3. Sajian Teh Gula Batu
Bila ada tamu datang, Mbah Tegal selalu menyiapkan teh gula batu. Gula batu dipilih karena memberi rasa manis lembut dan bening. Air rebusan disaring perlahan agar tak ada ampas daun teh yang ikut tertuang.
Tradisi ini mengajarkan etika menyuguhkan tamu: bahwa keramahan tak diukur dari hidangan mewah, melainkan dari niat tulus menjamu dengan kehangatan.
4. Sajian Teh Gula Pasir
Di era ayah, teh gula pasir menjadi pilihan utama karena lebih praktis dan mudah didapat. Teh Gopek diseduh dalam gelas besar, diaduk perlahan hingga gula larut sempurna.
Biasanya, teh ini dinikmati bersama nasi jagung atau ketela rebus sebelum berangkat bekerja. Kesederhanaan itu justru menciptakan kenikmatan yang sejati --- teh sebagai teman setia perjuangan hidup.
5. Teh Tanpa Gula
Kini, saya pribadi lebih menyukai teh tanpa gula. Cita rasanya murni, menenangkan, dan menghadirkan kejujuran rasa. Setiap tegukan seperti membawa saya kembali ke masa kecil, duduk di bangku bambu sambil mendengar gemericik air di sumur tua.
Teh tanpa gula bukan sekadar minuman, melainkan refleksi hidup: bahwa tidak semua yang pahit harus dihindari.
6. Teh ala Rest Area
Waktu berganti, perjalanan pun berubah. Kini teh tak hanya hadir di rumah, tapi juga di rest area jalan tol --- tersaji dalam gelas kertas, cepat, dan instan. Meski praktis, rasanya kerap kehilangan makna. Tak ada lagi tangan ibu yang mengaduk dengan penuh kasih, tak ada lagi uap hangat yang keluar dari teko tanah liat.
7. Dari Teh Botol Sosro hingga Teh Pucuk
Perkembangan zaman menghadirkan berbagai merek teh dalam kemasan: Teh Botol Sosro, Teh Pucuk Harum, Frestea, dan lainnya. Mereka adalah simbol modernitas, efisien dan praktis.
Namun, di balik kemasan plastik dan label warna-warni itu, ada aroma nostalgia yang selalu memanggil pulang --- aroma teh Gopek dari masa kecil, diseduh oleh tangan ibu.
Penutup