Kelas pun meledak tawa. Tapi guru itu hanya tersenyum kecut, karena candaan itu justru terasa nyata.
Revolusi Perancis dan Indonesia
Di Revolusi Perancis abad ke-18, rakyat marah karena bangsawan hidup mewah, sementara rakyat jelata makan roti keras. Di Indonesia abad ke-21, situasinya mirip: wakil rakyat hidup makmur, sementara guru honorer hidup keras. Bedanya, rakyat kita tidak angkat senjata, melainkan angkat jari untuk mengetik meme pedas di media sosial.
Ironi Negeri Pendidikan
Negara ini katanya menjunjung tinggi pendidikan. Setiap pidato pejabat selalu menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Sayangnya, dalam praktiknya, guru justru menjadi pahlawan tanpa tanda kesejahteraan.
Sementara itu, anggota DPR mendapat tanda tangan untuk pencairan tunjangan yang jumlahnya bikin dompet tak pernah kering.
Ada lagi kisah jenaka.
Seorang guru honorer sakit gigi dan ke dokter.
Dokter berkata, "Giginya harus ditambal, Bu."
Guru menjawab, "Tidak usah, Dok. Biarkan saja bolong. Soalnya hati saya sudah terbiasa bolong tiap lihat slip gaji."
Harapan di Tengah Satir
Satir ini memang pedas, tapi sejatinya kita hanya ingin melihat keadilan. Guru tidak minta gaji sama dengan anggota DPR, tapi setidaknya cukup untuk hidup layak tanpa harus menjadi superhero serba bisa.
Kalau anggota DPR bisa punya tunjangan komunikasi intensif, guru pun seharusnya punya tunjangan sabar intensif menghadapi murid-murid yang kadang lebih cerewet daripada emak-emak di arisan.
Kalau anggota DPR bisa reses dengan biaya besar, guru pun pantas dapat biaya untuk kunjungan rumah murid tanpa harus keluar ongkos sendiri.