Mohon tunggu...
Widya Wahyuni
Widya Wahyuni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hustle Culture: Produktif atau Toxic?

9 Juni 2022   20:50 Diperbarui: 9 Juni 2022   20:56 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Budaya gila kerja atau yang dikenal dengan istilah hustle culture kerap menjadi topik perbincangan sebagai fenomena yang banyak terjadi pada anak muda, termasuk dalam kalangan mahasiswa. Sebenarnya, apa itu hustle culture?

Hustle culture adalah budaya bekerja terlalu keras untuk mencapai tujuan kapitalis, yakni kekayaan, kemakmuran, dan kesuksesan secepat mungkin. Apabila dilihat sekilas, budaya ini tampak seperti memberikan motivasi dan ambisi tinggi. Namun, secara perlahan, hustle culture akan berdampak pada kesehatan fisik dan mental.

Mahasiswa memang dituntut untuk selalu aktif dan kritis sebagai garda terdepan agen perubahan, penjaga nilai, penurus bangsa, kekuatan moral, dan pengontrol sosial. Namun, banyak mahasiswa melakukan gaya hidup hustle culture, sibuk belajar, sibuk organisasi, lomba, bahkan bekerja, dan sering kali kurang mementingkan kesehatan fisik dan mental.

Menurut seorang peneliti slow living, Carl Honore, hustle culture merupakan sebuah dunia yang terobsesi dengan kecepatan dengan banyak tanggung jawab dalam waktu yang sama yang dikerjakan secara cepat. Hustle culture juga merupakan sebuah gaya hidup yang membuat seseorang merasa bahwa dirinya harus bekerja keras secara terus menerus dan memiliki sedikit waktu istirahat untuk meganggap bahwa dirinya sukses.

Sering kali, seseorang tidak menyadari bahwa hustle culture telah tertanam dalam dirinya. Ciri-ciri dari hustle culture antara lain adalah selalu memikirkan kerja, tidak memiliki waktu santai, merasa bersalah ketika istirahat, sering mengalami kelelahan kerja, dan tidak pernah puas terhadap hasil kerja.

Hustle culture tidak muncul secara begitu saja di tengah-tengah masyarakat. Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan munculnya budaya ini. Salah satu faktornya adalah standar yang tercipta di lingkungan masyarakat secara tidak langsung. Tak dapat dimungkiri bahwa masih banyak orang yang menilai tolok ukur kesuksesan adalah kondisi finansial yang baik. Alhasil, banyak generasi muda yang terpacu untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Generasi muda saat ini sebagian besar didominasi oleh mahasiswa yang memiliki pemikiran mengikuti tokoh-tokoh dunia seperti Mark Zuckerberg, Elon Musk, dan masih banyak lagi yang menyuarakan tentang bekerja keras dan menghabiskan seluruh waktunya untuk meraih kesuksesan. Meski tujuannya baik, hustle culture memaksa seseorang untuk bekerja tidak mengenal lelah demi dipandang sukses oleh lingkungan sekitar. Budaya ini menyebabkan manusia dinilai hanya berdasarkan kesuksesan dan kemampuan finansial mereka.

Sosial media juga sangat berperan penting dalam terciptanya hustle culture. Kemudahan dalam menjalankan berbagai pekerjaan melalui teknologi internet membuat masyarakat, terutama generasi muda, dapat bekerja sepanjang waktu.

Hustle culture dapat menjadi toxic apabila seseorang menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja, belajar, dan berorganisasi dengan hanya menyisihkan waktu sedikit untuk beristirahat. Produktivitas bukan tentang berapa banyak kegiatan atau kesibukan yang dimiliki, melainkan mengenai daya produksi dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu.

Mengadopsi hustle culture dapat mengakibatkan masalah kesehatan karena waktu istirahat yang kurang. Dengan berkurangnya tingkat kesehatan, kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu juga akan menurun. Oleh karena itu, hustle culture bukanlah kunci sebuah produktivitas.

Jam kerja yang panjang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan detak jantung karena aktivitas yang berlebihan. Selain kesehatan fisik, bekerja berlebihan juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Beberapa masalah yang sering dialami adalah kecemasan, depresi, hingga pikiran untuk bunuh diri.

Memaksa diri untuk terus bekerja mencapai kesuksesan membuat tubuh lelah dan stres. Saat stres terjadi terus menerus, hormon stres (kortisol) dilepaskan dalam jumlah yang lebih tinggi. Untuk menurunkan hormon stres, hal yang harus dilakukan adalah beristirahat. Namun, perilaku hustle culture menyebabkan waktu istirahat menjadi sangat sedikit.

Dalam hidup, perlu adanya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Stres akibat pekerjaan yang menumpuk sering kali terbawa dalam kehidupan pribadi sehingga dapat menyinggung orang-orang di sekitar. Padahal, menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih dapat menghasilkan energi positif dan meningkatkan kreativitas.

Bekerja keras adalah hal baik. Akan tetapi, jangan sampai terbelenggu dalam perilaku hustle culture. Sebagai individu yang cerdas, kita harus dapat mengatur waktu sebaik mungkin untuk melakukan berbagai kegiatan tanpa mengesampingkan kesehatan. Pastikan bahwa kita bekerja dalam hidup, bukan hidup dalam bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun