* Bagaimana konsep calm classroom dan trust-based learning
Di Finlandia, ketenangan di kelas bukan muncul dari aturan keras, melainkan dari suasana emosional yang aman. Calm classroom berarti kelas menjadi ruang yang tidak membuat murid takut berbuat salah, melainkan nyaman untuk memperbaiki diri. Guru tidak membesarkan suara ketika menegur, karena mereka percaya bahwa nada suara adalah pesan pertama sebelum isi pesan dipahami.
Sementara itu, trust-based learning berarti proses belajar berangkat dari kepercayaan bahwa murid mampu mengatur dirinya. Guru tidak menjadi pengawas yang siap menghukum, tetapi menjadi pendamping yang membantu murid mengenali pilihan dan tanggung jawabnya.
Model ini dapat diterapkan di sekolah Indonesia secara sederhana melalui tiga langkah:
- Mengubah teguran menjadi percakapan pendek --- bukan "Jangan merokok!", tetapi "Apa yang membuat kamu memilih merokok hari ini?"
- Memberikan ruang jeda emosional sebelum memberi bimbingan --- agar murid sempat menenangkan diri sebelum didampingi.
- Mengaitkan tindakan dengan dampak, bukan dengan hukuman --- membantu murid memahami akibat, bukan sekadar takut pada sanksi.
Dengan langkah-langkah kecil seperti ini, sekolah tidak perlu menunggu menjadi seperti Finlandia untuk menghadirkan kelas yang lembut tetapi tetap berwibawa.
Zaman Terus Berubah: Dulu vs Masa Kini
Perubahan perilaku murid tidak muncul tiba-tiba, melainkan dipengaruhi perubahan zaman yang membawa budaya baru. Pada masa lalu, murid tunduk karena sekolah menjadi satu-satunya sumber pengetahuan. Kini, murid hidup di era digital, di mana informasi tersedia lebih cepat daripada nasihat guru. Otoritas tidak lagi berdiri di atas ketakutan, tetapi di atas kepercayaan dan relevansi.
Jika dahulu perilaku salah dapat dikendalikan melalui hukuman, kini generasi muda justru semakin resisten ketika ditekan. Mereka akan lebih mudah mendengar jika dilibatkan, bukan diperintah. Inilah alasan mengapa pendekatan emosional dan dialogis lebih efektif pada generasi sekarang dibanding pendekatan hukuman fisik.
Dengan memahami perubahan sosial ini, disiplin tidak lagi identik dengan kekerasan, tetapi kemampuan membangun kesadaran diri melalui relasi yang sehat antara guru dan murid.
Guru Zaman Dahulu vs Guru Masa Kini
Pada masa lalu, guru dipandang sebagai sumber kebenaran tunggal sekaligus pengendali utama perilaku murid. Ketegasan sering disertai dengan hukuman fisik karena dianggap sebagai cara efektif membentuk disiplin. Bukan karena guru ingin menyakiti, melainkan karena budaya pendidikan saat itu meyakini bahwa ketakutan adalah jalan menuju ketaatan.
Namun di masa kini, kondisi psikologis murid jauh lebih kompleks. Mereka hidup di tengah tekanan informasi, ekspektasi sosial, serta pengaruh media digital. Menghadapi generasi seperti ini dengan pola "asal patuh" sering kali hanya melahirkan pemberontakan diam-diam. Murid mungkin diam di depan guru, tetapi tidak benar-benar berubah dalam kesadaran.
Guru masa kini dituntut bukan hanya mendidik secara kognitif, tetapi juga menjadi pendamping emosional yang mampu memahami latar belakang perilaku murid sebelum menjatuhkan penilaian. Bukan kerasnya suara yang membuat murid menghormati guru, tetapi kehadiran yang mampu menyentuh nurani dan menumbuhkan kesadaran dari dalam.
Murid Dahulu vs Murid Masa Kini
Murid pada masa lalu cenderung patuh karena merasa bergantung sepenuhnya pada guru dan sekolah sebagai sumber ilmu. Kini, murid memiliki akses luas terhadap informasi dari internet, media sosial, dan lingkungan digital. Mereka tidak lagi cukup diberi perintah, tetapi perlu dipahamkan alasan di balik aturan.