Mohon tunggu...
Wikan Widyastari
Wikan Widyastari Mohon Tunggu... Wiraswasta - An ordinary mom of 3

Ibu biasa yang bangga dengan 3 anaknya. Suka membaca, menulis,nonton film, berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga untukmu, Bapak

11 Desember 2017   20:00 Diperbarui: 11 Desember 2017   20:26 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berapa umurku waktu itu? 8 atau 9 tahun?  Aku  masih ingat jelas, ba'da ashar, meski  kelelahan terlukis jelas di wajah Bapakku, tetap saja digandengnya aku, keluar rumah menuju jalan kampung. Lalu bapak memanggil tukang becak yang biasa  mangkal di ujung jalan. Berdua kami menaikki becak itu, menuju Malioboro. 

Becak berhenti tepat di depan toko sepatu, yang  aku lupa namanya, dan aku keluar dari toko itu dengan suka cita., memeluk sepatu putih bertali, dan bergambar indian dengan topi yang lucu. Kelak, aku akan mengingat bahwa banyak yang iri melihat sepatuku yang "luar biasa bagus" itu. Kemanapun aku pergi, sepatu itu selalu kupakai. Sampai sepatu itu jebol, baru aku berhenti memakainya.

Bapak, waktu itu, jelas bukan orang kaya. Bapak hanya seorang guru SD yang berangkat kerja naik sepeda, dengan membawa beban 6 orang anak yang harus diberi makan. Tapi sungguh, aku tak pernah merasa kekurangan apapun. Bahkan sampai saat ini, aku tak bisa mengingat betapa pahitnya masa-masa ketika aku kecil dulu. Aku hanya tahu, ketika ibu atau kakak-kakakku bercerita tentang masa-masa itu. Betapa Ibu harus menjual jarik embah ke pasar untuk membeli beras, dan banyak cerita lain yang bahkan tak bisa kuingat lagi.

Malam-malam jelang tidur, jika di rumah orang  lain, mungkin  ditemani suara tv atau radio, maka suara yang sangat familiar di telingaku adalah suara mesin ketik brother yang berbunyi hampir setengah malam.Itu suara mesin ketik bapakku, yang sedang menyelesaikan tulisannya atau cerpen nya yang akan dimuat di majalah DJoko Lodang. 

Atau suara ketikkan bapakku mengerjakan buku, atau pamflet ataua apapun, yang paginya akan distensil di percetakkan sebelah. Bapakku juga bekerja membantu usaha stensilan tetangga sebelah. yah apapun dikerjakan oleh Bapakku untuk menafkahi istri dan ke 6 mulut anaknya yang selalu kelaparan.

Bapakku adalah type pekerja keras, dan guru yang sangat berdedikasi dan berkomitment. Mengajar adalah panggilan jiwanya, adalah passionnya yang paling besar. Meski menjadi guru pada waktu itu, berarti hidup susah dan harus membanting tulang mengerjakan pekerjaan sambilan agar keluarga bsia merasa kenyang. 

Saya percaya bahwa kerja keras, komitmen, dedikasi dan keikhlasan mengajar, "memintarkan" siswa, akan ada balasan yang sepadan. Kehidupan kami membaik setelah bapak pindah mengajar di sebuah SD di kota.  Lalu menjadi Kepala Sekolah. Bapak yang sangat menguasai matematika dasar, dan bisa mengajar dengan sistimatis dan sabar, telah memintarkan dan menjadi inspirasi bagi ribuan muridnya. Matematika yang kala itu ajdi momok, menjadi sangat mudah dan dicintai murif-muridnya di tangan bapakku. Bapak bahkan tak malu-malu menimba ilmu, bertanya ke IKIP kala itu, jika ada yang tidak dipahaminya. Bapak adalah guru pembelajar. 

Kepandaian bapakku mengajar matematika ini, diketahui oleh Kepala Stasiun TV Jogja  waktu itu, dan bapak diminta mengisi siaran TV seminggu sekali, dengan bahasan matematika dasar. Acaranya waktu itu bernama Kami Bantu Anda. Sejak itu kebruntungan di rumah kami berubah, ratusan orangtua murid di seluruh Jogja menginginkan anaknya les pada Bapak. Lalu ibuku membuka kelas-kelas di rumah kami yang sangat sederhana. Tak minta bayaran waktu itu. 

Bapak saya tak pernah memikirkan untuk meminta bayaran bagi anak-anak yang les di rumah kami. Jadi orangtua murid,  banyak yang suka memberi oleh-oleh baik berupa barang maupun makanan.  Alhamdulillah, Rumah kami selalu penuh dengan parcel, bahan-bahan baju yang bagus, karena banyak diantara mereka yang suka keluar  negeri dan memberi bermacam oleh-oleh untuk keluarga kami. Tetap saja, kami kekurangan  punya uang. Jadi kadang dengan diam-diam, ibu suka membawa oleh-oleh kain itu ke pasar untuk dijual. Pada waktu itu menjual kain bahan baju dan jarik masih laku.

Dengan 6 anak yang butuh makan, sekolah dan kehidupan yang layak, ibuku memutar otak, bagaimana caranya agar kebutuhan keluarga bisa dipenuhi. akhirnya ibuku menemukan ide untuk memungut bayaran pada anak-anak yang els di rumah kami. Awalnya bapak menolak keras ide ibu itu, tapi lama kelamaan, karena bosan bertengkar, bapak membiarkan ibu melakukan keinginananya. lalu ibu membuat SPP yang dibagi ke anka-anak tiap awal bulan. Dari sinilah akhirnya kehidupan kami mulai membaik, siswa bimbingan mencapai  ratusan tiap tahunnya. Dan semua memiliki kenangan indah tentang bapak. 

Malam ini aku harus terjaga lagi, mendengarkan lirih suara bapakku melantunkan dzikir.  Ritual yang terus berulang setiap malam. Bapak sudah berbaring lemah tak berdaya karena usia. Tak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhnya tanpa bantuan, dan kehilangan penglihatnnya sejak 20 tahun yang lalu. Serasa lengkap penderitaan bapakku. Tapi sungguh, tak pernah sekalipun aku mendengar bapak mengeluhkan keadaannya. Atau menyesali nasibnya, atau menggugat kenapa harus mengalami penderitaan seperti ini. Tak pernah sekalipun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun