Antara Harapan dan Kenyataan
Mari kita tengok realitas di lapangan. Guru honorer, yang jumlahnya masih banyak di Indonesia, hidup dengan gaji yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan pokok.Â
Ada yang masih digaji Rp300 ribu sebulan, ada yang hanya menerima honor per jam mengajar yang nilainya tak seberapa.Â
Mereka tetap masuk kelas, tetap menyusun RPP, tetap menghadapi anak-anak dengan penuh dedikasi, meski dapur mereka sendiri kerap tak mengepul.
Di sisi lain, regulasi yang dibuat pemerintah sering kali hanya menambah beban administrasi.Â
Guru disibukkan dengan laporan-laporan, asesmen, dan pengisian data yang rumit, sementara ruang untuk mengajar dengan hati justru semakin sempit.Â
Tidak jarang, guru merasa seperti birokrat kecil yang harus menuruti prosedur, bukan lagi seorang pendidik yang fokus pada perkembangan muridnya.
Ironisnya, ketika guru menuntut haknya, suara mereka dianggap sebagai keluhan yang tidak bersyukur.Â
Guru diminta ikhlas, diminta sabar, diminta percaya bahwa setiap jerih payahnya akan dibalas dengan pahala.Â
Padahal, apa salahnya seorang guru menuntut gaji yang layak? Apa salahnya mereka meminta perhatian negara?Â
Mereka bukan sedang memperkaya diri, mereka hanya ingin bisa hidup layak sebagaimana profesi lain yang dihargai sesuai jerih payahnya.