Setiap kali Indonesia berduka, ada perasaan ganjil yang menyelinap dalam diriku. Di linimasa media sosial, di sudut-sudut kota yang ramai, aku melihat wajah-wajah penuh semangat bercampur dengan rasa kecewa. Ada yang turun ke jalan, meneriakkan tuntutan. Ada yang berbaris dengan tenang, menyalakan lilin sebagai simbol doa. Ada pula yang memilih diam, menatap dengan mata sembab, menanggung luka dalam hati.
Di tengah hiruk-pikuk itu, aku sering bertanya: apalah arti aku?Â
Aku bukan pembicara hebat. Aku bukan pengambil keputusan. Aku bukan tokoh yang bisa menggerakkan ribuan orang. Aku hanyalah seseorang yang menulis dengan kata, dengan rasa, dengan keresahan yang kadang tak berani kuucapkan lantang. Lalu, apakah "aku" ini punya arti di tengah duka yang begitu besar?
Suara Kecil yang Sering Diremehkan
Pernah terlintas dalam pikiranku, bahwa suaraku hanyalah bisikan kecil yang mudah hilang. Satu tulisan mungkin tak akan mampu menghentikan kericuhan, tak bisa mencegah perpecahan, bahkan mungkin tak akan sempat dibaca banyak orang. Tapi, apakah itu membuatku berhenti? Tidak. Karena aku percaya, sejarah selalu menunjukkan bahwa perubahan besar tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia lahir dari kumpulan suara-suara kecil yang berani menolak diam. Dari obrolan sederhana, dari coretan di buku harian, dari tulisan yang awalnya dianggap sepele. Dan suara kecil itu suara yang kini kubawa, mungkin bisa menjadi bagian dari aliran perubahan yang lebih besar.
Aku Bukan Pahlawan, Tapi Aku Peduli
Aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku tak memimpin barisan aksi, tak berdiri di depan mikrofon, tak masuk ke layar kaca. Tapi aku punya kepedulian. Dan aku yakin, kepedulian yang kecil tetap lebih berharga daripada ketidakpedulian yang besar.
Dengan menulis, aku merawat ingatan. Aku mengajak orang lain berhenti sejenak dari kebisingan, untuk kembali merenung. Aku bukan pahlawan. Aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri bahwa mencintai negeri ini tidak harus selalu dengan aksi besar. Terkadang, cinta hadir dalam bentuk sederhana: menjaga pikiran tetap jernih, menolak diadu domba, dan tetap percaya pada masa depan.
Dari Titik Menjadi Garis
Mungkin benar, aku hanyalah titik kecil di tengah luasnya Indonesia. Tapi bukankah sebuah garis panjang terbentuk dari ribuan titik yang saling terhubung? Bukankah cahaya terang lahir dari bintang-bintang kecil yang bersama-sama menghiasi langit malam?