Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Surat-surat Abadi

3 Maret 2020   16:37 Diperbarui: 4 Maret 2020   20:41 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat tak sekadar suatu komunikasi personal yang intim. Dari surat ternyata menghadirkan narasi keabadian yang bisa dipelajari dalam dimensi kekinian. Pada sebuah surat ia menceritakan ruang terbuka yang bisa dibaca siapapun. Menciptakan dinamika pemikiran, konstelasi sosial masyarakat pada zamannya sekaligus melambungkan person yang menulisnya. Seperti panggung epik bagi penulisnya. Surat-surat sebagai komunikasi juga menciptakan nilai sastrawi.

Komunikasi surat mencuatkan nilai kearsipan historis, mewariskan jejak nilai informasi yang berharga. Ini yang menjadikan surat-surat tersebut abadi tak lekang digerus zaman. Meski korespendensi surat simbol keintiman yang subyektif, tak dapat disangkal ia adalah pewarta zaman yang mengungkap sisi dari pandangan seorang individu tentang berbagai hal. Apa yang diungkapkan Frans. M. Parera saat memberikan pengantar buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1986) membenarkan:

Surat-surat dari individu-individu pada umumnya berisi hal-hal yang subyektif, rahasia-rahasia diri yang hanya dibuka pada orang-orang lain dalam lingkungan yang terbatas.

Dalam keintiman personal, surat menciptakan imajinasi pembacanya tentang perilaku pemikiran serta dinamika sosial masyarakat dari pandangan penulis surat. 

Surat-surat sastrawan Iwan Simatupang kepada B.Soelarto dalam Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1986), menyiratkan kegelisahan psikologis, seperti yang ia ungkapkan tentang kesetiaan memilih profesi sastrawan / budayawan sekaligus penyesalannya tak memenuhi harapan orang tuanya:

.....dan Iwan de schrijver mulai jadi ougelevigo katholiek. Dia menganggap dunia suatu biara besar. Sesama manusia dianggapnya sesama biarawan yang juga seperti di disebabkan tragedi tertentu dalam hidupnya terdampar masuk biara. Pada Iwan tragedi itu adalah : rasa menyesal telah tidak memenuhi keinginan famili dan orang tuanya untuk menjadi seorang dokter yang baik, pintar, yang keras cari uang banyak-banyak, untuk kawin dengan gadis Tapanuli baik-baik, punya rumah gedung besar, depannya papan : dr. Iwan Simatupang, internist gyanaecoloog.

Surat tertanggal 12 Desember 1968, memposisikan situasi kejiwaan seorang Iwan Simatupang sebagai seorang introvert yang menjadi penyebab kegagalan studi di kedokteran.

Surat-surat Iwan Simatupang tak menceritakan sisi intim pribadi. Bagi yang membaca surat-surat Iwan Simatupang, komunikasi surat itu tak hanya ditujukan pada B. Soelarto, tapi surat-surat tersebut telah menjadi pamflet umum seorang Iwan dan sikap politiknya serta reaksi intelektual Iwan terhadap situasi sosial politik Indonesia saat itu. 

Surat menjadi menjadi medan dialog tak hanya bagi seorang Iwan Simatupang. Surat-surat melankolik platonik penyair Kahlil Gibran kepada May Zaiadah maupun surat-surat Martin Heidegger dengan Hannah Arendt sebagai contohnya keintiman medan dialog.

Sama seperti Iwan Simatupang, surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, Abendanon atau Ovink Soer, tak sebatas reaksi pesona komunikasi hangat antarpersonal. Melainkan reaksi emosional Kartini sebagai gadis bangsawan terkait dengan pergulatan yang ditumpahkan pada komunikasi surat yang sarat emosional. Ini terlihat curhat Kartini pada Stella ihwal sikap kesetaraan:

Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh dari pada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena dia keturunan bangsawan.

Menulis surat bagi Kartini bukanlah media pelampiasan dari keterisoliran sosial dari budaya pingitan. Lebih dari itu, memaknai surat-surat Kartini adalah menangkap suara zaman perempuan Jawa dan Hindia Belanda.

Kartini merupakan produk Politik Etis dan anak kandung politik modernisasi awal abad XX yang oleh sejarawan Takashi Shiraishi (1990) dengan semboyan vooruitgang (kemajuan) dan opvoeding (pendidikan). 

Surat abadi Kartini menjadi produk relasi kolonial antara koninklijke Belanda dengan Hindia Belanda. Simak saat Kartini menyuarakan kekecewaan ihwal perkawinan dalam surat tertanggal 6 November 1899 :

".......tidak ada yang dilakukan, hari baik itu akan tiba, pasti tiba saat dimana aku akan disanding dengan seorang suami yang belum kukenal. Di Jawa, cinta hanyalah khayalan. Bagaimana suami isteri bisa saling mencintai jika mereka baru bertemu untuk pertama kalinya pada saat mereka sudah resmi terikat pada sebuah perkawinan".

 Dari Keintiman Personal Menjadi Arsip Sejarah Sosial

Walau surat merupakan produk keintiman personal serta melibatkan emosional yang menulis dan membaca, tak bisa dikesampingkan jika meruah pada ranah publik sudah menjadi dokumentasi zaman sekaligus arsip sosial yang tak bisa dilupakan. Tradisi menulis surat sebagai arsip sejarah dan laporan politik pemerintahan telah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Para pejabat kolonial Hindia Belanda (Binnelands Bestuur) mengenal betul mengenai Memorie van Overgave (Memori Serah Terima Jabatan) pejabat Residen. Koresponden laporan pejabat Residen tersebut melindapkan catatan kritis kepada pejabat Gubernur Jendral tentang wilayah yang dipimpinnya.

Selain itu terdapat produk arsip sejarah sosial yang disebut mailrapporten. Mailrapporten merupakan produk yang berisikan surat resmi tentang laporan mengenai kejadian-kejadian yang berkembang dan perlu menjadi prioritas penanganan.

Radikalisasi kaum pergerakan kebangsaan pada periode 1923-1926 adalah salah satu contoh beberapa mailrapporten yang dilaporkan soal gejolak keresahan sosial politik.

Surat-surat pejabat kolonial tersebut tentu bukan produk komunikasi keintiman personal, melainkan korespondensi resmi yang menyampaikan kondisi faktual guna pertimbangan langkah kebijakan. Kita tidak mengetahui bahwa penanganan keras atas radikalisasi di Hindia Belanda tahun 1926, lahir dari akurasi korespondensi surat pejabat kolonial. Dari secarik surat, lahir kebijakan politik kolonial.

Tanpa diketahui khalayak, komunikasi personal melalui surat melahirkan kebijakan. Laporan korespondensi Boyd R Compton kepada International Current World Affairs (ICWA) periode 1950-an menyiratkan deskripsi menarik soal kondisi Indonesia pasca dekolonisasi. Boyd R Compton merupakan mahasiswa seangkatan Clifford Geertz , Herbert Feith dan Daniel S Lev yang menjadikan Indonesia sebagai studi ilmu sosial yang menarik.

Amatan Boyd R Compton yang dikumpulkan dalam buku Kemelut Demokrasi Liberal : Surat-surat Rahasia Boyd R Compton (1992), mencerminkan situasi Indonesia saat memasuki era Demokrasi Liberal. Apakah kebijakan korespondensi Boyd R Compton menjadi landasan pengambilan keputusan politik bagi Indonesia. Wallahualam.

Nostalgia surat sebagai produk keintiman personal menjadi kerinduan, saat terdapat proses transformasi dari ruang privat ke ruang publik. Apa yang diistilahkan Van Dijk (2006) sebagai the network society menjadikan kondisi sebagai zaman berjejaring (the age of networking) menjadi terbukti saat dunia korespondensi surat tergantikan dengan piranti digital melalui jagad media sosial. 

Konten media sosial mengeksplorasi aspirasi keintiman dan sentimen secara massif. Luapan korespondensi massif melalui media sosial merubah ke arah yang disebut Veronica Hamid (2014) sebagai politik kewargaan yang aktif (active citizenhip). Jagad digital dan virtual merenggut keintiman personal itu.

Dari bilik sejarah, surat-surat abadi mewartakan suara langut -- mengutip ungkapan surat Kartini sebagai suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap dan sangat jarang tertawa bahagia.........dan jiwaku terbang bersama suara-suara itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun