"Bubarkan Saja PGRI?" Sebuah Seruan Emosional yang Tidak Berdasar
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
(Guru Blogger Indonesia -- Dulu Pengkritik PGRI BAHKAN PEMBENCI PGRI, Kini Pecinta PGRI)
Belakangan ini, di media sosial maupun ruang diskusi daring para pendidik, muncul kembali seruan yang cukup mengusik hati nurani: "Bubarkan saja PGRI!" Seruan yang, menurut saya, bukan hanya emosional dan tidak rasional, tapi juga tidak memahami sejarah panjang dan perjuangan senyap organisasi ini.
Saya tidak menyalahkan kekecewaan yang melatarbelakangi seruan tersebut. Justru saya memahaminya dengan baik, karena saya pun pernah ada di titik itu---merasa PGRI tidak hadir, merasa tak dilibatkan, merasa sendiri memperjuangkan nasib sebagai guru.
Namun hari ini, saya menyampaikan dengan jujur dan sepenuh hati: Saya mencintai PGRI. Cinta yang tumbuh dari pemahaman baru, keterlibatan aktif, dan kesadaran akan pentingnya rumah bersama bagi para pendidik Indonesia.
PGRI: Dari Guru, Oleh Guru, Untuk Guru
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) adalah organisasi profesi guru terbesar dan tertua di Indonesia. Lahir pada 25 November 1945, PGRI tidak hanya menjadi simbol perjuangan, tapi juga menjadi wadah advokasi, perlindungan profesi, penguatan kompetensi, dan solidaritas guru dari Sabang sampai Merauke.
Tentu tidak semua orang bisa melihat gerak diam PGRI yang sering kali bekerja di balik layar. Apalagi di era digital, di mana yang viral lebih diutamakan daripada proses panjang dan penuh diplomasi yang tidak selalu bisa dipublikasikan.