Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumitnya Menjadi 'Papua' di Negeri Bernama 'Indonesia'

3 Desember 2020   08:17 Diperbarui: 3 Desember 2020   08:52 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum khas orang Papua.

Nah, masalah di Papua ternyata nggak sederhana. Kita harus melihatnya jauh ke belakang ketika Belanda ingin membuat negara Papua Barat pada tahun 1961. Namun, Presiden Soekarno melawannya dengan melakukan pendekatan pada Uni Soviet yang saat itu merupakan negara berhaluan Komunis terbesar. Langkah Soekarno ini membuat banyak pihak khawatir, termasuk Amerika sehingga masalah Papua dibawa ke PBB. 

Melalui Perjanjian New York pada 1962, Kerajaan Belanda menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia, meskipun pada kenyataannya Belanda nggak ikhlas sehingga harus terjadi saling serang antara tentara Belanda dan Indonesia hingga 1969. Akhirnya Belanda memutuskan untuk keluar dari Papua dengan syarat rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri melalui sebuah referendum Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA dan hasilnya adalah bahwa rakyat Irian Barat alias Papua sukarela menjadi bagian dari Indonesia.

Meskipun demikian, sebagian pihak tidak puas karena menganggap bahwa PERPERA dilakukan dalam todongan senjata dan jumlah orang Papua yang melakukan pemilihan hanya 1% dari populasi Papua saat itu. Ketidakjelasan hal ini, ditambah sikap represif pemerintah melalui militer di Papua dipeparah dengan kedatangan para transmigran yang jumlahnya nyaris setengah penduduk Papua. Masalah yang kompleks inilah yang terus berlangsung di Papua hingga menyebabkan sebagian orang Papua memberanikan diri membuat Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Hingga 2019, konflik terus terjadi. Selain itu, masalah kesenjangan ekonomi dan sosial masih sangat jauh untuk bisa diselesaikan. Pembangunan infrastruktur yang massive di era Jokowi tidak serta merta membuat kehidupan di Papua sama sejahtera dengan sebagian wilayah lain di Indonesia. Bahkan, ketika pemerintah Indonesia berhasil mendapatkan 51% saham PT. Freeport Indonesia yang digadang-gadang bisa menjadi awal mula kemajuan Papua, masalah terus berlanjut. 

Soal Freeport bukan melulu soal kekayaan hasil tambang, melainkan juga mengacu ke perjanjian politik antara Indonesia dan Amerika pada 1961. Sebagian kalangan menilai bahwa keberanian Indonesia meminta saham 51% adalah bentuk perlawanan pada perjanjian antar dua negara secara politik, karena pemberian konsesi atas tambang Freeport adalah harga bergabungnya Papua ke dalam NKRI.

ANTARA AKU DAN TEMAN KECIL DARI PAPUA
Aku belum pernah ke Papua. Namun, aku memiliki beberapa orang teman yang berasal dari Papua. Aku ternyata baru tahu banyak juga perbedaan fisik orang Papua dari sejumlah pengalaman. Seperti saat aku bertemu seorang teman (Umar) yang kini menjadi suami temanku (Julia). Ternyata Umar merupakan orang Papua yang asli, alias nenek moyangnya belum mengalami kawin campur dengan suku lain. Perawakan Umar khas Papua. 

Sementara di lain waktu aku bertemu dengan seorang teman asal Papua juga, namanya Alfred. Aku kaget dong karena dalam pandanganku Alfred ini kok beda dengan orang Papua yang selama ini digambarkan, karena ia memiliki kulit yang jauh lebih terang. Kupikir Alfred bukan orang Papua, melainkan orang Manado. Usut punya usut ternyata nenek moyang Alfred memang telah mengalami kawin campur sehingga Alfred tidak terlihat seperti orang Papua asli, tapi ya dia Papua.

Lalu, saat memandang Sabai, bocah perempuan anak Julia dan Umar, aku melihat gambaran lain lagi. Bahwa penampilan fisik hasil kawin campur suku Minang dan Papua menjadi unik. Sabai ini bocah beruntung karena lahir dari sepasang orangtua dengan pendidikan tinggi, sehingga ia mendapatkan pendidikan yang bagus sejak dari rumah. 

Sabai meyakini bahwa semua perempuan cantik dan sebagai orang Papua dia dengan bangga mengatakan dirinya cantik. Walaupun ia kerap menerima pandangan rasis dari sejumlah orangtua teman sepermainannya, Sabai tetap meyakini bahwa sebagai orang Papua dia cantik, sama cantik dengan bocah Tionghoa atau Melayu.

Di dalam foto di bawah ini pembaca akan melihat sebagian kecil dari keindahan orang Indonesia yang bersuku-suku. Aku adalah campuran Jawa Timur dan Jawa Barat, Julia seingatku campuran Minang dan Batak, sedangkan Sabai campuran Minang, Batak dan Papua. Aku tidak terlalu paham asal usul nenek moyangku selain sampai di ayahnya salah satu nenekku. Aku tidak tahu, di masa lampau suku apa saja yang terlibat kawin campur nenek moyangku, sehingga pertemuan gen ayah dan ibuku menghasilkan aku dengan penampilan demikian. 

Yang pasti, aku semakin paham bahwa di abad 21 sudah tidak mungkin ada yang disebut ras murni, sebab semua telah bercampur. Karenanya, sebagai warga negara Indonesia dan dunia, kita harus selalu bersedia belajar dan membuka pikiran untuk menerima perbedaan. Kukira, perbedaan fisik antar manusia bukan masalah, justru merupakan keindahan. Betapa uniknya ciptaan Tuhan berjenis manusia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun