Saat bantuan tak bisa masuk lewat darat atau udara, ombak diam-diam jadi relawan yang paling setia. Sebotol makanan, lautan luas, dan pelajaran kemanusiaan dari arah yang tak terduga.
Di dunia yang katanya modern dan penuh kecanggihan, ternyata masih ada manusia yang harus mengandalkan ombak untuk bisa makan. Padahal kita punya kapal, satelit, hingga drone canggih. Tapi tetap saja, sebotol beras di tangan ombak terasa lebih bisa diandalkan daripada sekat-sekat politik, birokrasi, dan debat kemanusiaan yang basi.
Ironis, ya?
Ketika jalur kemanusiaan disekat atas nama kepentingan, laut yang tidak pernah ikut Pemilu malah lebih adil dalam mengantarkan bantuan. Dunia ini ternyata tidak kekurangan teknologi---
kita hanya kekurangan hati. Yang tulus. Yang berani. Yang tidak sibuk memperdebatkan siapa yang pantas ditolong.
Air laut tidak punya jari untuk mencet GPS, tapi ia tahu ke mana harus mengantarkan harapan. Sementara banyak dari kita, sudah hafal ayat dan pasal, tapi masih bingung cara  menjadi manusia.
Mereka tahu, kemungkinan itu kecil. Tapi tetap mereka lakukan. Warga Mesir melemparkan botol-botol berisi makanan, air minum, dan doa ke laut. Bukan karena tak tahu mustahilnya, tapi karena terkadang, harapan memang harus disertai nekat.
Dan ombak pun berjalan. Membawa nasi, membawa niat baik, membawa keyakinan yang lebih kuat dari kapal perang.
Botol-botol itu akhirnya sampai di Gaza.
Bertabrakan dengan kenyataan pahit: bahwa laut lebih terbuka daripada batas negara. Bahwa air asin lebih ringan tangan daripada meja perundingan. Sementara dunia sibuk berkoar soal "kemanusiaan", ada rakyat biasa yang justru diam-diam mengirimkan kasih sayang tanpa selebaran, tanpa headline, tanpa tanda tangan pejabat.
Siapa sangka, di tengah kepungan ketidakpedulian global, ada tangan kecil yang melempar botol ke laut dengan harapan besar, dan air laut menjelma menjadi utusan paling setia. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan kita, bahwa bukan besar kecilnya bantuan yang penting, tapi ketulusan yang menggerakkan.
Maka hari ini, aku ingin bertanya:
Untuk urusan kemanusiaan, kenapa justru laut yang lebih cepat tanggap daripada negara? Kenapa ombak yang tidak pernah sekolah bisa lebih tahu arah, daripada kita yang katanya lulusan kampus ternama, tapi masih sibuk mempertanyakan siapa yang layak dibantu?
Apakah kita terlalu sibuk membangun tembok, hingga lupa bahwa yang paling dibutuhkan justru jembatan?
Di saat kita menunggu bantuan resmi, legalitas, dan konferensi pers, ada sebotol air dan sebungkus makanan yang berjalan tanpa status, tapi sampai ke tujuan.
Dan laut... tidak pernah menanyakan agama, paspor, atau warna bendera. Ia hanya menerima dan mengantar. Karena bagi laut, yang penting adalah nyawa. Bukan politik, bukan peta, bukan propaganda.
Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri:
apakah kita masih sanggup menjadi manusia seutuhnya--- atau justru harus belajar  dari air laut, tentang bagaimana caranya menyampaikan amanah...
tanpa banyak alasan,
tanpa banyak suara.
Jika suatu hari aku kehilangan arah,mungkin aku juga akan belajar dari laut--- ia tenang, tapi kuat. ia dalam, tapi ringan tangan. ia tidak banyak bicara, tapi tahu cara menolong.
Dan saat manusia mulai kehilangan nurani, air laut ternyata masih menjaga amanah dengan setia
.
Kalau kamu jadi laut, ke mana kamu akan mengantar harapanmu hari ini?
-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI