Mohon tunggu...
Wiedya Trie Wahyuni Subagja
Wiedya Trie Wahyuni Subagja Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Hai, saya Wiedya, mahasiswa di Universitas Komputer Indonesia Bandung. Menyelami suasana baru dan berorganisasi, saya belajar bahwa komunikasi lebih dari sekadar bicara itu tentang memahami orang lain dan membangun hubungan yang bermakna. Pengalaman ini membuka banyak wawasan dan membuat perjalanan belajar saya semakin seru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Sekedar Mendaki

12 Oktober 2025   23:47 Diperbarui: 12 Oktober 2025   23:47 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi hari itu di halaman sekolah, sinar matahari yang cerah menembus sela-sela pepohonan, menciptakan bayangan yang hangat dan menenangkan. Aurora berdiri di tengah keramaian siswa yang sibuk berlarian menuju lapangan untuk melihat demo ekstrakurikuler yang diselenggarakan di SMA 12. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh para siswa baru, hari di mana Aurora dan siswa kelas 10 lainnya bisa melihat dan memilih ekstrakurikuler yang akan diikuti selama masa sekolah.

Sorakan siswa-siswi kelas 10 bergema di seluruh penjuru halaman. Dari sekian banyak ekstrakurikuler yang tampil, justru pandangan Aurora tertuju pada sekelompok siswa berseragam biru muda yang membawa peralatan lengkap untuk survival serta alat-alat panjat tebing. Di belakang baju yang mereka kenakan tersemat tulisan MAPALA SMA 12 -- Pencinta Alam Muda.

"Menjadi pencinta alam bukan hanya tentang mendaki gunung," ujar salah satu kakak pembicara lantang. "Tapi tentang menemukan diri sendiri lewat setiap langkah di alam."

Kata-kata itu seperti menyentuh bahkan membangunkan semangat Aurora. Sejak kecil ia menyukai suasana alam-angin,pepohonan, bahkan aroma tanah setalah hujan yang ia rasa itu sebagai penenang hati aurora.

Aurora merasa terkagum, seolah ingin bergabung dan merasakan pengalaman yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang-orang yang mengikuti organisasi pencinta alam di luar sekolahnya. Perasaan membangkitkan rasa ingin tahu yang dalam tentang MAPALA.

Ada sesuatu dalam nada suara kakak yang membuat dadanya bergetar. Ia teringat masa kecilnya di desa, ketika masih sering bermain di sungai dan memanjat pohon bersama teman-teman. Sejak pindah ke kota, semua itu terasa jauh.

"Eh, kamu tertarik ikut pencinta alam?" Tanya Nara, sahabatnya yang berdiri disebelahnya.
Aurora tersenyum ragu. "Entahlah, kayaknya menarik. Tapi aku belum pernah naik gunung."

"Ya kan bisa belajar," jawab Nara sambil tertawa.

Dibawah pohon sekolah dekat lapangan, kelompok kecil berkumpul. Mereka terlihat bersemangat, mengenakan atribut organisasi dengan bangga. Aurora mendekat, disapa dengan ramah oleh ketua organisasi, Fadil Pratama.

"Hallo Aurora, sepertinya kamu tertarik mengikuti ekstrakurikuler MAPALA ini yaa," sapa Fadil dengan senyum hangat.

Aurora membalas dengan penuh antusias, "Betul sekali, kak apakah saya bisa daftar menjadi anggota MAPALA ini?"

"Kalau kamu suka tantangan, di sinilah tempatnya," kata Fadil dengan senyum hangat.

Aurora menatap formulir pendaftaran di meja, dan tanpa berpikir lama, ia menuliskan namanya.

Pertemuan pertama dimulai dengan pengenalan setiap anggota dan sesi diskusi tentang rencana pendakian. Satu per satu memperkenalkan nama serta alasan mengikuti MAPALA SMA 12.

Giliran Aurora memperkenalkan diri, "Hallo semua, perkenalkan nama saya Aurora. Alasan saya mengikuti MAPALA ini karena saya tertarik karena saya ingin mencoba naik gunung yang sudah jelas struktur organisasi nya."

Beberapa minggu kemudian, pelatihan dasar dimulai. Aurora ikut dengan semangat membara. Ia belajar mendirikan tenda, memasak di alam, dan berorientasi menggunakan kompas. Meski awalnya sulit, ia menikmati setiap prosesnya. Rasa lelah berganti tawa, rasa takut berganti kebanggaan.

Namun, semakin lama, Aurora mulai merasa ada yang berbeda. Ia datang untuk belajar mencintai alam, tapi beberapa teman satu angkatan justru bergabung karena alasan lain. Ada yang hanya ingin terkenal di sekolah, ada yang hanya ikut-ikutan demi gaya, bahkan ada yang sering mengeluh dan meremehkan kegiatan.

Saat pelatihan lanjutan, perbedaan itu semakin terasa. Saat Aurora sibuk membersihkan area perkemahan, teman-temannya justru duduk sambil bercanda, membiarkannya bekerja sendiri.
"Udahlah, ngak usah terlalu serius. Ini cuma kegiatan sekolah, bukan militer," ujar salah satu dari mereka sambil tertawa.

Aurora hanya diam. Bukan karena marah, tapi kecewa. Ia sadar, semangat yang ia bawa berbeda. Ia ingin belajar, menjaga alam, dan membangun kebersamaan, tapi yang ia temukan hanyalah gengsi dan ketidakpedulian.

Malam itu, saat semua terlelap, Aurora duduk sendirian di depan tenda. Langit bertabur bintang, udara pegunungan begitu dingin, tapi hatinya justru terasa hangat oleh kesadaran baru. Ia mencintai alam, tapi mungkin bukan lewat organisasi ini.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun