Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menulis yang Menyala, dan Menyemai yang Bermakna (Kilas Balik 16 Tahun Menulis di Kompasiana)

4 Juli 2025   08:15 Diperbarui: 4 Juli 2025   08:15 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut ini adalah artikel kisah OmJay sebagai penulis dan tulisan ini terinspirasi dari komentar dan refleksi Kakek Merza, serta dilengkapi dengan kritik terbuka untuk admin Kompasiana dan kilas balik pengalaman OmJay selama 16 tahun menjadi bagian dari platform ini. Omjay menuliskannya di bandara Don Mueang, Bangkok Thailand, dan baru Omjay upload dan posting setiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng Banten.

"Menulis yang Menyala, Menyemai yang Bermakna"
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah (OmJay)
Guru Blogger Indonesia

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk refleksi dan harapan---terinspirasi dari komentar tajam namun santun dari sahabat saya, Kakek Merza, di Kompasiana. Dalam salah satu tulisannya, beliau menyentuh satu hal yang kerap luput dari perhatian: bagaimana artikel yang menyentuh ribuan pembaca secara organik, justru tidak mendapat tempat sebagai Artikel Utama.

Sebagai penulis yang sudah 16 tahun menulis di Kompasiana, saya merasa suara beliau mewakili kegelisahan banyak penulis lainnya. Tulisan yang bagus tak selalu harus viral, namun ketika sebuah artikel telah dibaca ribuan kali, mendapat tanggapan luas, bahkan menjadi perbincangan di media sosial, itu adalah tanda kehidupan gagasan yang tidak bisa diabaikan. Kompasiana tentu meraup untung karena banyak yang membuka kompasiana.

Dari Era Pepih, Iskandar, hingga Nurulloh

Saya masih ingat betul, bagaimana Kompasiana dibentuk oleh Kang Pepih Nugraha sebagai ruang jurnalisme warga. Saat itu, setiap tulisan yang naik ke "beranda utama" adalah bentuk penghargaan dari redaksi kepada penulis. Kurasi dilakukan dengan mata hati. Artikel yang hidup di masyarakat---bukan hanya yang rapi secara teknis---bisa naik karena dianggap mewakili suara warga.

Kemudian saya mengalami masa kepemimpinan Iskandar Zulkarnaen, yang membawa Kompasiana ke era keterbukaan digital. Beliau rajin menyapa para Kompasianer, memberikan pelatihan, bahkan berdiskusi langsung dengan penulis. 

Terakhir, di era Nurulloh, Kompasiana semakin berkembang secara tampilan dan teknologi, namun di saat yang sama, muncul kesan bahwa kedekatan dengan komunitas mulai menipis.

Kini, saya merasa perlu untuk menulis kembali, sebagai bentuk cinta dan tanggung jawab moral kepada Kompasiana. Rumah tempat saya tumbuh, berbagi, dan menyemai banyak gagasan.

Kritik Terbuka untuk Admin Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun