya hingga tiba pada tesis penggerak abadi sebagai penggerak pertama. Tesis ini akan ditinjau dengan probelmatika sebagai berikut: Apakah yang Dimaksud dengan Penggerak Pertama dan  Bagaimana Tahap Pemikirannya Hingga Tiba Pada Titik Tersebut? Demikianlah bahwa penulis akan memberikan penjelasan mengenai apa itu penggerak abadi dalam konsep metafisika Aristoteles dan berikutnya tahap pemahaman Aristoteles hingga tiba pada titik tersebut. Mari simak berikut:
Aristoteles (384-322)
Nama Aristoteles memang tidak pernah sirna untuk dikenang. Filsuf asal Yunani ini sesungguhnya adalah putra seorang dokter pribadi dari raja Amyntas II, raja Makedonia. Ia lahir pada tahun 384 SM di Stageira, sebuah kota kecil di Yunani. Kemungkinan besar ia besar di Istana Raja Amyntas II, dan besar juga kemungkinan bahwa minatnya terhadap ilmu pengetahuan empiris diwarisi dari sang ayah.Â
Karena termasuk dalam keluarga terdidik, pendidikannya pun diperhatikan dengan baik oleh keluarganya, sehingga pada usia 17 atau 18 tahun, Aristoteles di kirim ke sekolah Akademia Plato. Hingga Plato meninggal, Aristoeteles masih tinggal di situ, sehingga kemungkinan ada 20 tahun, sebab perkiraan tahun meninggalnya Plato terjadi di antara tahun 348/7.Â
Ia termasuk Anggota Akademia yang berprestasi karena sudah mampu menerbitkan beberapa karya meski masih berada di Akademia. Ia juga mendapat kepercayaan mengajarkan logika dan retorika kepada anggota-anggota Akademia yang lebih muda. Aritoteles juga mendirikan suatu sekolah sendiri yang diberi nama Lykeion serta membuat suatu perpustakaan yang mengumpulkan banyak data dan informasi serta karya-karya penting. Sempat menikah dengan Pythias dan memiliki seorang anak perempuan, dan menikah lagi dengan Herypllis dan melahirkan seorang anak laki-laki. Pada usia 63 atau 62 tahun Aristoteles meninggal dunia karena jatuh sakit di tempat pembuangan di Khaliks tempat asal ibunya.[1]
Aristoteles menaruh perhatian pada semua ilmu termasuk fisika, etika, politik dan estetika. Hal ini tentu diakibatkan karena karakternya yang dikenal saat masih di Akademia sebagai pembaca dan pemikir yang serius. Dalam setiap bidang, ia berusaha menjelaskan penyebab-penyebab terakhir atau prinsip-prinsip yang mendasari setiap realitas partikular yang diamatinya.Â
Dalam fisika misalnya ia bertanya apa yang menyebabkan sesuatu bergerak? Atau dalam etika misalnya ia bertanya tentang apa yang menyebabkan sesuatu disebut baik? Aristoteles menegaskan bahwa setiap cabang ilmu sejatinya punya objek material yang berbeda-beda, begitu juga dengan objek formalnya. Dari sini ia tiba pada argumen bahwa semakin suatu ilmu tidak tergantung pada ilmu-ilmu yang lain maka semakin tinggi kedudukan ilmu tersebut. Dan bagi dia ilmu yang kedudukannya paling tinggi ialah ilmu yang bertanya tentang penyebab dari segala sesuatu. Dari sini sebenarnya sudah nampak jalan pikiran sang filsuf yang hendak tiba pada pandangan mengenai penggerak abadi sebagai penggerak pertama.
- Â Substansi
Seperti yang tertera dalam probelmatika, untuk mengerti tahap-tahap menuju penggerak pertama ini maka amat sangat diperlukan sebuah pemahaman tentang substansi karena, pemikiran Aristoteles tentang Substansi menunjukan konteksnya untuk menjelaskan pengetahuan yang paling dasar dari semua realitas. Menurut Aristoteles, cara mengada sesuatu umumnya menunjukan kategori-kategori. Dalam buku Metaphysicsia menyebut delapan kategori yang salah satunya adalah substansi.Â
Menurut dia, semua yang ada harus bertalian dengan satu titik pusat. Memang, terdapat banyak cara untuk menyatakan bahwa suatu bereksistensi, tetapi semua itu baru berarti jika bertalian dengan suatu pengada yang primer. Dengan kata lain, istilah pengada harus punya arti primer, yakni pengada yang secara fundamental menjadi titik tolak untuk setiap percakapan tentang segala sesuatu yang ada. Menurut dia, arti primer tersebut adalah "substansi".Â
Jadi menurut Aristoteles, jika bertanya tentang apa itu pengada, maka saja dengan bertanya tentang apa itu substansi. Sesudah menjelaskan panjang lebar tentang substansi Aristoteles pun menyadari bahwa pada dasarnya hanya ada dua pengertian yang mendasar, yaitu (a) substansi sebagai Subtratum terakhir yang tak pernah dapat dipredikatkan pada sesuatu yang lain dan (b) substansi dalam arti fora atau bentuk. Arti pertama menyatakan "materi" sebagai subyek terakhir yang melandasi semua benda alamiah. Inilah substansi yang dimengerti sebagai "yang berdiri di bawah," (Sub Stare) dan menjadi dasar dari semua jenis aksidens dan predikat. Maka, substansi adalah esensi dari realitas.[2]
- Â Teori Hilemorfisme
Di sinilah menjadi semakin jelas perbedaan antara Aristoteles dan gurunya, Plato. Teorinya mengenai hile morfisme dapat dipandang sebagai salah satu kritik terhadap teori Plato dengan dualisme platnoisnya. Meskipun Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk, namun dia tidak memikirkan dua unsur itu secara terpisah. Materi tidak dapat ditemukan terpisah dari bentuk, ataupun sebaliknya tanpa materi. Dengan kata lain, tidak ada materi tanpa bentuk, dan tidak ada bentuk tanpa materi.Â
Obyek riil dalam alam disebut sebagai substansi selalu merupakan kesatuan materi dan bentuk. Aristoteles mengkritik teori Plato yang memisahkan secara Tajam antara dunia material dan dunia ide atau fora sebagai hakikat khusus. Forma dilihat sebagai realitas yang riil, sedangkan materi hanyalah bayangan dari forma. Jadi segitiga yang memiliki banyak bentuk ukuran, merupakan turunan dari suatu forma "segitiga". Maka dunia indrawi adalah The Many(majemuk), dam formaitu tunggal, The One.Â
Ajaran ini amat ditekankan oleh Plato. Tapi sebaliknya, menurut Aristoteles ajaran Plato tidak banyak manfaatnya. Ia justru menawarkan teori hilemorfesinhya. Ada dua konsep yang tak terpisahkan, berbeda jauh dengan apa yang pikirkan oleh Plato. Teori ini justru berdampak pada penjelesannya tentang perubahan yang selalu mengalami tiga situasi: keadaan dulu, keadaan sekarang dan subtratumatau materi yang tetap menerima bentuk baru.Â
Dalam rangka penjelesan tentang perubahan maka muncul teori empat penyebab oleh Aristoteles.[3] Jadi karena teori seperti ini maka menjadi jelas bahwa Aristoteles menentang teori Plato yang sama sekali tidak membantu kita untuk memahami atau memiliki pengetahuan yang sejati tentang realitas.
- Â Proses Perubahan: Empat "Penyebab"
Jika dilihat sesuai dengan terminologi modern, kata "penyebab" atau causa sebenarnya merujuk pas hukum sebab-akibat (misalnya, A menyebabkan B); tetapi untuk Aristoteles "penyebab" di sini berarti "penjelasan". Artinya, empat penyebab ini menjawab pertanyaan tentang bagaimana sesuatu berubah menjadi sesuatu yang lain. Akan sangat jelas dalam contoh ini:
- Sebuah patung (Penyebab formal)
- Dibuat dari bahan kayu (Penyebab material)
- Oleh pemahat (Penyebab efisien)
- Dengan tujuan dekorasi (Penyebab final).
Jadi, penyebab formal yang menentukan apa sesuatu itu; penyebab material, yaitu bahan atau materi yang darinya sesuatu dibuat; penyebab efisien, yaitu pelaku yang menyebabkan perubahan; dan akhirnya penyebab final, yaitu tujuan perubahan. Jika diperhatikan dengan baik proses ini, Aristoteles memandang kehidupan dengan mata seorang ahli biologi. Bagi dia, alam itu hidup. Segala sesuatu berada dalam gerak, yaitu dalam proses menjadi dan kemudian mati.Â
Sebuah proses reproduksi merupakan sebuah contoh yang menjelaskan bagaimana sesuatu yang hidup berubah dan menjadi yang lain. Teori ini menjelaskan dengan baik bahwa materi tidak pernah terlepas dari bentuk. Sehingga sebuah proses perubahan adalah peralihan dari sesuatu yang sudah terdiri dari bentuk dan materi kepada sesuatu yang baru yang juga terdiri dari bentuk dan materi. [4]
- Â Potensilaitas dan Aktualitas
Sebelum tiba pada pemahaman tentang penggerak pertama, maka potensialitas dan aktualitas terlebih dahulu harus dimengerti. Sekali lagi, bagi Aristoteles, segala sesuatu mengandung kemungkinan untuk berubah menjadi sesuatu yang lain, termasuk manusia. Pandangan bahwa segala sesuatu mengandung tujuan pada dirinya, mau mengantar Aristoteles pada pembedaan antara pontesialitas dan aktualitas.Â
Potensialtias berati apa yang belum berkembang dan belum mencapai kepenuhannya, sedangkan aktualitas berarti apa yang telah mencapai tahap perkembangan diri secara penuh. Potensialitas sendiri selalu terkandung dalam aktualitas tertentu dan berubah menjadi aktualitas tertentu yang baru. Misalnya pada contoh patung tadi, dimana kayu adalah sebuah aktualitas yang sebenarnya punya potensi untuk menjadi aktualitas yang baru, yakni patung.
- Â Penggerak Pertama
Bertens, dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani yang ditulisnya, menjelaskan Allah sebagai penggerak pertama. Tapi ini adalah rujukan ia beliau ambil langsung dari karya Aristoteles dalam Metaphysica, buku XII. Dalam buku tersebut juga diakui sebagai gerak abadi yang terdapat di dunia. Bagi Aristoteles, gerak alam jagat raya tidak mempunyai awal ataupun akhir. Sebab, sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tetapi ada satu penggerak yang menyebabkan segala sesuatu bergerak tapi ia sendiri tidak digerakkan.Â
Maka, penggerak pertama bersifat abadi, dan begitu juga gerak yang disebabkan oleh penggerak tersebut. Penggerak ini rupanya terlepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai penggereak pertama tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni, yakni ia yang mengada secara murni, tanpa potensialitas menjadi yang lain. Lantas bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Bertens menambahkan bahwa bagi Aristoteles, Aktus Murni atau Actus Purus ini tidak lain adalah sebuah pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial atau tak badani, karenanya ia tidak lain adalah kesadaran atau pemikiran. Aktus pemikiran ini rupanya berlangsung terus, tanpa karena tidak berada dalam keadaan potensi saja.[5] Lalu apakah objek dari pemikiran tersebut?Â
Objeknya tidak lain merupakan yang paling tinggi dan paing sempurna. Itulah sebabnya objek Allah adalah "pemikiran yang memandang pemikirannya, "Thought of thought." Maka Allah menikmati kebahagiaan sempurna dengan tiada henti-hentinya menjalankan aktivitas yang tertinggi yang diarahkan kepada objek yang tertinggi.
Lantas bagaimana penggerak pertama ini menjadi sumber gerak bagi gerak yang terdapat dalam jagat raya? Aristoteles rupanya membedakannya dari penyebab efisien. Sebab, jika penyebab efisien, maka ia akan mempengaruhi hasilnya dan dengan demikian ia mempunyia potensi. Allah adalah penyebab final. Hal ini ditegaskan oleh sang filsuf dalam ungkapannya yang terkenal, kinei de hos eromenon(ia menggerakkan karena dicintai). Semua yang ada, mengejar penggerak sempurna ini.Â
Maka, gerak dalam alam raya ini sama saja dengan gerak menuju Allah. Tapi harus diingat, bahwa Allah sebagai penggerak pertama tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Sebab bagi Aristoteles, jika Allah mengenal dunia, Dia harus mempunyai potensi juga. Dan jika hal itu mungkin, maka Ia bukanlah suatu Actus Purus.Dari sini kemudian menjadi tampak bahwa pandangannya tentang penggerak pertama ini rupanya monoteisme, karena di akhir buku XII, ia menegaskan bahwa hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan.Â
Tapi rupanya, Bertens mencatat bahwa dalam karya-karya lain, Aristoteles juga menyebut allah-allah lain, dalam bentuk jamak. Hal ini menjadi mungkin karena memang tidak ada data akurat yang menegaskan penolakan Aristoteles terhadap Politeisme sebagaimana yang dihidupi oleh sebagian orang sebangsanya pada waktu itu. Dan ini juga menggambarkan keadaan saat itu, yang mana bagi orang Yunani, perbedaan antara Politeisme dan Monoteisme bukanlah hal yang krusial untuk diperdebatkan. Ini juga rupanya dihidupi oleh para filsuf lain pada masa yang kurang lebih sama dengan masa Aristoteles.[6]
Akhirnya pemahaman Aristoteles tentang penggerak pertama, menghadirkan konsekuensi bahwa penggerak tersebut tidak lain adalah penggerak yang mengada secara sempurna tanpa ada potensial di dalamnya. Dari Aristoteles kita sudah mengerti bahwa sesuatu dikatakn sempurna apabila ia aktual; potensialitas selalu berati ketidaksempurnaan karena belum aktual.[7]Â
Dengan demikian, sesuatu yang sempurna, merupakan apa yang aktual sebagai pengada. Dikatakan sempurna dalam hal ini berarti baik, Dia adalah kesempurnaan tertinggi dan kepenuhan segala kebaikan. Maka, apapun yang digerakkan oleh-Nya, memiliki kebaikan, namun sesuai dengan esensi mereka masing-masing. Menjadi jelas, tahap pemikiran Aristoteles hingga pada akhirnyat tiba pada Penggerak Abadi sebagai penggerak pertama.
******
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius: 1999.
J. Ohotimur, "Pilar-Pilar Metafisika Barat: Aristoteles, Aquinas, Heidgger", Traktat Kuliah
STF-Seminari Pineleng 2017/2018.
--------------- "Pengantar Filsafat", Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng 2016/2017.
-------------- "Metafisika Aquinas: Sifat-sifat Transendental Pengada", Traktat Kuliah STF-
Seminari Pineleng 2017/2018.
Â
[1] Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,(Jogjakarta: Â Kanisius, 1999) hlm. 17-18.
[2] Bdk. J. Ohotimur, "Pilar-Pilar Metafisika Barat: Aristoteles, Aquinas, Heidgger" (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng 2017/2018). hlm. 19-20.
[3] Bdk. J. Ohoitimur. "Pengantar Filsafat" (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng 2016/2017). hlm. 21.
[4]Ibid, hlm, 34.
[5] Bdk. Bertens. Ibid, hlm.190.
[6]Ibid
[7] Bdk. J. Ohotimur, "Metafisika Aquinas: Sifat-sifat Transendental Pengada" (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng 2017/2018). hlm. 4.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI