Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumitnya Menjadi 'Papua' di Negeri Bernama 'Indonesia'

3 Desember 2020   08:17 Diperbarui: 3 Desember 2020   08:52 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum khas orang Papua.

Setiap tahunnya sejak 1945, tanggal 17 Agustus merupakan angka keramat bagi bangsa bernama Indonesia. Tanggal 17 telah dipilih sebagai waktu untuk membacakan proklamasi kemerdekaan dari penjajahan asing, yaitu Jepang. Sejumlah tokoh bangsa telah sepakat bahwa negeri baru tersebut bernama Indonesia, dengan wilayah membentang dari Sabang di Sumatera hingga Merauke di Irian Barat (kini Papua).

Menyoal Papua, lain lagi kisahnya mengapa sepotong pulau yang dulu disebut sebagai Irian Jaya tersebut menjadi bagian dari Indonesia. Karena sebagian lainnya dari Pulau Papua adalah negara bernama Papua New Guinea. Penggabungan Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Indonesia berbuntut panjang, hingga saat ini. 

Bahkan, pada 16 Agustus 2019 terjadi penangkapan sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya yang menimbulkan kemarahan publik. Gara-garanya, bendera merah putih yang dipasang Pemerintah Kota Surabaya di Asrama Papua jatuh ke got. Sebelumnya, sejumlah mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya melakukan aksi damai dalam memperingati Perjanjian New York antara Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962, sebagai pintu masuknya Irian Barat ke Indonesia pada 1969. 

Penangkapan sejumlah mahasiswa Papua oleh militer bukan saja menimbulkan kemarahan, melainkan memicu kerusuhan. Kondisi ini bukan saja dinilai kontradiksi dengan suasana peringatan HUT RI ke 74 tahun. Melainkan juga sarat dengan sentimen SARA. Lalu, baru-baru ini seorang aktivis kemerdekaan Papua Barat memproklamirkan dirinya sebagai presiden sementara Papua Barat. Hal ini sudah menjadi gonjang-ganjing di media massa. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya....

SIAPAKAH ORANG PAPUA?
Papua adalah sebuah pulau yang sangat luas. Di peta dunia, Pulau Papua ini akan tampak seperti seekor burung. Pulau Papua ini dibagi menjadi dua wilayah. Bagian barat masuk wilayah Indonesia, yang pada masa kolonial Hindia-Belanda bernama Nugini-Belanda (Nederlands Niuew-Guinea atau Dutch New Guinea). Sementara bagian timur adalah milik negara lain bernama Papua New Guinea. Sejak 1969-1973 Nugini-Belanda ini bernama Irian Barat, yang kemudian diganti menjadi Irian Jaya saat Presiden Soeharto meresmikan berdirinya tambang Freeport. 

Lalu, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, wilayah Irian Barat berganti nama menjadi Papua. Pada tahun 2003, Provinsi Papua dibagi menjadi dua wilayah administratif yaitu Papua dan Papua Barat. Nah, nama Papua Barat ini sering digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.

Papua merupakan pulau terluas kedua di dunia setelah Greenland di Eropa. Papua memiliki luas 890.000 km. Jika dilihat dari kondisi geografisnya yang merupakan pegunungan, Papua dipastikan sebagai pulau yang kaya akan sumber daya alam, termasuk bahan tambang. Kondisi geografis Papua yang sulit ditembus membuatnya mengalami keterlambatan persentuhan dengan dunia modern, dan hingga 2019 wilayah di Papua masih banyak yang belum terjamah pembangunan.

Hm, lumayan sulit untuk menggali sejarah keberadaan manusia di pulau Papua. Tapi, mengacu pada berbagai sumber, mari kita mulai pada tahun 200 M, ketika seorang ahli geografi Romawi bernama Klaudius Ptolemaeus menyebut pulau Papua sebagai Labadios dalam laporan ekspedisinya. Kemudian, bangsa China memberinya nama Tungki pada sekitar 500 M yang katanya nama tersebut ditemukan pada catatan harian seorang pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kuan, di mana dia menyatakan bahwa asal rempah-rempah dan bulu burung Cendrawasih yang mereka bawa berasal dari Tungki.

Pada 511 M, Antonio d'Arbau pelaut asal Portugis menyebutnya sebagai Os Papuas atau llha de Papo. Menyusul kemudian Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol yang mampir di Papua pada 1526-1527 tetap menyebut Papua, yang ia ketahui dari catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia dan menyebutnya dengan nama Papua. Nama Papua diketahui Figafetta saat singgah di Tidore. Selanjutnya, pada 600 M kerajaan Sriwijaya menyebutnya sebagai Janggi. Pada 700 M pedagang dari Persia dan Gujarat yang mulai berdatangan ke Papua menyebutnya sebagai Dwi Panta dan Samundrata, yang bermakna Ujung Samudera dan Ujung Lautan.

Berdasarkan hasil penelitian, disebutkan bahwa orang-orang yang tinggal di Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi menggunakan kapal laut pada sekitar 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu. Rupanya, setelah sampai di pulau Papua, mereka tidak melanjutkan pelayaran sehingga kemurnian ras mereka tetap terjaga dan karakter fisik mereka jauh berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia pada umumnya. Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua menyebut penduduknya sebagai orang Melanesia, artinya orang berkulit hitam (Mela). 

Orang-orang Portugis dan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang kemudian berinteraksi dengan penduduk pulau tersebut menyebut mereka sebagai orang Papua, berasal dari sebutan untuk penduduknya yang berambut keriting sebagaimana ditemukan pada penduduk di wilayah selatan benua Afrika. Kerajaan Majapahit pada tahun 1300 M menyebut Papua sebagai Wanin dan Sram. Kata Wanin untuk menunjuk Semenanjung Onik di Fak-Fak dan Sram, yaitu pulau Seram dan Maluku, yang bisa saja merupakan tempat asal budak yang dibawa ke Majapahit.

Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol memberi nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut. 

Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Pulau Guinea Baru.

Sementara pada 1646, Kerajaan Tidore memberinya nama Papa-Ua, yang bermakna tidak bergabung dalam bahasa Tidore atau sebuah tempat yang tidak memiliki Raja yang memerintah. Sebutan Papa-Ua yang kemudian menjadi Papua disambut baik untuk menggambarkan identitas khusus mereka yang berkulit gelap dan berambut keriting, yang tentu saja berbeda dengan orang Tidore dan Melayu. 

Pandangan khusus kepada orang Papua masih berlaku hingga sekarang, karena mereka merupakan orang Indonesia dengan tampilan fisik paling berbeda. Sehingga orang-orang yang tidak mengerti bahwa perbedaan itu disebabkan oleh banyak hal, akan memposisikan orang Papua lebih rendah dari orang lainnya di Indonesia. Padahal sumber masalahnya sederhana saja, yaitu karena perbedaan tampilan fisik dan gaya hidup.

Well, karena orang Papua menyimpan sejarah peradaban mereka dengan bahasa lisan, agak sulit untuk mengetahui kebenaran tentang sejarah mereka, kecuali melalui sumber-sumber yang ditulis oleh pelancong dari negeri-negeri jauh.

Jika dibandingkan dengan orang-orang dari etnis lain di seluruh Indonesia, maka orang Papua memang paling berbeda. Secara fisik, orang Papua justru memiliki kemiripan dengan orang-orang Melanesia dan Aborigin di Australia. Sehingga sulit diterima jika mereka merupakan bagian dari Indonesia secara kebudayaan, dan bukan secara politik. 

Karena sebagai orang Papua, wilayah administrasi membuat sebuah suku bangsa di pulau Papua terpisah ke dalam dua wilayah administratif, yaitu Indonesia dan Papua New Guinea. Dengan demikian, aku pun menjadi sangat penasaran mengenai nenek moyang orang Papua. Siapakah mereka dan dari manakah asal mereka?

Para peneliti mencoba menemukan benang merah antara orang Papua dan Aborigin-Australia dengan gelombang manusia yang meninggalkan Afrika pada 60.000-70.000 tahun yang lalu. Hasil penelitian melalui DNA menyebutkan bahwa mereka seperti keturunan orang-orang yang saling memencar dari wilayah Eropa pada 51.000 tahun yang lalu. Karena secara genetik orang Eropa dan Asia mengalami jarak sejauh 10.000 tahun. 

Para ahli juga menemukan bahwa genom orang Papua dan Aborigin-Australia berbeda satu sama lain, dan mengalami penyimpangan setidaknya 25.000 tahun yang lalu, meskipun jarak antar kedua pulau dipisahkan laut pada 10.000 tahun yang lalu. Para ahli masih memperdebatkan bagaimana gelombang orang-orang yang meninggalkan Afrika itu berpisah dan berpendar, dan bagaimana orang Aborigin menghuni dan berkembang di Australia, dan orang Papua memasuki pulau Papua dan berkembang tanpa sentuhan dunia luar selama berabad-abad lamanya. 

Tentu ini misteri yang terus dipecahkan oleh sains modern.

TENTANG NASIB ORANG DAN KEKAYAAN PAPUA
Tuhan itu Maha Adil, sehingga Dia membagi keindahan dan kekayaan di seantero bumi. Pun bagi pulau Papua yang dikenal keras memiliki kekayaan alam yang tidak terhingga. Dalam perjalanan Nusantara menjadi Indonesia modern, Papua adalah provinsi terakhir yang masih memiliki cadangan hutan hujan tropis. Di kedalaman hutan perawan yang sulit ditembus karena merupakan rangkaian pegunungan tinggi plus bersalju, serta lembah-lembah curam tersebut tersimpan kekayaan alam yang melimpah ruah. Di dalam perut bumi Papua banyak kandungan mineral yang jika dimanfaatkan bisa membuat Papua sebagai provinsi paling makmur di Indonesia. Papua punya gunung emas!

Cerita tentang emas Papua dimulai pada tahun 1623 saat seorang petualang asal Belanda bernama Jan Carstenszoon/Jan Cartesnz mendapat tugas dari The Dutch East India Company untuk memimpin ekspedisi di wilayah pesisir utara New Guinea. Eksplorasi tersebut untuk membuktikan penemuan daratan atas laporan seorang pelaut bernama Willem Janszoon pada 1606. 

Dalam ekspedisi tersebut, Jan bertemu dengan penduduk asli hingga sampai di puncak Jaya yang sekarang disebut Cartesnz Pyramid. Sayangnya, laporan dia ditertawakan orang Eropa karena menurut mereka nggak mungkin dong di wilayah Khatulistiwa yang panas sepanjang tahun ada salju.

Berdasarkan laporan Jan Carstensz inilah, pada 1936 seorang Geolog Belanda bernama Jean Jacques Zody bersama rombongan kecil melakukan perjalanan ke Papua. Tujuan utama penjelajahan ke Papua tersebut untuk napak tilas ekspedisi Jan Carstesnz yang diolok-olok Eropa, yaitu soal keberadaan salju di puncak Jaya. Dalam penjelajahan ke Cartesnz ini Zody terpukau dengan pegunungan batu tanpa pepohonan sama sekali yang kemudian dinamakan Grasberg yang artinya gunung rumput. 

Dan tak jauh dari lokasi tersebut ada gunung dengan bebatuan hitam berbentuk aneh setinggi 3.500 mdpl. Gunung tersebut ia namakan Erstberg yang bermakna gunung bijih. Cozy membawa sejumlah batuan sebagai sampel ke laboratorium di Eropa dan hasilnya diterbitkan dalam sebuah laporan pada 1939. Namun sayang sungguh sayang, pecahnya Perang Dunia II membuat hasil penelitiannya tak jadi mendapat perhatian.

Pada tahun 1959, seorang eksekutif dari perusahaan tambang Amerika, Freeport Sulphur mempelajari catatan Cozy. Kebetulan, perusahaan tersebut mengalami kehilangan tambang bijih nikel di Kuba akibat kebijakan nasionalisasi pemerintahan Fidel Castro. Saat itu Forbes K. Wilson, manajer eksplorasi Freeport Sulphur mendapatkan informasi mengenai catatan Cozy dan mengatakan akan melakukan eksplorasi ke Erstberg meskipun harus mengalami kematian saat mencapainya. 

Eksplorasi tersebut menelan biaya yang sangat mahal, mencapai US$ 120 ribu. Wilson melakukan persiapan terbaik dengan berhenti merokok dan mengambil semua tindakan imunisasi untuk jenis-jenis penyakit yang pernah dikenal manusia. Saat itu Wilson sudah berusia 50 tahun dan ia bertekad akan menemukan si gunung hitam alias Ertsberg. Usaha Wilson tidak sia-sia dan ia menemukan si gunung hitam yang menjadi awal mula sejarah penemuan tambang emas terbesar di dunia. 

Di tangan Wilson, olok-olok tentang adanya salju di khatulistiwa tidak saja bisa dipatahkan. Melainkan dunia dibuat tercengang bahwa tak jauh dari Carstensz Pyramid justru ada harta karun yang menyilaukan dunia.

Pada 1980, Freeport Sulphur bergabung dengan McMoran, dan sekarang kita mengenalnya sebagai Freeport McMoran, dengan PT. Freeport Indonesia sebagai anak perusahaan. Penggalian awal menunjukkan bahwa cadangan emas di tambang Grasberg akan habis pada 1987, namun berkat penelitian para Geolog, justru ditemukan cadangan emas yang jauh lebih besar. Anomali dan tingkat keasaman bebatuan membuat mereka melakukan pengeboran lebih dalam, mencapai 200 meter. 

Voilla! mereka menemukan harta karun setelah mengebor hingga kedalaman 611 meter. Di kedalaman 591 meter mereka menembus lapisan bijih yang mengandung 1,69% tembaga dan 1.77 gram emas per ton. Penemuan tersebut dianggap sebagai yang paling menakjubkan dalam dunia pertambangan. Penemuan tersebut sekaligus membuat Freeport McMoran semakin kuat menancapkan taring-taring kekuasaannya dalam bisnis pertambangan di tanah Papua.

Beroperasinya tambang Freeport di Papua berdampak signifikan pada perkembangan tatanan sosial orang Papua. Terlebih ketika sebagian besar para pekerja yang merupakan tenaga ahli merupakan orang asing dan non-Papua. Sejak awal beroperasi, orang Papua nyaris tidak mendapatkan apa-apa selain remah-remah di tanah ulayat mereka sendiri. Mereka pun hanya menjadi pekerja rendahan. Hal ini diperparah dengan orang-orang dari berbagai pulau di Indonesia yang memasuki Papua melalui program transmigrasi oleh pemerintah dan transmigrasi mandiri. 

Para migran itu memasuki Papua dengan nilai-nilai yang mereka bawa dari tanah asalnya memberi warna tersendiri bagi sistem sosial di Papua, yang masih memegang teguh hukum adat. Program transmigrasi misalnya, mau tidak mau menggerus tanah ulayat orang Papua demi kepentingan negara. Lantas orang Papua sebagai pemilik tanah dan kekayaan alam Papua mendapatkan apa?

Nah, masalah di Papua ternyata nggak sederhana. Kita harus melihatnya jauh ke belakang ketika Belanda ingin membuat negara Papua Barat pada tahun 1961. Namun, Presiden Soekarno melawannya dengan melakukan pendekatan pada Uni Soviet yang saat itu merupakan negara berhaluan Komunis terbesar. Langkah Soekarno ini membuat banyak pihak khawatir, termasuk Amerika sehingga masalah Papua dibawa ke PBB. 

Melalui Perjanjian New York pada 1962, Kerajaan Belanda menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia, meskipun pada kenyataannya Belanda nggak ikhlas sehingga harus terjadi saling serang antara tentara Belanda dan Indonesia hingga 1969. Akhirnya Belanda memutuskan untuk keluar dari Papua dengan syarat rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri melalui sebuah referendum Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA dan hasilnya adalah bahwa rakyat Irian Barat alias Papua sukarela menjadi bagian dari Indonesia.

Meskipun demikian, sebagian pihak tidak puas karena menganggap bahwa PERPERA dilakukan dalam todongan senjata dan jumlah orang Papua yang melakukan pemilihan hanya 1% dari populasi Papua saat itu. Ketidakjelasan hal ini, ditambah sikap represif pemerintah melalui militer di Papua dipeparah dengan kedatangan para transmigran yang jumlahnya nyaris setengah penduduk Papua. Masalah yang kompleks inilah yang terus berlangsung di Papua hingga menyebabkan sebagian orang Papua memberanikan diri membuat Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Hingga 2019, konflik terus terjadi. Selain itu, masalah kesenjangan ekonomi dan sosial masih sangat jauh untuk bisa diselesaikan. Pembangunan infrastruktur yang massive di era Jokowi tidak serta merta membuat kehidupan di Papua sama sejahtera dengan sebagian wilayah lain di Indonesia. Bahkan, ketika pemerintah Indonesia berhasil mendapatkan 51% saham PT. Freeport Indonesia yang digadang-gadang bisa menjadi awal mula kemajuan Papua, masalah terus berlanjut. 

Soal Freeport bukan melulu soal kekayaan hasil tambang, melainkan juga mengacu ke perjanjian politik antara Indonesia dan Amerika pada 1961. Sebagian kalangan menilai bahwa keberanian Indonesia meminta saham 51% adalah bentuk perlawanan pada perjanjian antar dua negara secara politik, karena pemberian konsesi atas tambang Freeport adalah harga bergabungnya Papua ke dalam NKRI.

ANTARA AKU DAN TEMAN KECIL DARI PAPUA
Aku belum pernah ke Papua. Namun, aku memiliki beberapa orang teman yang berasal dari Papua. Aku ternyata baru tahu banyak juga perbedaan fisik orang Papua dari sejumlah pengalaman. Seperti saat aku bertemu seorang teman (Umar) yang kini menjadi suami temanku (Julia). Ternyata Umar merupakan orang Papua yang asli, alias nenek moyangnya belum mengalami kawin campur dengan suku lain. Perawakan Umar khas Papua. 

Sementara di lain waktu aku bertemu dengan seorang teman asal Papua juga, namanya Alfred. Aku kaget dong karena dalam pandanganku Alfred ini kok beda dengan orang Papua yang selama ini digambarkan, karena ia memiliki kulit yang jauh lebih terang. Kupikir Alfred bukan orang Papua, melainkan orang Manado. Usut punya usut ternyata nenek moyang Alfred memang telah mengalami kawin campur sehingga Alfred tidak terlihat seperti orang Papua asli, tapi ya dia Papua.

Lalu, saat memandang Sabai, bocah perempuan anak Julia dan Umar, aku melihat gambaran lain lagi. Bahwa penampilan fisik hasil kawin campur suku Minang dan Papua menjadi unik. Sabai ini bocah beruntung karena lahir dari sepasang orangtua dengan pendidikan tinggi, sehingga ia mendapatkan pendidikan yang bagus sejak dari rumah. 

Sabai meyakini bahwa semua perempuan cantik dan sebagai orang Papua dia dengan bangga mengatakan dirinya cantik. Walaupun ia kerap menerima pandangan rasis dari sejumlah orangtua teman sepermainannya, Sabai tetap meyakini bahwa sebagai orang Papua dia cantik, sama cantik dengan bocah Tionghoa atau Melayu.

Di dalam foto di bawah ini pembaca akan melihat sebagian kecil dari keindahan orang Indonesia yang bersuku-suku. Aku adalah campuran Jawa Timur dan Jawa Barat, Julia seingatku campuran Minang dan Batak, sedangkan Sabai campuran Minang, Batak dan Papua. Aku tidak terlalu paham asal usul nenek moyangku selain sampai di ayahnya salah satu nenekku. Aku tidak tahu, di masa lampau suku apa saja yang terlibat kawin campur nenek moyangku, sehingga pertemuan gen ayah dan ibuku menghasilkan aku dengan penampilan demikian. 

Yang pasti, aku semakin paham bahwa di abad 21 sudah tidak mungkin ada yang disebut ras murni, sebab semua telah bercampur. Karenanya, sebagai warga negara Indonesia dan dunia, kita harus selalu bersedia belajar dan membuka pikiran untuk menerima perbedaan. Kukira, perbedaan fisik antar manusia bukan masalah, justru merupakan keindahan. Betapa uniknya ciptaan Tuhan berjenis manusia ini.

Aku, temanku dan teman kecilku berdarah Papua. Foto: Fifi
Aku, temanku dan teman kecilku berdarah Papua. Foto: Fifi
Demikian tulisanku kali ini tentang Papua. Semoga bisa membantu pembaca sekalian memahami Papua secara utuh agar kita bisa membersihkan hati dan pikiran, dan tidak sekali-kali ikut serta melakukan diskriminasi terhadap orang Papua. Terlebih memanggil mereka dengan sebutan buruk yang menyakitkan hati. Karena sesungguhnya, jika hari ini kita bercermin kepada Tuhan dan sifatnya yang Maha Kuasa dalam segala sesuatu, kita akan merasa sangat malu. Orang Papua, Melayu, Jawa, Tionghoa, Eropa, Afrika dan lain-lain dijadikan berbeda karena peradaban manusia telah mengalami perjalanan sangat panjang yang tidak terbayangkan.

Apapun bentuk rangka tubuh, warna kulit, bentuk mata dan hal-hal lainnya yang membedakan kita dengan manusia lainnya tak lain dan tak bukan hanya merupakan warisan nenek moyang kita. Tubuh yang kita miliki sekarang adalah warisan dari banyaknya proses perubahan gen, dari kawin campur yang terjadi berulang-ulang dalam sejarah nenek moyang kita. 

Bentuk fisik orang Papua justru memberi gambaran pada kita bahwa demikianlah kiranya nenek moyang kita pada sekira 25.000 tahun silam, yang belum mengalami kawin campur. 

Karena mereka tinggal di kedalaman hutan dan tidak mengalami persentuhan dengan orang dari suku lain selama berabad-abad, dan tidak mengalami kawin campur, maka tentu mereka berbeda dengan kita, meskipun sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya kita lah manusia yang berbeda dengan nenek moyang kita yang bisa jadi secara fisik mirip dengan orang Papua. Mereka adalah herloom alias murni, dan kita Hibrida alias hasil kawin silang. Jadi, nggak perlu menyombongkan diri ya.

NB: Tulisan ini pertama kali diterbitkan blog pribadi di www.wijatnikaika.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun